SEJARAH DAN LATAR
BELAKANG "MAMASA"
(diceritakan oleh Nene’ Ambe Seping)
Adapun nama “Mamasa” asal atau pada mulanya dinamai “Mamase”, artinya “Pengasih”. Tanah
ini adalah tanah
kepunyaan Tabulahan.
Pada suatu waktu datanglah
seorang lelaki bersama isterinya, bernama Guali Padang anak dari Sahalima
di Koa (Tabang).
Mereka tinggal
di Salu Kuse'
dekat Rantebuda (Mamasa) dengan tidak diketahui nenek Dettumanan di
Tabulahan.
Sekali waktu nenek Dettumanan
pergi berburuh, akhirnya sampailah ke
puncak gunung Mambulillin. Di sana tampaklah olehnya
asap api di dekat “sungai
Mamase” atau Mamasa
di Salu Kuse. Nenek
Dettumanan ini, dengan segera
berjalan menuju tempat itu. Sesampainya
ia ke sana,
maka didapatinya sebuah pondok yang didiami oleh Guali Padang bersama
isterinya.
Pada waktu itu Dettumanan sangat
marah sekali terhadap
mereka dan mereka diusir pulang kembali ke tempat asalnya,
tempat kedua
orangtuanya. Tetapi Guali Padang tidak mau
pergi menuruti perintah Dettumanan, sehingga
Dettumanan marah dan
berkata: “Biarlah kamu tinggal di tempat
ini, akan tetapi jangan kamu harap akan beroleh
berkat pada tempat ini. Karena tempat yang kamu diami sekarang ini ialah
tanah kepunyaanku. Terkutuklah kamu dari Allah Taala. Bahwa anakmu nanti akan
menjadi makanan binatang buas, dan bila kamu menanam padi, nanti
akan berubah menjadi alang-alang, jagung
akan berubah menjadi pimping
(tille), labu akan berubah
menjadi seperti batu, ayammu nanti
dimakan elang, babimu akan dimakan ular, kerbaumu nanti akan
ditanduk anoa (tokata), dan lain-lain. “Tala mentaruk
tallangko tala ma'rombe' aho'” artinya bahwa turun-temurunmu tidak akan
berkembang biak selama engkau
menduduki tanah ini. Setelah
ia berkata demikian, maka pulanglah
dengan amarahnya.
Setelah beberapa
bulan lamanya Guali
Padang mendiami tempat
itu, maka mengandunglah isterinya, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Tetapi ketika anak
itu mulai bertumbuh, tiba-tiba
datanglah seekor kuskus (bhs Tabulahan :”Kuse”) menerkam anak itu
lalu dijinjitnya dan dibawah
keatas pohon untuk dimakan. Pada intinya segala
kutukan/perjanjian yang sudah dikatakan nenek Dettumanan semuanya
terjadi.
Oleh Sebab itu Guali
Padang serta isterinya tidak tahan lagi tinggal di tempat itu,
lalu mereka pergi ke Tabang, tempat tinggal kedua orang tuanya, karena
mereka bermaksud akan memberi tahukan semua hal itu kepadanya.
Setelah Guali Padang bersama
istrinya sampai di Tabang dan bertemu dengan orang tuanya, maka diceritakannyalah
semua hal yang telah mereka alami. Sehingga ayahnya membantu untuk
menyelesaikan hal itu dengan jalan menyuruh anaknya (Guali Padang) untuk pergi berburuh, dan semua hasil buruannya, akan di berikan
kepada nenek Dettumanan di Tabulahan. Tetapi
sebelum dia berangkat, Ayahnya telah menyediakan dua “kapipe”
jagung goreng yang
sudah ditumbuk dicampur dengan daging
kering. (kapipe =tempat membawah bekal
pada waktu itu) Maksudnya supaya
apabila sampai ke Tabulahan, Guali Padang tidak akan mau diberi
makan oleh Dettumanan sebelum tanah Mamasa di berikan kepadanya
untuk di duduki.
Lalu Guali Padang berangkat bersama dengan
beberapa hambanya masuk hutan untuk
berburuh. Setelah beberapa hari tinggal di dalam hutan dan mereka telah mendapat hasil yang
memuaskan, maka berangkatlah mereka ke
Tabulahan. Setibanya di Tabulahan, Nenek Dettumanan langsung
mengenal siapa dan apa maksud kedatangan
mereka di Tabulahan.
Oleh karena itu Dettumanan langsung berangkat ke kebunnya meninggalkan mereka
itu. Setiap kali
isteri Dettumanan memberi makan
pada mereka, Guali Padang dan
pengikutnya tidak mau
makan. Sehingga isteri Dettumanan sangat takut sebab ia
berpikir jangan-jangan mereka mati
kelaparan sebab tidak mau makan. Istri
Dettumanan lebih takut lagi sebab
Guali Padang pura-pura sakit, dan membuat dirinya
seakan-akan seperti orang yang sudah hampir mati.
Oleh karena itu maka Istri Dettumanan segera berangkat ke kebunnya
untuk memanggil suaminya dengan mengatakan padanya bahwa Guali Padang sudah hampir
mati. Lalu
pulanglah nenek Dettumanan
bersama isterinya menemui Guali Padang. Sementara itu Guali Padang semakin
membuat dirinya seakan-akan
sakit parah dengan tujuan untuk mendapatkan belas kasih dari
Dettumanan.
Akan tetapi
ketika Dettumanan
mendapati Guali Padang, dia berkata
kepadanya: “Biarlah engkau mati; dan kalau engkau
mati, saya tak
akan merasa rugi bila kupotongkan engkau sepuluh ekor kerbau, karena
engkau amat kurang hadat, berani betul engkau mendiami tanah saya!” Sementara
Dettumanan memarahinya, Guali Padang
semakin membuat
dirinya sangat rendah hati sehingga Dettumanan
berkata lagi kepadanya: “Kalau engkau
mau dan ingin sungguh-sungguh akan mendiami
tanah itu, maukah
engkau akan menerima
segala perjanjian-perjanjian yang akan kupertanggungkan atasmu?” Lalu Guali
Padang menjawab katanya: “Biarpun
ringan atau berat perjanjian itu, harus
aku dan segala
cucu-ciciku menjunjungnya, asalkan aku dapat mendiami tanah itu”.
Dettumanan berkata lagi kepadanya: “Kalau
begitu kamu pulang saja, dan nanti saya menyusul di belakang”
Maka pulanglah Guali Padang.
Setelah beberapa
hari kemudian,
maka berangkatlah
Dettumanan menyusul mereka. Sesampainya
ia ke sana, maka mulailah Dettumanan menguraikan perjanjian itu, yang bunyinya
sebagai berikut:
- Ungngakuraka dio
ladikahoingko timbu uhai,
lole'ingko pa'tondokan aku tanan puntio, kuose'pinamula?
2.
Ungakuraka dio
lakupepahe pahemu lakuehengngi lokomu anna kualai situhu' pangala
inahangku?
- Ungakuraka dio
laumpadua lanta' dasammu;
kulambi' peso'mu kalaiku ungkolai?
- Ungakuraka dio
tala matinna anna tala mailuo dialing inde'e di
lita'ku anu' labinasa lita' pa'de ma'hupatau?
- Ungakuraka dio ladikoko papuammu ladipuhhu
tubulillimmu ladisahpa' sepi'mu?
Guali
Padang menjawab katanya:
“Pada
pa'kuammu pada kutarimbo, anu'tae' garaganna malepong dia langi!!
Artinya:
- Maukah
engkau, saya akan mendirikan tempat kediamanmu, dan kusediakan satu mata air menjadi air minummu, supaya
engkau dan isi rumahmu
sampai kepada turun-temurunmu diibaratkan sebagai
tanaman, dengan satu tuannya Tabulahan penjaganya?
- Maukah
engkau, bahwa padi yang sedang menguning di sawah dan
padi yang ada di
lumbung aku ambil seturut kemauan hatiku bila aku datang?
- Maukah
engkau bahwa rumahmu
harus berpetak dua (2 kamar), dan nasi yang sementara terjerang dalam
belanga kuangkat dan kusendok sendiri untuk kumakan?
- Maukah
engkau bahwa tak boleh membuat satu keinginan yang akan merusakkan tanah ini dan menjatuhkan kaum yang
berdiam di dalamnya?
- Maukah engkau,
bahwa segala kemauanku engkau
turuti mulai dari yang besar sampai kepada yang kecil?
Guali
Padang menjawab
katanya: “Segala perjanjianmu saya
terima, sebab tak
ada lawannya keluasannya tanah
ini bahkan kegemburannya. Luasnya adalah bagaikan bentangan langit.”
Demikianlah cerita tentang
Mamasa, semoga bermanfaat. Pada umumnya orang-orang tua yang ada di Tabulahan
saat ini masih mengetahui dengan benar cerita-cerita ini.
(Ditulis dan diedit oleh Apolos
Ahpa, S.Th)