Tabulahan, September 10-15, 1997
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Oleh: APOLOS AHPA,S.Th.
ASAL MULA MANUSIA DAN PERMULAAN TABULAHAN DAN SEKITARNYA DIHUNI OLEH MANUSIA.
I. ASAL MULA MANUSIA DAN PERMULAAN TABULAHAN DIHUNI OLEH MANUSIA.
Asal mula manusia dan permulaan Tabulahan di huni dan di duduki orang sebagai suatu pemukiman ceritanya adalah sebagai berikut.
Bersamaan dengan terbitnya matahari di Ulu Sa’dang Rante pao yang sekarang di kenal dengan nama Tanah Toraja, berjalanlah dari sana enam orang laki-laki yang berbadan besar-besar, ada orang yang menganggap bahwa ke enam orang ini adalah bersaudara. Mereka ini adalah pengembara-pengembara. Adapun nama-nama mereka adalah sebagai berikut:
Puang Ri Mulu’
Mangkoana (Lando Belue’)
Pongka Padang (Puang Ri Lembang)
Bombong Langi’
Lando Guntu’
Lombeng Susu.
Keenam laki-laki ini tidak ada orang yang tau dari mana asal mereka. Lalu mereka masing-masing memilih daerah yang mereka senangi untuk di duduki sekaligus di jadikan daerah tempat tinggal, antara lain:
Puang Rimulu’ tinggal di Rante pao (Tanah Toraja)
Lando Belue’ pergi ke Bone dan tinggal di sana ,
Bombong Langi’ ke Masuppu
Lando Guntu’ ke Duri
Lombe susu ke Lohe Galumpang
Pongka Padang terus ke Tabulahan.
Adapun yang akan kami ceritakan disini ialah bagaimana perjalanan Nene’ Pongka Padang, karena dialah yang menjadi nene’ moyang kami orang Tabulahan.
Pada waktu itu Pongka padang berangkat dari Sa’dan dengan tidak merasa lelah, dia terus menelusuri gunung yang satu ke gunung yang lain yaitu: Dia meneleusuri Gunung Kepa’, kemudian terus lagi dan melewati Gunung Landa Banua, dan terus lagi melewati Gunung Mambulillin, dan terus lagi menuju Gunung Buntu Bulo ahirnya dia tiba di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan nama “Tabulahan” yang pada waktu itu masih berupa hutan belantara, yang ditumbuhi bambu-bambu kecil (“bulo” dalam bahasa Tabulahan). Daerah ini dulu dikenal dengan nama “Bulo Mahpa”, dan belum ada satu orangpun yang tinggal di daerah tersebut.
Pada waktu Pongka Padang melakukan pengembaraan, dia di sertai dengan dua orang pengawal yang mempunyai tugas masing-masing yaitu:
1. Satu orang Pembawah gong (Padalin)
2. Satu orang Pembawah Pedang dan sepu’ (jimat-jimat, pakaian dan lain-lain).
Nama ke dua orang pengawal tersebut hanya satu orang yang di ketahui namanya sampai sekarang yaitu: ta “Malillin/Mambulillin”. Akan tetapi dalam perjalanannya Mambulillin terserang penyakit yang parah, sehingga mereka harus tinggal di atas sebuah Gunung. Namun tidak beberapa hari lamanya mereka tinggal di atas gunung tersebut, ternyata keadaan Mambulillin semakin parah dan akhirnya meninggal dunia lalu Pongka Padang menguburkan di atas gunung itu. Itulah sebabnya gunung itu diberi nama: “Gunung Mambulillin” sebab tempat di kuburkannya Mambulillin.
Nene’ Pongka Padang meneruskan lagi perjalanannya bersama seorang pengawalnya, tapi sayang sekali sebab nama pengawal tersebut tidak di ketahui sampai sekarang. Namun sejarah membuktikan bahwa memang masih ada satu orang pengawal yang berjalan dengan Pongka Padang pada waktu itu sampai di Gunung Buntu Bulo di Tabulahan. Kemudian hari baru mulai muncul nama “Polo Padang”, tapi sampai sekarang tidak ada yang bisa memastikan kalau memang betul itu adalah “Polopadang” yang dimaksud.
Dalam pengembaraan Pongka padang , dia sanggup menelusuri semua daerah sampai di pinggiran pantai. Akan tetapi dia tidak menemukan suatu daerah yang cocok baginya. Dan akhirnya dia kembali ke Gunung Buntu Bulo di daerah Tabulahan dan tinggal di atas. Setelah beberapa hari tinggal di atas gunung itu, dia mulai mengalami mimpi-mimpi yang baik dan merasakan bagaimana sejuknya cuaca yang ada di gunung itu dan juga nyamuk tidak terdapat di situ. Maka dia memutuskan untuk bertempat tinggal di atas Gunung itu.
Gong("Padaling", bhs Tabulahan) ini diyakini sebagai peninggalan Nene' Pongkapadang
Pada suatu waktu Pongka Padang melayangkan pandangannya ke sekitar daerah itu karena ingin melihat bagaimana keindahan pemandangan alamnya, tiba-tiba tampak olehnya asap api yang membumbung tinggi kelangit di gunung sebelah barat dari tempatnya. Melihat asap itu, dia sangat heran dan terkejut sekali, karena dia berpikir: ‘Bagaimana mungkin ada orang lain tinggal disini? Bukankah baru saya yang menduduki daerah ini? Oleh karena itu, gunung Tersebut dia beri nama Gunung “Kapusaang” yang artinya Gunung “keheranan” (bahasa tabulahan “Pusa’ artinya heran”), karena heran melihat asap api yang ada di gunung itu.
Apa yang di lakukan selanjutnya oleh Pongka Padang ialah mengutus pengawalnya ke gunung tersebut untuk mencari tau apa sebenarnya yang ada di sana. Lalu pengawalnyapun pergi dengan pesan dari Pongka Padang katanya: “Pergilah ke gunung yang di sebelah itu untuk melihat siapa gerangan yang ada di sana, dan kalau kau sampai di sana lalu kau memdapati seseorang, silahkan tanyakan siapa namanya dan dari mana dia datang.” Lalu pengawalnya ini pergi seturut apa perintah majikannya. Setibanya di sana diapun sangat keheran-heranan ketika dia melihat seorang wanita yang sangat cantik sekali berambut panjang dan berkulit putih bersama dengan seorang pengawalnya.
Dengan perasaan takut dan ragu-ragu, si pengawal ini menghampiri wanita tersebut dan berkata kepadanya: ”Saya datang diutus oleh majikan saya untuk menemui anda sebab dia telah melihat ada asap di sekitar daerah ini dan ternyata benar ada orang yang tinggal disini. Dan saya juga di suruh untuk menanyakan siapa nama anda dan berasal dari mana?” Lalu perempuan itu menjawab katanya: “Pulanglah kembali ke pada majikanmu dan katakan; ‘Nama saya ialah “Torije’ne’” yang artinya “orang yang datang dari laut”, karena saya memang datang dari laut dengan memakai perahu, dan nama pengawal saya adalah “Pue Mangondang”. Sesudah itu maka pengawal Pongka Padang ini pulang kembali ke Gunung Buntu Bulo untuk menyampaikan semuanya itu kepada Pongkapadang.
Sesampainya di atas, bertanyalah Pongka Padang kepadanya demikian: “Apa yang kau dapati di sana ?” Pengawal itu menjawab: “Saya mendapati dua orang di sana , yang satu perempuan cantik berambut panjang dan berkulit putih, dan yang satu lagi laki-laki sebagai pengawalnya. Yang perempuan bernama “Torije’ne’” dan pengawalnya bernama “Pue Mangondang”, selain sebagai pengawal, Pue Mangondang juga adalah saudara sepupu dari Torije’ne’. Mereka katanya berasal dari laut dengan memakai perahu.” Lalu berkata lagi Pongka Padang kepada pengawalnya: “Kau pergi lagi ke sana dan katakan kepada mereka; ‘Bolekah kita tinggal bersama-sama di satu tempat?’” Lalu pengawal itupun pergi lagi untuk kedua kalinya. Setelah sampai di sana dia berkata kepada Torije’ne’ katanya: “Majikan saya menyuruh menanyakan apakah anda setuju jika kita tinggal bersama-sama dalam satu tempat? atau bagaimana? Lalu Torije’ne’ menjawab: “Ya, baiklah. Sekarang kau kembali kepada majikanmu dan katakan; ‘Boleh, tapi saya minta kalau dia bisa kemari karena saya ingin bertemu dengan dia.” Pengawal itu pulang dengan perasaan senang kepada majikannya dan menyampaikan segalah apa yang di katakan oleh Torije’ne’.
Pongka Padang sangat gembira dan senang mendengar apa yang disampaikan oleh pengawalnya itu, dimana perempuan itu ingin bertemu dengannya dan setuju untuk tinggal bersama di satu tempat. Pada saat itu juga Pongka Padang mempersiapkan segalah sesuatunya dan dia berangkat menuju Gunung Kapusaang tempat dimana perempuan itu berada. Sesampai disana, Torije’ne’ langsung menyambut dia dengan baik dan dia bertanya: “Siapa nama anda?” Jawab Pongka Padang :”Nama saya Pongka Padang , yang artinya “sudah banyak gunung saya telusuri sampai saya bisa tiba di daerah ini”. Nama saya yang sebenarnya ialah: Puang Ri Lembang tapi karena sudah banyak gunung yang saya telusuri sehingga saya memberi nama diri saya Pongka Padang.” Torije’ne’ melanjutkan pertanyaannya dengan mengatakan: “Apa rencanamu untuk datang ke mari?” Tapi Pongka padang balik bertanya katanya: “Bagaimana ceritanya sehingga kau bisa sampai di sini?” Torije’ne’ menjawab: “Saya ini datang dari laut dengan memakai perahu pada waktu air pasang, lalu perahu saya ini terkandas di atas gunung ini. Setelah air kembali surut perahu saya tidak bisa lagi di tarik ke laut sehingga saya tinggal saja di gunung ini. Jadi nama saya Torije’ne’ yang artinya: “Orang yang datang dari laut”. Lalu kata pongka padang : “Bagaimana kalau kita tinggal bersama di suatu tempat? Torije’ne’ menjawab katanya: “Kenapa tidak, itu sangat baik.”
Pada waktu itu Pongka Padang dengan Torije’ne’ mulai bermalam bersama-sama di atas Gunung Kapusaang selama tiga malam, dan pada waktu itu juga mereka resmi menjadi suami istri. Setelah sampai tiga malam tinggal di kapusaang, berkatalah Pongka Padang: ”Bagaimana kalau kita pergi dan bermalam lagi di Gunung Buntu bulo, gunung yang di sebelah itu? Torije’ne’ menjawab: ”Baiklah”. Lalu mereka pergi menuju Gunung Buntu bulo, dan bermalam di atas gunung itu. Setelah sampai tiga malam mereka bermalam di atas, berkatalah Pongka Padang: “Menurut kamu bagaimana perbedaan antara Gunung Kapusaang denga Gunung Buntu bulo ini? Torije’ne’ menjawab katanya: “Saya rasa baik di sini” Kata Pongka Padang lagi: “Jadi bagaimana kalau kita buat rumah di sini?” Torije’ne’ menjawab: “Terserah kamu. Saya tidak katakan ia dan juga tidak. Pokoknya terserah kamu sebab laki-laki yang menentukan bukan perempuan, hanya saja sebab perahu dan lesung bersama antan saya masih ada di gunung kapusaan.” Lalu kata Pongka Padang: “Biarkan saja tinggal di sana nanti kalau ada kesempatan bisa kita lihat ke sana , ini saya katakan sebab daerah ini sangat baik untuk kita tempati, juga aman sebab bukan hanya saya yang merasakan tapi kamu juga sudah merasakannnya ya?.” Lalu jawab Torije’ne’: ”Ia, saya juga rasakan bagaimana bagusnya daerah ini, dan saya juga senang tinggal di sini.”
Gunung Buntu Bulo, dilihat dari kampung "Langsa'"
Mulai saat itu mereka tinggal di atas Gunung Buntu bulo sampai mereka mempunyai tuju orang anak, yang di kenal dengan nama “To Pitu” yang artinya “Ketuju orang”. Adapun nama-nama mereka ialah;
Daeng Manganna
Mana Pahodo(Buntu Bulo)
Simba’ Datu
Pullao Mesa
Daeng Lumalle
Bura’ Le’bo’
Pattana Bulan
Ketuju orang ini tidak ada yang pergi meninggalkan Tabulahan, mereka semua tinggal dan bermukim di Tabulahan sampai mereka menjadikan lagi keturunan yang dikenal dengan “To Sampulo mesa” artinya “Keseblas orang”.
Adapun nama-nama keseblas orang ini dan tempat tinggal mereka ialah:
Dettumanan di Tabulahan
Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang
Daeng matana di Mambi
Ta Ajoang di Matangnga
Daeng Malulung di Balanipa(Tinambung)
Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’)
Makke Daeng di Mamuju
Tambuli Bassi di Tappalang
Sahalima di Koa(Tabang)
Daeng Kamahu (Ta Kayyang Pudung) di Sumahu’ (Sondoang)
Ta La’binna di Lohe Galumpang(Mangki tua).
II. SILSILA DAN PENYEBARAN KETURUNAN KE DAERAH-DAERAH LAIN
Kemudian Dettumanan kawin dengan seorang perempuan anak cucu dari Lombe Susu bernama Puelebuttang, asal dari Mangki Tua (Lohe) lalu memperanakkan 5 orang anak yaitu:
1. Soyak
2. Manatanda
3. Pakiringan
4. Ta Hengkona
5. Ta Kaise'
Soyak dan Manatanda bermukim di Tabulahan. Pakiringan mula-mula ke Kalonding bagian Mamuju dan kemudian ia kembali lagi, lalu Ayahnya menyuruh dia ke Osango bersama seorang hambanya bernama Pambate. Dan inilah yang menjadi asal nenek moyang orang Taupe (Osango).
Ta Hengkona dikawini oleh seorang lelaki bernama Bundangulu
anak cucu dari Simba Datu asal dari Matanga, lalu mereka tinggal di Baitang (Aralle).
Ta Kaise dikawini oleh seorang lelaki bernama Manalolo saudara dari Bundangulu. Mereka tinggal di Tapako (Aralle).
Kedua lelaki yang disebut di atas yakni Bundangulu dan Manalolo, begini ceritanya: Simba Datu meperanakkan Marimbun dan kawin dengan seorang lelaki bernama Parinding Bassi anak dari Pullao Mesa di Masorang lalu memperanakkan ta Ayoan. Ta Ayoan memperanakkan Bundangulu dan Manalolo. Itulah nenek moyang atau asal turunan di Aralle.
Silsilanya adalah seperti berikut:
Soyak memperanakkan Bembe
Bembe memperanakkan Daeng Siande
Daeng Siande memperanakkan Matanning
Matanning memperanakkan Ahuang di Dadeko
Ahuang di Dadeko memperanakkan Todisondongi, Singka
Todisondongi memperanakkan 1. Daeng Mallipung
2. Daeng Mangemba
3. Eloangin
4. Ata
Daeng Mallipung memperanakkan Toumpellei Dasanna
Toumpellei Dasanna memperanakkan Daeng Pallaha
Daeng Pallaha memperanakkan Malinga' Ende
Malinga' memperanakkan Moko' Tangkahang
Moko' memperanakkan 1. Ta Kaliasa'
2. Ta Behe
3. Ta Tangkahang
4. Ta Saehang
Ta Kaliasa' kawin dengan Su'beng anak cucu dari Ata saudara dengan Mallipung lalu memperanakkan:
1. Ta Parinding
2. Ta Loma'
3. Ta Letung
4. -
Ta Parinding kawin dengan ta Banna anak cucu dari nenek Daeng Mangemba, lalu memperanakkan ta Sibuntang.
Ta Sibuntang kawin dengan ta Palulungan saudaranya Tuan Parenge (Tamangkoa) anak cucu dari ta Behe saudaranya ta Kaliasa' lalu memperanakkan:
Ta Mangoli (Mangoli),
Ta Kambelu,
Ta Molo,
Ta Mandayai.
Ta Mangoli kawin dengan ta Dottong anak cucu dari Loma' yang kawin dengan ta Ente lalu memperanakkan ta Sempa. Ta Sempa memperanakkan:
1. Ta Su'bu
2. Ta Sondo
3. Ta Ta'le
Ta Sondo kawin dengan ta Mokang saudara dari Sampanga (Pue Masalung) anak cucu dari nenek Ata lalu memperanakkan:
1. Ta Deppung
2. Ta Madi
3. Ta Ayo
4. Ta Dottong
5. Ta Bassi
6. Ta Sambeng Bulahang
Ta Dottong kawin dengan ta Mangoli lalu memperanakkan:
1. Ta Boha'
2. Ta Maya'
3. Simba Datu
4. Patundan (Barends)
5. Aruang Boyo
6. Pahtaro Pura (Ta Ma'ta).
Ta Behe saudaranya ta Kaliasa' kawin dengan seorang lelaki bernama ta Buli, lalu memperanakkan 2 orang yaitu:
Ta Lento,
Ta Tau'.
Ta Lento kawin dengan ta Hapu lalu memperanakkan:
1. Ta Palu'lungan
2. Ta Sondong
3. Ta Sapahu
4. Ta Betanga'
5. Ta Sangkalla'
6. Ta Imba'
7. Ta Besu'
8. Ta Mangkoa (Parenge') (Baliada')
9. Ta Isungan
Ta Palu'lungan kawin dengan ta Sibuntang lalu memperanakkan:
1. Ta Mangoli
2. Ta Belu'
3. Ta Molo
4. Ta Kessu' (sudah mati)
5. Ta Mandayai (lain ibu)
Ta Mangkoa kawin dengan ta Berindu lalu meperanakkan:
1. Tande Bua'
2. Takakiing
3. Tasitakkan
Daeng Mangemba memperanakkan La'lang. Ta La'lang memperanakkan:
Sambo, dan
Lita', dll.
Sambo memperanakkan:
Latangke, dan
Indo Malliki'.
Latangke meperanakkan:
Ta Ponang,
Tatu'.
Ta Ponang kawin dengan To Diparang lalu memperanakkan:
Ta Sassang,
Tabanna,
Tadahu'.
Ta Sassang kawin dengan ta La'le' cucu dari Daeng Mangemba juga, lalu memperanakkan Polo Padang kepala tua di Saluleang bahkan hadat besar di tanah itu. Polo Padang kawin dengan ta Ayo tetapi tak beranak. Kemudian kawin sekarang dengan ta Soe lalu memperanakkan:
Mattayan,
Ta Tona'.
Ta Sapahu kawin dengan Ta Limbu yang berasal dari Sumahu' anak cucu dari ta Magondoi lalu memperanakkan:
Ta Sitti,
Ta Buaran,
Ta Leppang.
Ta Sitti kawin dengan (ta Kandongi yang berasal dari Aralle sebagianya dan Ibunya berasal dari Tabulahan) lalu memperanakkan:
1. Ta Samalang (Johannes)
2. Ta Bena
3. Ta Nanti
Ta Buaran tidak mempunyai anak.
Ta Leppang kawin dengan Aruang Bonga anak dari Aruang Pasau' lalu memperanakkan Dettumanan.
Ta Limbu diangkat menjadi Pangulu Tau (Pa' bahani) (Pemberani).
Adapun nama kepala-kepala hadat yang dilantik bahkan didudukkan diatas kepala Kerbau sebagai tanda resmi menjadi kepala hadat (Kepala hadat yang telah di setujui oleh Rakyat Tabulahan adalah sebabgai berikut:
1. Dettumanan
2. Soya'
3. Bembe
4. Daeng Siande
5. Matanning
6. Ahuang di Dadeko
7. Todisondongi
8. Daeng Mallipung
9. Toumpellei Dasanna
10. Daeng Pallaha
11. Malinga
12. Moko'
13. Ta Kaliasa'
14. Ta Pahinding
15. Ta Mangoli
Wakil-wakilnya atau dalam bahasa Tabulahan disebut Bali Ada', (bisa juga diterjemahkan Adat II) atau Perwakilan Kepala Adat yang ada di Kampung sebelah ialah:
Ahuang di Dadeko diwakili oleh Tandong Bulawan.
Todisondongi diwakili oleh Todibalabatu.
Daeng Mallipung didiwakili oleh Ambe Pahallu.
Toumpellei Dasanna diwakili oleh ta Doo (Daeng Mangende).
Daeng Pallaha diwakili oleh ta Mendai'.
Malinga diwakili Tandi Pallu I.
Moko' diwakili Ambe Bakia'
Malliki diwakili Tandi Pallu II.
Ta Pahinding diwakili Ta Malliki'.
Ta Mangoli diwakili ta Mangkoa.
Tentang tentang Hadat II atau Perwakilan-perwakilan kepala hadat dalam daerah ini (Tabulahan) tidak tetap turunannya, melainkan dipilih saja seturut kemauan kepala hadat (ditunjuk langsung oleh kepala hadat dengan mempertimbangkan Keluarga Besarnya/Keluarga yang terhormat)
III. KETURUNAN PONGKA PADANG YANG MENDIAMI PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTI’NA UAI/KARUA BA’BANA MINANGA (PUS-KTU) DI BAWAH KEKUASAAN TABULAHAN.
Turunan Pongka Padang mendiami Tanah Toraja mamasa yang kini lasim disebut Pitu Ulunna Salu, karua tiparitti'na uai. Pada mulanya tanah ini bukan di namai demikian, melainkan dinamai: Lita'na to pitu di ulunna Salu artinya tanah dari 7 orang yang ada di hulu sungai (7 orang anak Pongka Padang).
Yang mula-mula berjalan keliling memberi batas akan tanah ini, yakni seorang anak dari Pongka Padang yang bernama Pullao Mesa. Kemudian berangkat pula Daeng Manganna dan Mana Pahodo untuk memberi nama pada daerah setempat.
Seorang dari pada mereka itu memakai tongkat dahan kayu cendana yang masih mentah. Setelah tiba di daerah (bagian Mandar) tongkat kayu Cendana itu ditanam lalu tumbuh. Oleh sebab itu daerah tersebut diberi nama Kampung Cendana.
Lita'na to pitu diulunna salu kemudian diberi nama: Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai yang artinya 7 hulu sungai, dan 8 anak (muara) sungai. Kata itu suatu kiasan adanya.
Pitu Ulunna Salu artinya tujuh kekuasaan. Sebab pada mulanya Tabulahan mempunyai kuasa pada 7 negeri: Nama ketujuh kekuasaan itu yaitu:
1. Aralle
2. Mambie
3. Bambang
4. Rantebulahan
5. Matanga
6. Tu'bi/mala’bo’
7. Tabang (Tandung)
Pada tiap-tiap daerah itu ada keharusannya.
Karua tiparitti'na uai artinya delapan daerah kekuasaan yang kecil, yang mempunyai kuasa atau keharusan agak kurang di banding ke 7 negeri yang mula-mula disebut).
Nama kedelapan daerah kekuasaan itu ialah:
1. Mesawa
2. Ulumanda'
3. Sondoan (Keang)
4. Panetean
5. Mamasa
6. Osango
7. Orobua
8. Tawalian
Delapan daerah kekuasaan itu masing-masing mempunyai kuasa atau keharusannya.
Tabulahan adalah penguasa atau tanah yang merdeka. Gelar atau nama Tabulahan adalah:
a. Petaha mana', pebita' pahandangan
b. Petoe saku', peanti kadinge' pedekeng kahatuang.
c. Indona Lita'
d. Tomepaihanna Pitu ulunna salu, karua tiparitti'na uai.
Yang artinya:
a) Pembagi warisan dalam pusaka bahkan batasan tanah yang sudah diberikan masing-masing, penentu/pembicara/pemutus dalam acara-acara perkawinan.
b) Pemegang ibadat untuk Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai supaya selamanya keberkatan. Tetapi kalau di antaranya ada yang berbuat kejahatan, maka orang itu harus datang di Tabulahan supaya diberkati pula dengan memakai “saku' kadinge' dan kahatuang” supaya kembali baik (tahir) pula dipandang Allah Taala. Dalam bahasa tua mengatakan: “Ladisaku'i, ladikadinge’i sala anna malai titanan punti, tiasak kahatuan illalan botto lita'na sule”.
c) Ibu/tuan Tanah/ pemilik tanah dari Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai.
d) Pemepegang pemali-pemali/(Pendoa syafaat) untuk penduduk PUS dan karua tiparitti'na uai supaya mereka selalu dalam keadaan yang aman dan sentosa.
IV. GELAR-GELAR DAN TANGGUNG JAWAB DAERAH-DAERAH DI PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTI’NA UAI.
A. GELAR DAN TANGGUNG JAWAB DAERAH-DAERAH PUS:
1. Aralle
Digelar:
a. Indona ba'bana lembang, toma'kadanna to Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai.
b. Todipa'ulua dimana'
(Artinya a).Indona Aralle menerima/mendengar segala pembicaraan-pembicaraan penduduk dalam Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai lalu pembicaran itu dibawanya datang di Tabulahan supaya diurusnya/diselesaikan. Dan bagaimana keputusan urusan itu, Indona Aralle menyampaikannya pula pada kepala-kepala hadat di Pitu Ulunna Salu yang bersangkutan. b) yang pertama-tama mendapat pembagian warisan)
2. Mambi
Digelar:
a. Indona Lantang kada nenek
b. Lempoh kuring, paya kandeang
Artinya :
- Di Mambie, tempat bertemunya/berkumpulnya kepala-kepala hadat Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai untuk membicarakan “katibangunganna lita', kamahosonganna ma'rupa tau” (pembangunan dan kesejahteraan umat/masyarakat), atau membicarakan perkara-kara yang lain yang patut dibicarakan dalam pertemuan kepala-kepala hadat. Segala pembicaraan itu atau segala keputusannya, harus disampaikan pada Indona lita' (Tabulahan) supaya dimohonkan berkat atas pembicaraan itu, supaya hasil pembicaraan itu mendatangkan bahagia/terealisasi.
- Tanggungan indona Mambie yaitu melayani (menjamin/memberi makan) kepala-kepala hadat dalam pertemuannya selama mereka bersidang/ma’limbo.
3. Bambang
Digelar:
a. Sangkiran tinting, pandaga lappa-lappa
b. Su' buang ada’
Artinya:
- sebagai penungguh tali yang menghubungkan satu negeri pada negeri yang lain. Yaitu kalau ada yang membuat satu kejahatan yang akan merusakkan tanah Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai maka Indona Bambang mulai mengajar mereka menurut undang-undang hadat.
- Dan juga Indona Bambang adalah tempat menyimpan sementara orang yang melanggar adat.
4. Rantebulahan
Digelar:
- Indona lembang Tomakakanna lita'.
Artinya orang yang dipandang kaya dalam Pitu Ulunna Salu. Sebab ia diwajibkan akan membayar denda setiap orang yang mendapat denda karena perbuatannya melanggar aturan adat, supaya ada perdamaian kembali.
- Juga digelar Toma' dua Taking toma' tallu sulekka untetenge kondo sapata. Artinya diberi hak akan menjaga keamanan; dan memperdamaikan orang yang berselisi dengan memberi hadiah selaku upahnya supaya perselisihan kedua pihak hilang.
5. Matanga
Digelar:
Adiri Tatempong , tamba Tammalate artinya Tiang yang terkuat, yang akan menyokong jatuh dan bangunnya penduduk Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai.
6. Mala'bo
Digelar:
a. Tandu' kalua' palasang marosong, artinya ialah selaku dinding temboknya Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai bila ada bangsa lain yang akan merusakkan tanah ini (Hulu balang).
7. Tabang
Digelar:
a. Baka disura, gandang diroma.
b.Talaunna kada nenek bubunganna kada tomatua
Artinya:
a. Baka disura gandang diroma itu selaku pusakanya saja.
b. Talaunna kada nenek, bubunganna kada tomatua artinya pembatas ketujuh kekuasaan negeri yang sama kuasa.
B. GELAR DAN KEHARUSAN NEGERI-NEGERI YANG DI BERI NAMA KARUA TIPARITTI'NA UAI (KTU)(KARUA BA’BANA MINANGA(8 MUARA SUNGAI) YAITU:
1. Mesawa
Digelar:
“Talinga rarana to Pitu ulunna salu, mata bulawanna karua tiparitti'na uai”. Artinya: mata-mata bagi barangsiapa yang hendak masuk Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai dengan maksud jahat. Jika ada, dengan segera memberi kabar atau laporan kepada Indona Mala'bo', supaya ia dapat bersedia dengan selengkapnya.
2. Ulu Manda':
Digelar:
Sulluhanna kada nene balatana'na Kondo Sapata. Artinya: Batas tanah penduduk Pitu Ulunna Salu Karua Tiparitti'na Uai.
3. Sondoan
Digelar:
sama dengan gelaran Ulumanda'.
4. Panetean
Digelar:
Tampa'na Tabulahan artinya batas tanah Tabulahan dan Aralle.
5. Mamasa
Digelar:
a. Rambu saratu
b. Limbong kalua, tasik malolanganna Indona Tabulahan. Artinya:
a). banyak tanggungan-tanggungan atau perjanjian-perjanjian yang dipertanggungkan Indona Tabulahan kepada Indona Mamasa. b) Tanah yang seluas itu (lembang Mamasa) dapatlah dimasuki Indona Tabulahan dengan meminta sembarang apa saja menurut perjanjiannya umpama: Beras padi dll., supaya penduduk di tanah itu selamat dalam kediamannya.)
6. Osango
Digelar:
a. Tomataianna Totumandongi'na Indona Tabulahan tana lembanna Mamasa, artinya penjaga kesetiaannya Indona Mamasa pada tanggungan-tanggungan yang sudah ditanggungnya
b.Tokkeran Sepu' artinya tempat menyimpan tanda-tanda peringatan perjanjian-perjanjian bagi Lembah Mamasa.
7. Orobua:
Digelar:
a. Tomengkalambun bakaru, artinya Lembah Mamasa sudah di duduki atau di huni, baru datang Indona Orobua yang bernama “Pasa'buan.”
b. Dan juga diberi hak untuk datang menjual daun enau dan daun paku lalu ditukar dengan padi oleh penduduk Mamasa, karena babinya telah dipotong waktu pembukaan sepu' (=jimat)di Osango.
8. Tawalian
Digelar:
asal nama dari “Tawali” artinya tak sempat lagi diberi haknya, melainkan disamakan saja dengan Indona Mamasa, Tawalian juga biasa disebut Indona sesena Padang.
Mereka ini berasal dari Passokkoran bahagian Balanipa. Neneknya bernama Pottoni' Punda'da' Puppenda, Ponggasa'.
Pottoni' di Tawalian Ponggasa' di Buntu buda (Mamasa).
V. ATURAN ATAU UNDANG-UNDANG DI DAERAH PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTI’NA UAI
Adapun aturan atau undang-undang pada masa itu dinamai: “Pappuli tedong, pallottong karambau” yaitu pada masa nenek Daeng Manganna dan semua saudaranya sampai pada nenek Dettumanan dan saudara-saudaranya. Waktu itu boleh dikata, tanah ini aman, jarang terjadi pembunuhan, pencurian dll. “Pappuli tedong, pallottong karambau maksudnya”: mata ganti mata, gigi ganti gigi: (band. Mat 5:38) ( Pappuli=pallottong=baku ganti sama banyak, sama harga; Tedong=karambau=kerbau.)
Beberapa lama kemudian dari pada itu, datanglah dan diizinkanlah to Mampu' yang berasal dari Tandalangan untuk tinggal di Rantebulahan.
Sekali peristiwa terjadilah pembunuhan disana (Mambie, Rantebulahan). Menurut undang-undang bahwa sipembunuh harus dibunuh juga.
Beruntung sebab pada waktu itu Tomampu' membuat satu
permintaan kepada yang berwajib di Tanah ini, ia minta
supaya undang-undang pappuli tedong pallottong karambau
diganti dengan undang-undang yang lain.
Tomampu' berkata:
a. "Dikondo terong, ditampa bulahang", (Kerbau diperbaiki/diurut, emas dibentuk)
b. "Dibatta bihti' tau, tahpa dibihti'terong", (kaki orang dipotong, tapi kaki kerbau yang kena)
c. "Dibatta bihti'terong, tahpa dibihti' bahi",(kaki kerbau yang dipotong, tapi kaki babi yang kena)
d. "Dihenge' punno, disahihi la'bi". (dipikul yang penuh, dijinjin lebihnya)
Maksudnya:
a. "Yang baik diganti dengan yang lebih baik",
b."Dilempar batu dibalas dengan kapas",
d. "Wajiblah ditebus dengan cukup/ ditebus saja sudah cukup".
Dengan aturan barunya ini Tomampu' menjelaskan kepada yang kaum/ semua orang bahwa undang-undang yang diberikannya itu lebih baik dari pada yang dulu; Misalnya ada seorang yang dibunuh. Maka keluarga dari pada orang yang dibunuh itu harus bersabar, jangan main hakim sendiri, tetapi serahkanlah kepada hadat untuk diselesaikan dengan baik.
V. SEJARAH DAN LATAR BELAKANG "MAMASA"
Adapun Mamasa asal atau pada mulanya dinamai Mamase, artinya sungai yang berpengasih. Tanah ini kepunyaan Tabulahan.
Pada suatu waktu datanglah seorang lelaki bersama isterinya, bernama Guali Padang anak dari Sahalima di Koa (Tabang).
Mereka tinggal di Salu Kuse' dekat Rantebuda (Mamasa) dengan tidak diketahui nenek Dettumanan di Tabulahan.
Sekali waktu nenek Dettumanan pergi berburuh, akhirnya sampailah ke puncak gunung Mambulillin. Di sana tampaklah olehnya asap api di dekat sungai “Mamase” atau Mamasa di Salu Kuse. Nenek Dettumanan ini, dengan segera berjalan menujuh tempat itu. Sesampainya ia ke sana , maka didapatinya sebuah pondok yang didiami oleh Guali Padang bersama isterinya. Pada waktu itu Dettumanan sangat marah sekali pada mereka dan mereka diusir pulang kembali ke tempat kedua orangtuanya. Tetapi Guali Padang tidak mau pergi menuruti perintah Dettumanan, sehingga Dettumanan marah dan berkata: “Biarlah kamu tinggal di tempat ini, akan tetapi jangan kamu harap akan beroleh berkat pada tempat ini. Karena tempat yang kamu diami sekarang ini ialah tanah kepunyaanku. Terkutuklah kamu dari Allah Taala. Bahwa anakmu nanti akan menjadi makanan binatang buas, dan bila kamu menanam padi, nanti akan berubah menjadi alang-alang, jagung akan berubah menjadi pimping (tille), labu akan berubah menjadi seperti batu, ayammu nanti dimakan elang, babimu akan dimakan ular, kerbaumu nanti akan ditanduk anoa (tokata), dan lain-lain. Tala mentaruk tallangko tala ma'rombe' aho'” artinya bahwa turun-temurunmu tidak akan berkembang biak selama engkau menduduki tanah ini.
Setelah ia berkata demikian, pulanglah dengan marahnya.
Setelah beberapa bulan lamanya Guali Padang mendiami tempat itu, maka mengandunglah isterinya. Dan kemudian setelah beberapa bulan istrinya melahirkan seorang anak laki-laki. Tetapi ketika anak itu mulai bertambah besar, tiba-tiba datanglah seekor kuskus menerkam anak itu lalu dijinjitnya dan dibawah keatas pohon untuk dimakan. Pada intinya segala kutukan/perjanjian yang sudah dikatakan nenek Dettumanan semuanya terjadi.
Oleh Sebab itu Guali Padang serta isterinya tidak tahan lagi tinggal di tempat itu, lalu mereka pergi ke Tabang, tempat tinggal kedua orang tuanya, karena mereka bermaksud akan memberi tahukan semua hal itu kepadanya.
Setelah Guali Padang bersama istrinya sampai di Tabang dan bertemu dengan orang tuanya, maka diceritakannyalah semua hal yang telah mereka alami. Sehingga ayahnya membantu untuk menyelesaikan hal itu dengan jalan menyuruh anaknya(Guali Padang) untuk pergi berburuh, dan semua hasil buruannya, akan di berikan kepada nenek Dettumanan di Tabulahan. Tetapi sebelum dia berangkat, Ayahnya telah menyediakan dua “kapipe” jagung goreng yang sudah ditumbuk dicampur dengan daging kering. (kapipe =tempat membawah bekal pada waktu itu) Maksudnya supaya apabila sampai ke Tabulahan, Guali Padang tidak akan mau diberi makan oleh Dettumanan sebelum tanah Mamasa di berikan kepadanya untuk di duduki.
Lalu Guali Padang berangkat bersama dengan beberapa hambanya masuk hutan untuk berburuh. Setelah beberapa hari tinggal di dalam hutan dan mereka telah mendapat hasil yang memuaskan, maka berangkatlah mereka ke Tabulahan. Setibanya di Tabulahan, Nenek Dettumanan langsung mengenal siapa dan apa maksut mereka datang di Tabulahan. Oleh karena itu Dettumanan langsung berangkat ke kebunnya meninggalkan mereka itu.
Setiap kali isteri Dettumanan memberi makan pada mereka, Guali Padang dan pengikutnya tidak mau makan. Sehingga isteri Dettumanan sangat takut sebab ia berpikir jangan-jangan mereka mati kelaparan sebab tidak mau makan.
Istri Dettumanan lebih takut lagi sebab Guali Padang pura-pura sakit, dan membuat dirinya seakan-akan seperti orang yang sudah hampir mati.
Isteri nenek Dettumanan dengan segera berangkat ke kebunnya untuk memanggil suaminya dengan mengatakan padanya bahwa Guali Padang sudah hampir mati.
Maka pulanglah nenek Dettumanan bersama isterinya kemari. Sementara Guali Padang ini pura-pura dalam keadaan sakit payah.
Setelah Dettumanan mendapati Guali Padang, dia berkata kepadanya: “Biarlah engkau mati; dan kalau engkau mati, saya tak akan merasa rugi bila kupotongkan engkau sepuluh ekor kerbau, karena engkau amat kurang hadat, berani betul engkau mendiami tanah saya.”
Sementara Guali Padang ini mendapat marah, semakin ia
membuat dirinya sangat rendah hati sehingga Dettumanan berkata lagi kepadanya: “Kalau engkau mau dan ingin sungguh-sungguh akan mendiami tanah itu, maukah engkau akan menerima segala perjanjian-perjanjian yang akan kupertanggungkan atasmu?” Lalu Guali Padang menjawab katanya: “Biarpun ringan atau berat perjanjian itu, harus aku dan segala cucu-ciciku menjunjungnya, asalkan aku dapat mendiami tanah itu.
Dettumanan berkata lagi kepadanya: “Kalau begitu kamu pulang saja, dan nanti saya menyusul di belakang.”
Setelah beberapa hari antaranya, berangkatlah Dettumanan menyusul mereka.
Sesampainya ia ke sana , maka mulailah Dettumanan menguraikan perjanjian itu, yang bunyinya sebagai berikut:
- Ungngakuraka dio ladikahoingko timbu uhai, lole'ingko pa'tondokan aku tanan puntio, kuose'pinamula?
- Ungakuraka dio lakupepahe pahemu lakuehengngi lokomu anna kualai situhu' pangala inahangku?
- Ungakuraka dio laumpadua lanta' dasammu; kulambi' peso'mu kalaiku ungkolai?
- Ungakuraka dio tala matinna anna tala mailuo dialing inde'e di lita'ku anu' labinasa lita' pa'de ma'hupatau?
- Ungakuraka dio ladikoko papuammu ladipuhhu tubulillimmu ladisähpä' sepi'mu?
Mentimba' Guali Padang naoatee: Pada pa'kuammu pada kutarimbo, anu'tae' garaganna malepong dia langi!!
Artinya:
- Maukah engkau, saya akan mendirikan tempat kediamanmu, dan kusediakan satu mata air menjadi air minummu, supaya engkau dan isi rumahmu sampai kepada turun-temurunmu diibaratkan sebagai tanaman, dengan satu tuannya Tabulahan penjaganya?
- Maukah engkau, bahwa padi yang sedang menguning di sawah dan padi yang ada di lumbung aku ambil seturut kemauan hatiku bila aku datang?
- Maukah engkau bahwa rumahmu harus berpetak dua (2 kamar), dan nasi yang sementara terjerang dalam belanga kuangkat dan kusendok sendiri untuk kumakan?
- Maukah engkau bahwa tak boleh membuat satu keinginan yang akan merusakkan tanah ini dan menjatuhkan kaum yang berdiam di dalamnya?
- Maukah engkau, bahwa segala kemauanku engkau turuti mulai dari yang besar sampai kepada yang kecil?
Jawab Guali Padang katanya: “Segala perjanjianmu saya terima, sebab tak ada lawannya keluasannya tanah ini bahkan kegemburannya. Luasnya adalah sebagai bentangan langit.”
Catatan dari Penulis alsi:
- Inilah yang dapat kami tuliskan dan mudah-mudahan dapat membantu para pembaca untuk mengetahui bagaimana sejarah, latar belakang dan adat istiadat, serta silsila yang berlaku di daerah kami “Tabulahan” sampai sekarang. Dan jika ada tulisan kami yang tidak sesuai menurut pembaca kami mohon maaf.
Catatan Penerjemah:
- Tulisan ini diterjemahkan langsung dari bahasa Tabulahan Asli/bahasa tua oleh : Apolos Ahpa (Pembantu Penerjemah Alkitab Berbahasa Tabulahan) bersama dengan Penerjemah Alkitab Bahasa Tabulahan dari New Zeland (Robin M’kenzie), tanggal 10-15 September 1997.
- Maaf karena sumber cerita ini sudah lama disimpan sehingga sumber/penulisnya tidak diketahui lagi, tapi arsip ini disimpan oleh Kel. Mangoli di Tabulahan, berdasarkan cerita turun-temurun dari nenek moyang kita.
- Tadipotimpu’ pano di peneneang ang ditula’ sanganna yaling inde di sejarah, ampo’ lamendahi kakende’anna hupatau peampoanna Nene’ Pongkapadang (Penyebutan nama-nama Nene’ Moyang kita dalam sejarah ini, tidak akan menjadi kutuk, melainkan akan menjadi berkat dan perkembangan anak cucu dari Nene’ Pongkapadang.)
Selamat membaca, semoga berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar