MALA TAU SITAMMU AKA' PEKUYA'NA PUANG

Jumat, 15 Juli 2011

SEJARAH TABULAHAN

Tabulahan, September 10-15, 1997

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Oleh: APOLOS AHPA,S.Th.

ASAL MULA MANUSIA DAN PERMULAAN TABULAHAN DAN SEKITARNYA DIHUNI OLEH MANUSIA.

I. ASAL MULA MANUSIA DAN PERMULAAN TABULAHAN DIHUNI OLEH MANUSIA.

Asal mula manusia dan permulaan Tabulahan di huni dan di duduki orang sebagai suatu pemukiman ceritanya adalah sebagai berikut.
Bersamaan dengan terbitnya matahari di Ulu Sa’dang Rante pao yang sekarang di kenal dengan nama Tanah Toraja, berjalanlah dari sana enam orang laki-laki yang berbadan besar-besar, ada orang yang menganggap bahwa ke enam orang ini adalah bersaudara. Mereka ini adalah pengembara-pengembara. Adapun nama-nama mereka adalah sebagai berikut:
Puang Ri Mulu’
Mangkoana (Lando Belue’)
Pongka Padang (Puang Ri Lembang)
Bombong Langi’
Lando Guntu’
Lombeng Susu.
Keenam laki-laki ini tidak ada orang yang tau dari mana asal mereka. Lalu mereka masing-masing memilih daerah yang mereka senangi untuk di duduki sekaligus di jadikan daerah tempat tinggal, antara lain:
Puang Rimulu’ tinggal di Rante pao (Tanah Toraja)
Lando Belue’ pergi ke Bone dan tinggal di sana,
Bombong Langi’ ke Masuppu
Lando Guntu’ ke Duri
Lombe susu ke Lohe Galumpang
Pongka Padang terus ke Tabulahan.

Adapun yang akan kami ceritakan disini ialah bagaimana perjalanan Nene’ Pongka Padang, karena dialah yang menjadi nene’ moyang kami orang Tabulahan.

Pada waktu itu Pongka padang berangkat dari Sa’dan dengan tidak merasa lelah, dia terus menelusuri gunung yang satu ke gunung yang lain yaitu:  Dia meneleusuri Gunung Kepa’, kemudian terus lagi dan melewati Gunung Landa Banua, dan terus lagi melewati Gunung Mambulillin, dan terus lagi menuju Gunung Buntu Bulo ahirnya dia tiba di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan nama “Tabulahan” yang pada waktu itu masih berupa hutan belantara, yang ditumbuhi bambu-bambu kecil (“bulo” dalam bahasa Tabulahan). Daerah ini dulu dikenal dengan nama “Bulo Mahpa”, dan belum ada satu orangpun yang tinggal di daerah tersebut.
Pada waktu Pongka Padang melakukan pengembaraan, dia di sertai dengan dua orang pengawal yang mempunyai tugas masing-masing yaitu:
1. Satu orang Pembawah gong (Padalin)
2. Satu orang Pembawah Pedang dan sepu’ (jimat-jimat, pakaian dan lain-lain).
Nama ke dua orang pengawal tersebut hanya satu orang yang di ketahui namanya sampai sekarang yaitu: ta “Malillin/Mambulillin”. Akan tetapi dalam perjalanannya Mambulillin terserang penyakit yang parah, sehingga mereka harus tinggal di atas sebuah Gunung. Namun tidak beberapa hari lamanya mereka tinggal di atas gunung tersebut, ternyata keadaan Mambulillin semakin parah dan akhirnya meninggal dunia lalu Pongka Padang menguburkan di atas gunung itu. Itulah sebabnya gunung itu diberi nama: “Gunung Mambulillin” sebab tempat di kuburkannya Mambulillin.

Nene’ Pongka Padang meneruskan lagi perjalanannya bersama seorang pengawalnya, tapi sayang sekali sebab nama pengawal tersebut tidak di ketahui sampai sekarang. Namun sejarah membuktikan bahwa memang masih ada satu orang pengawal yang berjalan dengan Pongka Padang pada waktu itu sampai di Gunung Buntu Bulo di Tabulahan. Kemudian hari baru mulai muncul nama “Polo Padang”, tapi sampai sekarang tidak ada yang bisa memastikan kalau memang betul itu adalah “Polopadang” yang dimaksud.

Dalam pengembaraan Pongka padang, dia sanggup menelusuri semua daerah sampai di pinggiran pantai. Akan tetapi dia tidak menemukan suatu daerah yang cocok baginya. Dan akhirnya dia kembali ke Gunung Buntu Bulo di daerah Tabulahan dan tinggal di atas. Setelah beberapa hari tinggal di atas gunung itu, dia mulai mengalami mimpi-mimpi yang baik dan merasakan bagaimana sejuknya cuaca yang ada di gunung itu dan juga nyamuk tidak terdapat di situ. Maka dia memutuskan untuk bertempat tinggal di atas Gunung itu.
Gong("Padaling", bhs Tabulahan) ini diyakini sebagai peninggalan Nene' Pongkapadang

Pada suatu waktu Pongka Padang melayangkan pandangannya ke sekitar daerah itu karena ingin melihat bagaimana keindahan pemandangan alamnya, tiba-tiba tampak olehnya asap api yang membumbung tinggi kelangit di gunung sebelah barat dari tempatnya. Melihat asap itu, dia sangat heran dan terkejut sekali, karena dia berpikir: ‘Bagaimana mungkin ada orang lain tinggal disini? Bukankah baru saya yang menduduki daerah ini? Oleh karena itu, gunung Tersebut dia beri nama Gunung “Kapusaang” yang artinya Gunung “keheranan” (bahasa tabulahan “Pusa’ artinya heran”), karena heran melihat asap api yang ada di gunung itu.
Apa yang di lakukan selanjutnya oleh Pongka Padang ialah mengutus pengawalnya ke gunung tersebut untuk mencari tau apa sebenarnya yang ada di sana. Lalu pengawalnyapun pergi dengan pesan dari Pongka Padang katanya: “Pergilah ke gunung yang di sebelah itu untuk melihat siapa gerangan yang ada di sana, dan kalau kau sampai di sana lalu kau memdapati seseorang, silahkan tanyakan siapa namanya dan dari mana dia datang.” Lalu pengawalnya ini pergi seturut apa perintah majikannya. Setibanya di sana diapun sangat keheran-heranan ketika dia melihat seorang wanita yang sangat cantik sekali berambut panjang dan berkulit putih bersama dengan seorang pengawalnya.

Dengan perasaan takut dan ragu-ragu, si pengawal ini menghampiri wanita tersebut dan berkata kepadanya: ”Saya datang diutus oleh majikan saya untuk menemui anda sebab dia telah melihat ada asap di sekitar daerah ini dan ternyata benar ada orang yang tinggal disini. Dan saya juga di suruh untuk menanyakan siapa nama anda dan berasal dari mana?” Lalu perempuan itu menjawab katanya: “Pulanglah kembali ke pada majikanmu dan katakan; ‘Nama saya ialah “Torije’ne’” yang artinya “orang yang datang dari laut”, karena saya memang datang dari laut dengan memakai perahu, dan nama pengawal saya adalah “Pue Mangondang”. Sesudah itu maka pengawal Pongka Padang ini pulang kembali ke Gunung Buntu Bulo untuk menyampaikan semuanya itu kepada Pongkapadang.

Sesampainya di atas, bertanyalah Pongka Padang kepadanya demikian: “Apa yang kau dapati di sana?” Pengawal itu menjawab: “Saya mendapati dua orang di sana, yang satu perempuan cantik berambut panjang dan berkulit putih, dan yang satu lagi laki-laki sebagai pengawalnya. Yang perempuan bernama “Torije’ne’” dan pengawalnya bernama “Pue Mangondang”, selain sebagai pengawal, Pue Mangondang juga adalah saudara sepupu dari Torije’ne’. Mereka katanya berasal dari laut dengan memakai perahu.” Lalu berkata lagi Pongka Padang kepada pengawalnya: “Kau pergi lagi ke sana dan katakan kepada mereka; ‘Bolekah kita tinggal bersama-sama di satu tempat?’” Lalu pengawal itupun pergi lagi untuk kedua kalinya. Setelah sampai di sana dia berkata kepada Torije’ne’ katanya: “Majikan saya menyuruh menanyakan apakah anda setuju jika kita tinggal bersama-sama dalam satu tempat? atau bagaimana? Lalu Torije’ne’ menjawab: “Ya, baiklah. Sekarang kau kembali kepada majikanmu dan katakan; ‘Boleh, tapi saya minta kalau dia bisa kemari karena saya ingin bertemu dengan dia.” Pengawal itu pulang dengan perasaan senang kepada majikannya dan menyampaikan segalah apa yang di katakan oleh Torije’ne’.
Pongka Padang sangat gembira dan senang mendengar apa yang disampaikan oleh pengawalnya itu, dimana perempuan itu ingin bertemu dengannya dan setuju untuk tinggal bersama di satu tempat. Pada saat itu juga Pongka Padang mempersiapkan segalah sesuatunya dan dia berangkat menuju Gunung Kapusaang tempat dimana perempuan itu berada. Sesampai disana, Torije’ne’ langsung menyambut dia dengan baik dan dia bertanya: “Siapa nama anda?” Jawab Pongka Padang :”Nama saya Pongka Padang , yang artinya “sudah banyak gunung saya telusuri sampai saya bisa tiba di daerah ini”. Nama saya yang sebenarnya ialah: Puang Ri Lembang tapi karena sudah banyak gunung yang saya telusuri sehingga saya memberi nama diri saya Pongka Padang.” Torije’ne’ melanjutkan pertanyaannya dengan mengatakan: “Apa rencanamu untuk datang ke mari?” Tapi Pongka padang balik bertanya katanya: “Bagaimana ceritanya sehingga kau bisa sampai di sini?” Torije’ne’ menjawab: “Saya ini datang dari laut dengan memakai perahu pada waktu air pasang, lalu perahu saya ini terkandas di atas gunung ini. Setelah air kembali surut perahu saya tidak bisa lagi di tarik ke laut sehingga saya tinggal saja di gunung ini. Jadi nama saya Torije’ne’ yang artinya: “Orang yang datang dari laut”. Lalu kata pongka padang: “Bagaimana kalau kita tinggal bersama di suatu tempat? Torije’ne’ menjawab katanya: “Kenapa tidak, itu sangat baik.”
Pada waktu itu Pongka Padang dengan Torije’ne’ mulai bermalam bersama-sama di atas Gunung Kapusaang selama tiga malam, dan pada waktu itu juga mereka resmi menjadi suami istri. Setelah sampai tiga malam tinggal di kapusaang, berkatalah Pongka Padang: ”Bagaimana kalau kita pergi dan bermalam lagi di Gunung Buntu bulo, gunung yang di sebelah itu? Torije’ne’ menjawab: ”Baiklah”. Lalu mereka pergi menuju Gunung Buntu bulo, dan bermalam di atas gunung itu. Setelah sampai tiga malam mereka bermalam di atas, berkatalah Pongka Padang: “Menurut kamu bagaimana perbedaan antara Gunung Kapusaang denga Gunung Buntu bulo ini? Torije’ne’ menjawab katanya: “Saya rasa baik di sini” Kata Pongka Padang lagi: “Jadi bagaimana kalau kita buat rumah di sini?” Torije’ne’ menjawab: “Terserah kamu. Saya tidak katakan ia dan juga tidak. Pokoknya terserah kamu sebab laki-laki yang menentukan bukan perempuan, hanya saja sebab perahu dan lesung bersama antan saya masih ada di gunung kapusaan.” Lalu kata Pongka Padang: “Biarkan saja tinggal di sana nanti kalau ada kesempatan bisa kita lihat ke sana, ini saya katakan sebab daerah ini sangat baik untuk kita tempati, juga aman sebab bukan hanya saya yang merasakan tapi kamu juga sudah merasakannnya ya?.” Lalu jawab Torije’ne’: ”Ia, saya juga rasakan bagaimana bagusnya daerah ini, dan saya juga senang tinggal di sini.”
Gunung Buntu Bulo, dilihat dari kampung "Langsa'"

Mulai saat itu mereka tinggal di atas Gunung Buntu bulo sampai mereka mempunyai tuju orang anak, yang di kenal dengan nama “To Pitu” yang artinya “Ketuju orang”. Adapun nama-nama mereka ialah;
Daeng Manganna
Mana Pahodo(Buntu Bulo)
Simba’ Datu
Pullao Mesa
Daeng Lumalle
Bura’ Le’bo’
Pattana Bulan

Ketuju orang ini tidak ada yang pergi meninggalkan Tabulahan, mereka semua tinggal dan bermukim di Tabulahan sampai mereka menjadikan lagi keturunan yang dikenal dengan “To Sampulo mesa” artinya “Keseblas orang”.
Adapun nama-nama keseblas orang ini dan tempat tinggal mereka ialah:
Dettumanan di Tabulahan
Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang
Daeng matana di Mambi
Ta Ajoang di Matangnga
Daeng Malulung di Balanipa(Tinambung)
Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’)
Makke Daeng di Mamuju
Tambuli Bassi di Tappalang
Sahalima di Koa(Tabang)
Daeng Kamahu (Ta Kayyang Pudung) di Sumahu’ (Sondoang)
Ta La’binna di Lohe Galumpang(Mangki tua).


II. SILSILA DAN PENYEBARAN KETURUNAN KE DAERAH-DAERAH LAIN

Kemudian Dettumanan  kawin  dengan seorang perempuan anak cucu dari Lombe Susu bernama Puelebuttang, asal dari Mangki Tua (Lohe) lalu memperanakkan 5 orang anak yaitu:
        1. Soyak
        2. Manatanda
        3. Pakiringan
        4. Ta Hengkona
        5. Ta Kaise'

  Soyak dan Manatanda bermukim di Tabulahan.  Pakiringan  mula-mula  ke  Kalonding  bagian  Mamuju dan kemudian ia  kembali lagi,  lalu Ayahnya menyuruh dia ke Osango bersama  seorang hambanya bernama Pambate. Dan inilah yang menjadi asal nenek moyang orang Taupe (Osango).
 
Ta Hengkona dikawini oleh seorang lelaki bernama Bundangulu
anak cucu  dari Simba Datu asal dari Matanga, lalu mereka tinggal di Baitang (Aralle).

  Ta Kaise  dikawini  oleh  seorang  lelaki  bernama Manalolo saudara dari Bundangulu. Mereka tinggal di Tapako (Aralle).

Kedua  lelaki  yang disebut di atas yakni Bundangulu dan Manalolo, begini ceritanya: Simba Datu meperanakkan Marimbun  dan  kawin  dengan  seorang lelaki bernama Parinding Bassi  anak  dari  Pullao  Mesa  di  Masorang lalu memperanakkan  ta Ayoan.  Ta Ayoan  memperanakkan  Bundangulu dan Manalolo. Itulah nenek moyang atau asal turunan di Aralle.

Silsilanya adalah seperti berikut:
  Soyak                memperanakkan      Bembe
  Bembe            memperanakkan        Daeng Siande
  Daeng Siande     memperanakkan  Matanning
  Matanning        memperanakkan Ahuang di Dadeko
  Ahuang di Dadeko memperanakkan Todisondongi, Singka
  Todisondongi     memperanakkan    1. Daeng Mallipung
                                                            2. Daeng Mangemba
                                                            3. Eloangin
                                                            4. Ata
  Daeng Mallipung   memperanakkan Toumpellei Dasanna     
  Toumpellei Dasanna memperanakkan Daeng Pallaha
  Daeng Pallaha      memperanakkan Malinga' Ende
  Malinga'          memperanakkan  Moko' Tangkahang
  Moko'             memperanakkan        1. Ta Kaliasa'
                                                            2. Ta Behe
                                                            3. Ta Tangkahang
                                                            4. Ta Saehang

  Ta Kaliasa' kawin dengan Su'beng anak cucu dari Ata saudara dengan Mallipung lalu memperanakkan:
        1. Ta Parinding
        2. Ta Loma'
        3. Ta Letung
        4. -

  Ta Parinding  kawin  dengan  ta Banna  anak  cucu dari nenek Daeng Mangemba, lalu memperanakkan ta Sibuntang.
  Ta Sibuntang  kawin  dengan  ta Palulungan  saudaranya  Tuan Parenge  (Tamangkoa)   anak   cucu  dari  ta Behe  saudaranya ta Kaliasa'  lalu  memperanakkan:
Ta Mangoli  (Mangoli), 
Ta Kambelu,
Ta Molo,
Ta Mandayai.
  Ta Mangoli kawin dengan ta Dottong anak cucu dari Loma' yang kawin dengan ta Ente lalu memperanakkan ta Sempa. Ta Sempa memperanakkan:
        1. Ta Su'bu
        2. Ta Sondo
        3. Ta Ta'le

  Ta Sondo  kawin  dengan  ta Mokang  saudara dari Sampanga (Pue Masalung) anak cucu dari nenek Ata lalu memperanakkan:
        1. Ta Deppung
        2. Ta Madi
        3. Ta Ayo
        4. Ta Dottong
        5. Ta Bassi
        6. Ta Sambeng Bulahang

  Ta Dottong kawin dengan ta Mangoli lalu memperanakkan:
        1. Ta Boha'
        2. Ta Maya'
        3. Simba Datu
        4. Patundan (Barends)
        5. Aruang Boyo
        6. Pahtaro Pura (Ta Ma'ta).

  Ta Behe  saudaranya  ta Kaliasa' kawin dengan seorang lelaki bernama ta Buli,  lalu  memperanakkan  2  orang  yaitu: 
Ta Lento,
Ta Tau'.
  Ta Lento kawin dengan ta Hapu lalu memperanakkan:
        1. Ta Palu'lungan
        2. Ta Sondong
        3. Ta Sapahu
        4. Ta Betanga'
        5. Ta Sangkalla'
        6. Ta Imba'
        7. Ta Besu'
        8. Ta Mangkoa (Parenge') (Baliada')
        9. Ta Isungan

  Ta Palu'lungan kawin dengan ta Sibuntang lalu memperanakkan:
        1. Ta Mangoli
        2. Ta Belu'
        3. Ta Molo
        4. Ta Kessu' (sudah mati)
        5. Ta Mandayai (lain ibu)

  Ta Mangkoa kawin dengan ta Berindu lalu meperanakkan:
        1. Tande Bua'
        2. Takakiing
        3. Tasitakkan

  Daeng  Mangemba  memperanakkan La'lang. Ta La'lang memperanakkan:
Sambo, dan
Lita', dll.

Sambo memperanakkan:
Latangke, dan
Indo Malliki'. 

Latangke meperanakkan:
Ta Ponang, 
Tatu'. 

Ta Ponang  kawin dengan To Diparang  lalu memperanakkan:
Ta Sassang, 
Tabanna,
Tadahu'.
Ta Sassang kawin dengan ta La'le' cucu  dari  Daeng  Mangemba  juga, lalu memperanakkan Polo Padang kepala  tua  di Saluleang bahkan hadat besar di tanah itu. Polo  Padang  kawin  dengan  ta Ayo  tetapi tak beranak. Kemudian kawin  sekarang dengan ta Soe lalu memperanakkan:
Mattayan,
Ta Tona'.
 
  Ta Sapahu  kawin dengan Ta Limbu yang berasal dari Sumahu' anak cucu dari ta Magondoi lalu memperanakkan:
Ta Sitti,
Ta Buaran,
Ta Leppang.

 Ta Sitti  kawin   dengan   (ta Kandongi  yang berasal  dari  Aralle sebagianya dan Ibunya berasal dari Tabulahan) lalu memperanakkan:

        1. Ta Samalang (Johannes)
        2. Ta Bena
        3. Ta Nanti

Ta Buaran tidak mempunyai anak.
Ta Leppang  kawin  dengan  Aruang  Bonga  anak dari Aruang Pasau' lalu memperanakkan Dettumanan.
  Ta Limbu diangkat menjadi Pangulu Tau (Pa' bahani) (Pemberani).

Adapun nama  kepala-kepala  hadat yang dilantik bahkan didudukkan diatas kepala Kerbau sebagai tanda resmi menjadi kepala hadat (Kepala hadat yang telah di setujui oleh Rakyat Tabulahan adalah sebabgai berikut:
        1.  Dettumanan
        2.  Soya'
        3.  Bembe
        4.  Daeng Siande
        5.  Matanning
        6.  Ahuang di Dadeko
        7.  Todisondongi
        8.  Daeng Mallipung
        9.  Toumpellei Dasanna
        10. Daeng Pallaha
        11. Malinga
        12. Moko'
        13. Ta Kaliasa'
        14. Ta Pahinding
        15. Ta Mangoli

  Wakil-wakilnya atau dalam bahasa Tabulahan disebut Bali Ada', (bisa juga diterjemahkan Adat II) atau Perwakilan Kepala Adat yang ada di Kampung sebelah ialah:
Ahuang di Dadeko diwakili oleh Tandong Bulawan.
Todisondongi diwakili oleh Todibalabatu.
Daeng Mallipung didiwakili oleh Ambe Pahallu.
Toumpellei Dasanna diwakili oleh ta Doo (Daeng Mangende).
Daeng Pallaha diwakili oleh ta Mendai'.
Malinga diwakili Tandi Pallu I.
Moko' diwakili Ambe Bakia'
Malliki diwakili Tandi Pallu II.
Ta Pahinding diwakili Ta Malliki'.
Ta Mangoli diwakili ta Mangkoa.

  Tentang  tentang Hadat II atau Perwakilan-perwakilan  kepala  hadat dalam daerah ini (Tabulahan) tidak  tetap  turunannya, melainkan dipilih saja seturut kemauan kepala hadat (ditunjuk langsung oleh kepala hadat dengan mempertimbangkan Keluarga Besarnya/Keluarga yang terhormat)

III. KETURUNAN PONGKA PADANG YANG MENDIAMI PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTI’NA UAI/KARUA BA’BANA MINANGA (PUS-KTU) DI BAWAH KEKUASAAN TABULAHAN.

  Turunan  Pongka  Padang  mendiami Tanah Toraja mamasa yang kini lasim disebut Pitu Ulunna Salu, karua tiparitti'na uai. Pada mulanya  tanah   ini  bukan  di  namai  demikian,  melainkan dinamai: Lita'na  to pitu di ulunna Salu artinya tanah dari 7 orang yang ada di hulu sungai (7 orang anak Pongka Padang).
  Yang  mula-mula berjalan keliling memberi batas akan tanah ini, yakni  seorang anak dari Pongka Padang yang bernama Pullao Mesa.  Kemudian  berangkat  pula  Daeng  Manganna dan Mana Pahodo untuk memberi nama pada daerah setempat.
  Seorang  dari pada  mereka  itu  memakai tongkat dahan kayu cendana yang masih mentah. Setelah tiba di daerah (bagian Mandar) tongkat kayu Cendana itu ditanam lalu tumbuh. Oleh  sebab  itu  daerah tersebut diberi nama Kampung Cendana.

  Lita'na  to  pitu diulunna salu kemudian diberi nama: Pitu ulunna salu  karua  tiparitti'na  uai yang artinya 7 hulu sungai, dan 8 anak (muara) sungai. Kata itu suatu kiasan adanya.
  Pitu Ulunna Salu artinya tujuh kekuasaan. Sebab pada mulanya Tabulahan  mempunyai  kuasa  pada  7  negeri:  Nama  ketujuh kekuasaan itu yaitu:
        1. Aralle
        2. Mambie
        3. Bambang
        4. Rantebulahan
        5. Matanga
        6. Tu'bi/mala’bo’
        7. Tabang (Tandung)

  Pada tiap-tiap daerah itu ada keharusannya.
  Karua  tiparitti'na uai artinya delapan daerah kekuasaan yang kecil, yang mempunyai kuasa  atau keharusan  agak kurang  di banding ke 7  negeri  yang mula-mula disebut).
  Nama kedelapan daerah kekuasaan itu ialah:
        1. Mesawa
        2. Ulumanda'
        3. Sondoan (Keang)
        4. Panetean
        5. Mamasa
        6. Osango
        7. Orobua
        8. Tawalian
  Delapan daerah kekuasaan itu masing-masing mempunyai kuasa atau keharusannya.

  Tabulahan adalah penguasa atau tanah yang merdeka. Gelar atau nama Tabulahan adalah:
        a. Petaha mana', pebita' pahandangan
        b. Petoe saku', peanti kadinge' pedekeng kahatuang.
        c. Indona Lita'
        d. Tomepaihanna Pitu ulunna salu, karua tiparitti'na uai.

Yang artinya:
a)      Pembagi warisan dalam  pusaka  bahkan  batasan  tanah  yang sudah diberikan masing-masing, penentu/pembicara/pemutus dalam acara-acara perkawinan.
b)      Pemegang ibadat  untuk  Pitu  ulunna salu karua tiparitti'na uai supaya  selamanya keberkatan.  Tetapi kalau di antaranya ada yang  berbuat  kejahatan, maka orang itu harus datang di Tabulahan  supaya   diberkati   pula  dengan  memakai  “saku' kadinge' dan  kahatuang”  supaya  kembali baik (tahir) pula dipandang Allah Taala.   Dalam bahasa tua mengatakan: “Ladisaku'i, ladikadinge’i sala anna malai titanan punti, tiasak kahatuan illalan botto lita'na sule”. 
c)      Ibu/tuan  Tanah/ pemilik tanah  dari Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai.
d)     Pemepegang pemali-pemali/(Pendoa syafaat) untuk penduduk PUS dan karua tiparitti'na  uai  supaya  mereka selalu dalam keadaan yang aman dan sentosa.

IV. GELAR-GELAR DAN TANGGUNG JAWAB DAERAH-DAERAH DI PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTI’NA UAI.
A. GELAR DAN TANGGUNG JAWAB DAERAH-DAERAH PUS:
1. Aralle
    Digelar:
a. Indona ba'bana lembang, toma'kadanna to Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai.
b.  Todipa'ulua  dimana' 
(Artinya  a).Indona  Aralle menerima/mendengar segala   pembicaraan-pembicaraan  penduduk  dalam  Pitu ulunna salu  karua  tiparitti'na  uai  lalu  pembicaran  itu dibawanya  datang   di   Tabulahan   supaya  diurusnya/diselesaikan.  Dan bagaimana    keputusan    urusan    itu,    Indona    Aralle menyampaikannya pula pada kepala-kepala hadat di Pitu Ulunna Salu yang bersangkutan. b) yang pertama-tama mendapat pembagian warisan)

2. Mambi
Digelar:
a. Indona Lantang kada nenek
b. Lempoh kuring, paya kandeang
Artinya :
  1. Di  Mambie,  tempat bertemunya/berkumpulnya kepala-kepala hadat Pitu ulunna  salu  karua tiparitti'na uai untuk membicarakan “katibangunganna  lita',  kamahosonganna  ma'rupa  tau” (pembangunan dan kesejahteraan umat/masyarakat),  atau membicarakan perkara-kara  yang   lain   yang   patut  dibicarakan  dalam pertemuan kepala-kepala  hadat.  Segala pembicaraan itu atau segala keputusannya,  harus  disampaikan  pada  Indona lita' (Tabulahan) supaya  dimohonkan  berkat atas pembicaraan itu, supaya hasil pembicaraan itu mendatangkan bahagia/terealisasi.
  2. Tanggungan   indona  Mambie  yaitu  melayani (menjamin/memberi makan) kepala-kepala  hadat  dalam  pertemuannya  selama  mereka bersidang/ma’limbo.

3. Bambang    
Digelar:
a. Sangkiran tinting, pandaga lappa-lappa
b. Su' buang ada’
Artinya:
  1. sebagai  penungguh tali yang menghubungkan satu negeri  pada  negeri  yang  lain.  Yaitu kalau ada yang membuat satu  kejahatan  yang  akan  merusakkan  tanah  Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai maka Indona Bambang mulai mengajar mereka menurut  undang-undang  hadat. 
  2. Dan juga Indona Bambang adalah tempat menyimpan sementara orang yang melanggar adat.

4. Rantebulahan
Digelar:
  1. Indona lembang Tomakakanna lita'.
Artinya  orang yang  dipandang  kaya dalam Pitu Ulunna Salu. Sebab ia diwajibkan akan  membayar denda setiap orang yang mendapat denda  karena  perbuatannya melanggar aturan adat,  supaya ada perdamaian kembali.
  1. Juga  digelar  Toma' dua Taking toma' tallu sulekka untetenge kondo  sapata.  Artinya  diberi  hak  akan menjaga keamanan; dan  memperdamaikan  orang  yang  berselisi dengan memberi hadiah  selaku  upahnya  supaya  perselisihan  kedua pihak hilang.

5. Matanga
Digelar:
Adiri Tatempong , tamba Tammalate artinya Tiang yang terkuat,  yang akan  menyokong  jatuh dan bangunnya penduduk Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai.

6. Mala'bo 
Digelar:
a. Tandu'  kalua' palasang marosong, artinya ialah selaku dinding temboknya Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai bila  ada  bangsa lain yang akan merusakkan tanah ini (Hulu balang).

7. Tabang 
Digelar:
a. Baka disura, gandang diroma.
b.Talaunna kada nenek bubunganna kada tomatua
Artinya:
a. Baka disura gandang diroma itu selaku pusakanya saja.
b. Talaunna  kada  nenek,  bubunganna  kada  tomatua artinya pembatas ketujuh kekuasaan negeri yang sama kuasa.

 B. GELAR DAN KEHARUSAN NEGERI-NEGERI YANG DI BERI NAMA KARUA  TIPARITTI'NA  UAI  (KTU)(KARUA BA’BANA MINANGA(8 MUARA SUNGAI) YAITU:

1.  Mesawa  
Digelar:
“Talinga  rarana  to  Pitu  ulunna  salu,  mata bulawanna karua  tiparitti'na  uai”. Artinya:  mata-mata  bagi barangsiapa  yang   hendak  masuk  Pitu  ulunna  salu  karua tiparitti'na uai dengan maksud jahat. Jika ada, dengan segera memberi kabar atau laporan kepada Indona  Mala'bo',  supaya ia dapat bersedia dengan selengkapnya.

2.  Ulu Manda':  
Digelar:
Sulluhanna  kada  nene  balatana'na  Kondo Sapata. Artinya: Batas tanah penduduk Pitu Ulunna Salu Karua Tiparitti'na Uai.

3. Sondoan
Digelar:
sama dengan gelaran Ulumanda'.

4.  Panetean  
Digelar:
Tampa'na   Tabulahan   artinya  batas  tanah Tabulahan dan Aralle.

5. Mamasa
Digelar:
a. Rambu saratu
b. Limbong  kalua,  tasik  malolanganna Indona Tabulahan.  Artinya:
a). banyak tanggungan-tanggungan atau  perjanjian-perjanjian   yang  dipertanggungkan  Indona Tabulahan kepada  Indona  Mamasa. b) Tanah yang seluas itu (lembang Mamasa)  dapatlah  dimasuki Indona Tabulahan dengan meminta sembarang  apa  saja  menurut  perjanjiannya  umpama: Beras padi  dll.,  supaya penduduk di tanah itu selamat dalam kediamannya.)

6. Osango 
Digelar: 
a.  Tomataianna  Totumandongi'na Indona Tabulahan tana lembanna Mamasa, artinya penjaga kesetiaannya Indona  Mamasa   pada   tanggungan-tanggungan   yang   sudah ditanggungnya
b.Tokkeran   Sepu'   artinya   tempat menyimpan tanda-tanda  peringatan perjanjian-perjanjian bagi Lembah Mamasa.

7. Orobua:
Digelar:
a.  Tomengkalambun bakaru, artinya Lembah Mamasa sudah di duduki atau di huni,  baru datang Indona Orobua yang bernama “Pasa'buan.”
b.  Dan juga diberi hak untuk datang menjual daun  enau  dan  daun  paku  lalu ditukar dengan padi oleh penduduk Mamasa, karena babinya telah dipotong waktu pembukaan sepu'  (=jimat)di Osango.

8. Tawalian 
Digelar:
asal  nama dari “Tawali”  artinya tak sempat lagi diberi  haknya,   melainkan  disamakan  saja  dengan  Indona Mamasa, Tawalian juga biasa disebut Indona sesena Padang.
  Mereka ini berasal dari Passokkoran bahagian Balanipa.   Neneknya  bernama Pottoni' Punda'da' Puppenda, Ponggasa'.
Pottoni' di Tawalian Ponggasa' di Buntu buda (Mamasa).

V. ATURAN ATAU UNDANG-UNDANG DI DAERAH PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTI’NA UAI

  Adapun aturan  atau undang-undang  pada  masa  itu  dinamai: “Pappuli tedong, pallottong  karambau”  yaitu  pada  masa  nenek Daeng Manganna dan  semua saudaranya sampai pada nenek Dettumanan dan saudara-saudaranya.  Waktu  itu  boleh dikata, tanah ini aman, jarang  terjadi  pembunuhan, pencurian dll.  “Pappuli tedong, pallottong karambau maksudnya”: mata ganti mata, gigi ganti gigi:  (band. Mat 5:38) ( Pappuli=pallottong=baku ganti sama banyak, sama harga; Tedong=karambau=kerbau.)
  Beberapa  lama  kemudian  dari  pada  itu,  datanglah  dan diizinkanlah  to Mampu'  yang berasal  dari  Tandalangan untuk tinggal  di Rantebulahan.
  Sekali   peristiwa   terjadilah  pembunuhan  disana  (Mambie, Rantebulahan). Menurut  undang-undang bahwa sipembunuh harus dibunuh juga.
  Beruntung  sebab  pada  waktu  itu  Tomampu'  membuat satu
permintaan kepada  yang  berwajib  di  Tanah  ini,  ia minta
supaya  undang-undang  pappuli  tedong  pallottong  karambau
diganti dengan undang-undang yang lain.
  Tomampu' berkata:
a. "Dikondo terong, ditampa bulahang", (Kerbau diperbaiki/diurut, emas dibentuk)
b. "Dibatta bihti' tau, tahpa dibihti'terong", (kaki orang dipotong, tapi kaki kerbau yang kena)
c. "Dibatta bihti'terong, tahpa dibihti' bahi",(kaki kerbau yang dipotong, tapi kaki babi yang kena)
d. "Dihenge' punno, disahihi la'bi". (dipikul yang penuh, dijinjin lebihnya)

Maksudnya:
a. "Yang baik diganti dengan yang lebih baik",
b."Dilempar batu dibalas dengan kapas",
d. "Wajiblah ditebus dengan cukup/ ditebus saja sudah cukup".

Dengan aturan barunya ini Tomampu'  menjelaskan kepada yang kaum/ semua orang bahwa undang-undang yang diberikannya itu lebih baik dari pada yang dulu; Misalnya ada  seorang yang dibunuh. Maka keluarga dari pada orang yang  dibunuh  itu  harus  bersabar, jangan main hakim sendiri, tetapi serahkanlah kepada hadat untuk diselesaikan dengan baik.

V. SEJARAH DAN LATAR BELAKANG "MAMASA"

Adapun Mamasa asal atau pada mulanya dinamai Mamase, artinya  sungai  yang   berpengasih.   Tanah   ini  kepunyaan Tabulahan.
  Pada suatu waktu datanglah seorang lelaki bersama isterinya, bernama Guali Padang anak dari Sahalima di Koa (Tabang).
Mereka  tinggal  di  Salu  Kuse'  dekat Rantebuda (Mamasa) dengan tidak diketahui nenek Dettumanan di Tabulahan.
Sekali waktu nenek Dettumanan pergi berburuh, akhirnya sampailah ke  puncak  gunung  Mambulillin. Di sana tampaklah olehnya asap  api di dekat sungai “Mamase” atau Mamasa di Salu Kuse. Nenek  Dettumanan  ini, dengan segera berjalan menujuh tempat itu.  Sesampainya ia ke sana, maka didapatinya sebuah pondok yang didiami oleh Guali Padang bersama isterinya.   Pada waktu itu Dettumanan sangat marah sekali pada mereka dan mereka diusir pulang kembali ke tempat kedua orangtuanya. Tetapi  Guali Padang tidak mau pergi menuruti perintah Dettumanan,  sehingga  Dettumanan  marah dan berkata:  “Biarlah kamu tinggal  di tempat ini, akan tetapi jangan kamu harap akan beroleh  berkat pada tempat ini. Karena tempat yang kamu diami sekarang ini ialah tanah kepunyaanku. Terkutuklah kamu dari Allah Taala. Bahwa anakmu nanti akan menjadi makanan  binatang  buas, dan bila kamu menanam padi, nanti akan  berubah menjadi alang-alang, jagung akan berubah menjadi pimping  (tille),  labu akan berubah menjadi seperti batu, ayammu  nanti dimakan elang, babimu akan dimakan ular, kerbaumu nanti  akan  ditanduk anoa (tokata), dan lain-lain. Tala mentaruk  tallangko  tala  ma'rombe' aho'” artinya bahwa turun-temurunmu tidak  akan  berkembang biak selama  engkau menduduki tanah ini.
Setelah ia berkata demikian, pulanglah dengan marahnya. 
Setelah  beberapa  bulan  lamanya  Guali  Padang  mendiami tempat itu,  maka mengandunglah isterinya. Dan kemudian setelah beberapa bulan istrinya melahirkan  seorang anak laki-laki. Tetapi ketika anak itu  mulai  bertambah besar,  tiba-tiba  datanglah seekor kuskus menerkam anak  itu  lalu  dijinjitnya dan dibawah keatas pohon untuk dimakan. Pada intinya segala  kutukan/perjanjian  yang  sudah dikatakan nenek Dettumanan semuanya terjadi.
Oleh Sebab  itu  Guali Padang serta isterinya tidak tahan lagi tinggal di tempat  itu,  lalu mereka pergi ke Tabang, tempat tinggal kedua orang tuanya, karena mereka bermaksud akan memberi tahukan semua hal itu kepadanya.
Setelah Guali Padang bersama istrinya sampai di Tabang dan bertemu dengan orang tuanya, maka diceritakannyalah semua hal yang telah mereka alami. Sehingga ayahnya membantu untuk menyelesaikan hal itu dengan jalan menyuruh anaknya(Guali Padang) untuk pergi berburuh,  dan semua hasil buruannya, akan di berikan kepada nenek Dettumanan di Tabulahan. Tetapi  sebelum dia berangkat, Ayahnya telah menyediakan dua “kapipe” jagung  goreng  yang  sudah  ditumbuk dicampur dengan daging kering. (kapipe =tempat membawah bekal pada waktu itu)  Maksudnya  supaya  apabila sampai ke Tabulahan, Guali Padang tidak akan mau diberi makan  oleh Dettumanan  sebelum tanah Mamasa di berikan kepadanya untuk di duduki.
 Lalu Guali Padang berangkat bersama dengan beberapa hambanya masuk hutan  untuk berburuh. Setelah beberapa hari tinggal di dalam  hutan dan mereka telah mendapat hasil yang memuaskan,   maka berangkatlah mereka ke Tabulahan. Setibanya  di Tabulahan,  Nenek Dettumanan  langsung  mengenal siapa dan apa maksut mereka datang di Tabulahan. Oleh karena itu Dettumanan langsung berangkat ke kebunnya meninggalkan mereka itu.
Setiap  kali  isteri  Dettumanan memberi makan pada mereka, Guali  Padang dan pengikutnya  tidak   mau  makan.  Sehingga  isteri Dettumanan sangat takut  sebab  ia berpikir jangan-jangan  mereka mati kelaparan sebab tidak mau makan.
Istri Dettumanan lebih takut lagi sebab  Guali  Padang  pura-pura sakit, dan membuat dirinya seakan-akan seperti orang yang sudah hampir mati.
  Isteri  nenek Dettumanan dengan segera berangkat ke kebunnya untuk memanggil suaminya dengan mengatakan padanya bahwa Guali Padang sudah hampir mati.
Maka pulanglah nenek Dettumanan bersama isterinya kemari. Sementara Guali  Padang  ini pura-pura  dalam keadaan sakit payah.
Setelah Dettumanan mendapati Guali Padang, dia  berkata kepadanya:  “Biarlah engkau mati; dan kalau engkau mati,  saya  tak  akan merasa rugi bila kupotongkan engkau sepuluh ekor kerbau, karena engkau amat kurang hadat, berani betul engkau mendiami tanah saya.”
Sementara Guali  Padang  ini  mendapat  marah,  semakin  ia
membuat dirinya  sangat rendah hati sehingga Dettumanan berkata lagi kepadanya: “Kalau  engkau  mau  dan  ingin sungguh-sungguh akan mendiami tanah  itu,  maukah  engkau  akan  menerima  segala perjanjian-perjanjian yang akan kupertanggungkan atasmu?”  Lalu Guali  Padang menjawab katanya: “Biarpun ringan atau berat perjanjian itu, harus  aku  dan  segala  cucu-ciciku menjunjungnya, asalkan aku dapat mendiami tanah itu.
Dettumanan  berkata lagi kepadanya:  “Kalau begitu kamu pulang saja, dan nanti saya menyusul di belakang.”
Setelah    beberapa    hari    antaranya, berangkatlah Dettumanan menyusul mereka. 
Sesampainya ia ke sana, maka mulailah Dettumanan menguraikan perjanjian itu, yang bunyinya sebagai berikut:
  1. Ungngakuraka  dio  ladikahoingko  timbu  uhai,  lole'ingko pa'tondokan aku tanan puntio, kuose'pinamula?
  2. Ungakuraka  dio  lakupepahe pahemu lakuehengngi lokomu anna kualai situhu' pangala inahangku?
  3. Ungakuraka   dio  laumpadua  lanta'  dasammu;  kulambi' peso'mu kalaiku ungkolai?
  4. Ungakuraka  dio  tala  matinna  anna tala mailuo dialing inde'e di lita'ku anu' labinasa lita' pa'de ma'hupatau?
  5. Ungakuraka  dio ladikoko papuammu ladipuhhu tubulillimmu ladisähpä' sepi'mu?
Mentimba' Guali Padang naoatee: Pada pa'kuammu pada kutarimbo, anu'tae' garaganna malepong dia langi!!
 

Artinya:
  1. Maukah engkau, saya akan mendirikan tempat kediamanmu, dan kusediakan satu  mata air menjadi air minummu, supaya engkau dan  isi  rumahmu  sampai  kepada  turun-temurunmu diibaratkan sebagai tanaman, dengan satu tuannya Tabulahan penjaganya?
  2. Maukah engkau,  bahwa  padi yang sedang menguning di sawah dan padi yang  ada  di  lumbung aku ambil seturut kemauan hatiku bila aku datang?
  3. Maukah engkau  bahwa  rumahmu  harus berpetak dua (2 kamar), dan nasi yang  sementara  terjerang  dalam  belanga kuangkat dan kusendok sendiri untuk kumakan?
  4. Maukah engkau bahwa tak boleh membuat satu keinginan yang akan merusakkan  tanah ini dan menjatuhkan kaum yang berdiam di dalamnya?
  5. Maukah  engkau,  bahwa  segala  kemauanku  engkau  turuti mulai dari yang besar sampai kepada yang kecil?
  Jawab Guali Padang katanya: “Segala perjanjianmu  saya  terima,  sebab  tak  ada lawannya keluasannya tanah  ini  bahkan  kegemburannya. Luasnya adalah sebagai bentangan langit.”

Catatan dari Penulis alsi:
-          Inilah yang dapat kami tuliskan dan mudah-mudahan dapat membantu para pembaca untuk mengetahui bagaimana sejarah, latar belakang dan adat istiadat, serta silsila yang berlaku di daerah kami “Tabulahan” sampai sekarang. Dan jika ada tulisan kami yang tidak sesuai menurut pembaca kami mohon maaf.
Catatan Penerjemah:
-          Tulisan ini diterjemahkan langsung dari bahasa Tabulahan Asli/bahasa tua oleh : Apolos Ahpa (Pembantu Penerjemah Alkitab Berbahasa Tabulahan) bersama dengan Penerjemah Alkitab Bahasa Tabulahan dari New Zeland (Robin M’kenzie), tanggal 10-15 September 1997.
-          Maaf karena sumber cerita ini sudah lama disimpan sehingga sumber/penulisnya tidak diketahui lagi, tapi arsip ini disimpan oleh Kel. Mangoli di Tabulahan, berdasarkan cerita turun-temurun dari nenek moyang kita.
-          Tadipotimpu’ pano di peneneang ang ditula’ sanganna yaling inde di sejarah, ampo’ lamendahi kakende’anna hupatau peampoanna Nene’ Pongkapadang (Penyebutan nama-nama Nene’ Moyang kita dalam sejarah ini, tidak akan menjadi kutuk, melainkan akan menjadi berkat dan perkembangan anak cucu dari Nene’ Pongkapadang.)

Selamat membaca, semoga berguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar