MALA TAU SITAMMU AKA' PEKUYA'NA PUANG

Minggu, 28 Mei 2023

ASAL MULA NAMA TABULAHANG

ASAL MULA NAMA TABULAHANG


Daeng Rioso’ diangkat menjadi Mara’dia Balanipa karena berhasil mematahkan ekspansi Bone bahkan mengusir bala tentara Bone keluar dari perbatasan tanah Mandar. Paska pelantikannya sebagai Mara’dia, Ia lalu mendirikan sebuah istana. Setelah istana itu selesai dibangun, maka Daeng Rioso’ pergi meninjau istana itu bersama pengawalnya. Terjadilah dialog antara keduanya sebagai berikut:

Mara’dia :   Bagaimana pendapatmu, Apakah istana ini sudah bagus atau belum?

Pengawal :   Menurut penglihatan saya, Istana ini memang sudah Indah,    tetapi mempunyai satu kekurangan.

Mara’dia :   Apa kekurangannya?

Pengawal :   Seandainya  ada wanita cantik yang menjadi penghuni istana ini,    maka sempurnalah keindahannya.

Mara’dia :   Kira-kira dimana wanita cantik yang kau ketahui?

Pengawal :   I Pura Para’bue, istri Mara’dia Pamboang. Dialah wanita tercantik di wilayah ini sekarang.

Mara’dia :   bawa tentara  dan pergi jemput dia.

Pasukan Balanipa yang pergi ke Pamboang menjemput I Pura Para’bue ternyata kembali dengan tangan hampa. Pengawal Mara’dia Pamboang melepaskan lebah sehingga pasukan Balanipa lari tunggang langgang dihajar lebah.

Setelah sampai di Balanipa, mereka melapor kepada Mara’dia bahwa mereka tidak mampu menjemput I Pura Para’bue karena Mereka melepas lebah (Tawon ) dan membuat mereka babak belur. Lalu Daeng Rioso’ menyusun siasat yang lain.

Suatu hari, diperintahkanlah pegawai kerajaan untuk pergi ke banggae membawa pesan yang berbunyi: “kalau kamu pergi berpasar ke Pamboang, Kamu harus mengikat kepala dengan kain putih. Kalau orang Pamboang bertanya, mengapa kamu mengikat kepala seperti itu? Katakan bahwa kami sedang berduka Karena Mara’dia kami (Daeng Rioso’) mangkat.

Berita kematian Daeng Rioso’ dengan cepat tersebar luas di kalangan masyarakat Pamboang bahkan sampai ke istana. Ketika berita ini didengar oleh Mara’dia Pamboang,Ia merasa sangat sedih. Kepada keluarganya Ia berkata: “Daeng Rioso’ memang jahat, tapi dia adalah saudara kita apalagi dia sudah mangkat. Jadi, kita tidak bisa membalas kejahatannya. Kusir diperintahkan mempersiapkan bendi dan bersama istrinya I Pura Para’bue, mereka bertiga berangkat ke Balanipa tanpa pengawal. Setelah sampai di banggae, ternyata tentara Balanipa sudah menunggu menghadang mereka dan merebut istri mara’dia Pamboang, I pura Para’bue.

Bagi Mara’dia Pamboang, peristiwa ini bukan sekedar memperebutkan wanita, tetapi lebih merupakan peristiwa runtuhnya kharisma seorang Mara’dia. Sebab itu ia pergi mencari Petoe Sakku, Peanti kadine’, Pebekkeng kahatuang, Indo lita’ di Bulo Mappa. Setibanya di Bulo Mappa, Ia duduk di atas sebuah batu besar yang ternyata sebuah “domen”. Ia membelenggu tangannya sendiri dengan emas. Seorang wanita yang lewat bertanya. Wanita :  Apa yang sedang kamu lakukan di sini?

Mara’dia :  Dondong Ka-Datuangku. Saya datang  di sini minta direhabilitasi     orang tua di sini.

Wanita  :  Kalau demikian, mari saya antar menemui ketua hadat / orang tua di sini

Mara’dia :  Saya kan sudah jatuh, tentu saya tidak mampu berdiri dan       bahkan berjalan.

Wanita  :  Kalau demikian, tunggulah di sini. Biar saya memberitahu ketua     hadat tentang keberadaanmu di sini.

Tidak lama kemudian datanglah Ahuang di Dadeko, orang tua yang menjabat Indo Lita’ di zaman itu. Dijamahnya belenggu emas di tangan Mara’dia Pamboang  sambil berkata “berdirilah”, sayalah ketua hadat indo lita’ di sini. Mara’dia langsung berdiri dan mengikuti ketua hadat.

Sejak saat itu, batu tempat Mara’dia Pamboang duduk sambil membelanggu tangannya sendiri dengan emas disebut “TABULAHANG” artinya si emas.

Pada ± tahun 1914, distrik Tabulahan dan Arale dibentuk di Mamuju. Lalu mara’dia Mamuju mengusulkan agar nama Tabulahan ini dilestarikan dengan memberi nama kepada distrik yang baru dibentuk ini yaitu distrik Tabulahan. Selanjutnya Mara’dia Pamboang mengikuti upacara pemulihan kembali yang disebut I Sakku’i dikadinge’i dikahatuangngi.

Di kalangan bangsawan yakin bahwa tiap-tiap jabatan adat maupun jabatan mara’dia itu mempunyai kharisma. Kharisma itu diberikan kepada seseorang yang mengemban sebuah tugas hadat atau jabatan Mara’dia. Seseorang yang menklaim dirinya menjabat suatu jabatan, tidak mempunyai kharisma karena ia tidak pernah diberi kharisma oleh pemangku hadat.

Paska upacara adat di Tanete Dadeko, Mara’dia Pamboang pulang dengan semangat baru. Dengan membawa serulingnya, ia menuju Balanipa. Ia berlagak seolah-olah seorang pelancong dari pegunungan karena memakai pakaian adat dari pegunungan dan membawa oleh-oleh yang ada di pegunungan. Ketika malam tiba, terjadilah kontak batin antara dua insan yang saling mencintai melalui bunyi seruling dan setetes air mata. Terjadilah kesepakatan di malam buta yaitu tipu akan dibalas dengan tipu. keesokan harinya, tersebarlah berita di dalam istana bahwa permaisuri raja (I Pura Para’bue) mengidam. Dia mengidamkan rusa yang dibunuh sendiri dengan tangan Mara’dia suaminya. Lalu Mara’dia mengundang para Mara’dia di pitu babana binanga untuk berburu rusa bersama yaitu berburu kebesaran istana. Di saat para Mara’dia pergi berburu itulah kesempatan Mara’dia Pamboang membawa istrinya kabur dari istana. Mereka singgah di Pamboang dengan membawa keluarganya dan pengikut-pengikutnya, mereka menuju Bulo Mappa, lalu berkampung di Peurangang (Peu’) tepatnya di muhahe. Setelah keluarga dan pengikutnya aman, mara’dia Pamboang bersama pengawalnya pergi ke Papua’ kemudian mengirim pesan kepada Mara’dia Balanipa yang berbunyi; “Kalau engkau memang jantan/laki-laki, datanglah jemput istrimu di papua’ karena dia ada di sini”

Daeng rioso’ memang jantan, Dialah pahlawan Balanipa yang berhasil memukul mundur tentara Bone. Tetapi kali ini Ia terpaksa gugur di Papua’ di tangan Mara’dia Pambuang karena ia semena-mena terhadap saudaranya sendiri.


Sumber : 

1. Mangoli 1955 di Tabulahan. 

2. Hj. Kalala’ 1997 di Malunda

Tulisan : D. Mangoli 1944

Penulisan Kembali:

Nama : Salmon Mangoli

Sarjana Muda Sastra/Sejarah – UNHAS 1974 Pensiunan PNS 2001

 Alamat: Kalukku, Mamuju

Senin, 10 Agustus 2020

SEJARAH POLO PADANG DI TANA TORAJA

 Berbicara tentang asal usul Kesu’ tidak lepas dari cerita turun temurun mengenai riwayat kejadian alam atau ossoran tipamulanna lino. Leluhur orang Kesu’ yaitu Puang Ri Kesu’ dipercaya sebagai dewa yang turun dari langit atau To Manurun di Langi’. Puang Ri Kesu’ menikah dengan To Bu’tu Ri Uai kemudian melahirkan Puang Ri Beloara’. Puang Ri Beloara’ menikah dengan Tanomandasi melahirkan Puang Ambun Di Kesu’. Puang Ambun Di Kesu’ menikah dengan Puang Mora melahirkan Manaek. Manaek inilah yang kemudian ke Nonongan dan menetap di sana bersama keturunannya sampai saat ini. Puang Ambun Di Kesu’ juga menikah dengan Pabane’ Di Kesu’. Pabane’ adalah anak dari Buen Manik dan Tangdilino’. Keduanya berasal dari keturunan Puang Di Mulatau, di mana kakek dan neneknya berasal dari langit. Pabane’ dan saudara-saudaranya tersebar dan manglili’ tondok di kawasan Toraja. Sebagian besar saudaranya menyebar di daerah selatan, sementara Pabane’ ke utara.

Pernikahan Pabane’ dan Puang Ambun Di Kesu’ melahirkan Polo Padang yang menikah dengan Deatanna, seorang wanita sangat cantik yang berasal dari langit (To Dao Mai Langi’). Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak bernama Pairunan. Dalam pernikahannya, Deatanna sempat marah dan meninggalkan Polo Padang dengan membawa Pairunan kembali ke langit karena Polo Padang dianggap melanggar perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Polo Padang kemudian berpetualang untuk membawa pulang Deatanna dan Pairunan kembali ke bumi.
Pairunan kemudian menikah dengan Arrang Di Bangkudu melahirkan Pabisangan. Pabisangan menikah dengan Tibian Ri Sa’dan melahirkan Ampang Ri Sa’dan. Ampang Ri Sa’dan menikah dengan Tumba’ Mangkaranga yang kemudian melahirkan Palidan. Palidan yang menikah dengan Salikunna (keturunan dari Manaek) melahirkan beberapa anak yang tersebar dan manglili’ tondok (menandai wilayah kekuasaan) di wilayah-wilayah utara Toraja. Dua di antaranya yaitu Soge’ dan Kullu mendiami wilayah Kesu’. Soge’ ke La’bo’ dan Kullu di Tikunna Malenong.
Pada tahun 1800an, Pong Maramba’ membangun Buntu Pune pada masa Perang Kopi. Perang Kopi adalah perang dalam perdagangan antara Toraja dan daerah-daerah luar Toraja dengan komoditas utama kopi. Buntu berarti bukit, pune berarti pakis, nama yang menggambarkan bahwa Buntu Pune adalah bukit yang dipenuhi tumbuhan pakis. Pong Maramba’ adalah kepala distrik pertama Kesu’ dan wilayah Tikala. Pada tahun 1900an, Belanda berusaha untuk menguasai Toraja. Pada masa ini Pong Maramba’ didaulat oleh Pong Tiku sebagai panglima perang untuk bersama-sama melawan penjajah. Di Buntu Pune, Pong Maramba’ membangun benteng pertahanan yang juga dipakai sebagai tempat mengintai dari jarak jauh.
Tempat-tempat penting
Di WA Kesu’ juga ada Buntu Pune yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) tongkonan yaitu Tongkonan Potok Sia, Tongkonan Kamiri dan Tongkonan Kaluku. Tongkonan Kamiri dan Kaluku bersatu dalam satu bangunan fisik. Buntu Pune dibangun oleh leluhur Siambe’ Pong Maramba’, Kepala Distrik Kesu’ pertama dan salah satu pimpinan berpengaruh di Toraja terutama dalam perlawanan terhadap kolonial. Buntu Pune dijadikan sebagai benteng pertahanan dan tempat pengintaian jarak jauh. Buntu Pune memiliki sebuah rante bernama Rante Menduruk yang dihibahkan kepada pemerintah dan sekarang menjadi Lapangan Kodim. Rante Buntu Pune kemudian dipindahkan ke Rante Karassik dan dipenuhi oleh menhir. Selain kedua lokasi di atas, juga ada Londa yang terletak di Kampong Tadongkon.Keturunan Puang Ri Kesu’ menjadikan lokasi ini sebagai areal penguburan. Untuk pertahanan, mereka menjadikan Londa sebagai benteng yang berhasil menghalau pasukan Bone yang ditunggangi oleh VOC. Setelah perjanjian damai, mulai dibangun permukiman dekat dengan sawah dan area perkebunan serta penggembalaan.

Sumber: https://brwa.or.id/wa/view/WVZhQlU1OFdXNGc

Rabu, 29 Juli 2020

SEJARAH MENGENAI AWAL MULA SUKU TORAJA

Sejarah mengenai awal mula suku Toraja tidak diketahui dengan pasti karena tidak ada bukti tertulis yang bisa memastikan, namun sejarah mengenai suku Toraja di diceritakan secara turun temurun generasi ke genarasi, sehingga masih diketahui oleh beberapa pakar saat ini, namun mungkin tidak dengan pasti. Dikarenakan oleh suku Toraja awalnya adalah bagian dari suku protomelayu bersama dengan suku batak karo, minangkabau, dayak  dan tagalok (ke Philipina) yang menjadi  suku-suku pertama yang datang ke Indonesia.

Suku protomelayu memiliki ciri khas lukisan atau ukiran bukan tulisan, sehingga setiap sejarah atau kejadian penting yang terjadi pada masa lalu, tidak mempunyai peningggalan bukti tertulis. Suku ini berasal dari beberapa wilayah yakni Dongson,annam,Yunan, di China, sebagian dari Mongolia.
Untuk nenek moyang suku Toraja, diperkirakan datang sekitar abad ke-6(enam) yang datang dengan perahu-perahu melalui sungai yang besar menuju ke pegunungan sulawesi selatan. yang akhirnya menduduki pegunungan termasuk pegunungan-pegunungan di Toraja, yang sesuai dengan fakta yang ada mereka itu kebanyakan datang dari selatan Toraja.

Mereka datang dalam kelompok-kelompok, yang dalam sejarah Toraja kelompok-kelompok itu disebut Arroan(Kelompok manusia). menyusuri sungai dengan perahu hingga mereka tidak dapat lagi melayarkan perahunya sehingga menambatkan perahu mereka dipinggir-pinggir sungai dan ditebing-tebing gunung disungai yang dilaluinya. perahu-perahu mereka itu dijadikan tempat mereka tinggal sehingga didalam sejarah Toraja ada istilah BANUA DITOKE’(Banua = Rumah, Ditoke’=Digantung).



Menurut sejarah Toraja Tiap-tiap arroan itu dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamakan yang dinamakan Ambe’ Arroan ( Ambe’= Bapak, Arroan = Kelompok manusia). arroan-arroan atau kelompok-kelompok manusia itu tidak datang sekaligus. mereka datang berangsur-angsur dan masing-masing arroan itu menempati menempati tempat tertentu untuk menyusun persekutuan keluarga masing-masing dibawah pimpinan ambe’ arroan.

Lama kelamaan keluarga atau anggota dari arroan-arroan ini bertambah banyak dan perlu mempunyai tempat tinggal yang lebih luas. sehingga merekah terpecah-pecah/tersebar pergi mencari tempat masing-masing dalam bentuk keluarga kecil yang dinamai Pararrak  (Pencaran/Penjelajah) dengan dipimpin oleh seorang kepala/pemimpin pararrak yang di namai Pong Pararrak(Pong = Utama) yang artinya kepala pememimpin penjelajah.

Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh penyebaran kelompok-kelombok keluarga Arroan dan Pararrak ini maka seluruh pelosok pegunungan dan dataran tinggi sudah terdapat penguasa-penguasa kecil dari penguasa Ambe' atau  Pong yang perkembangannya sangat nyata dimasyarakat Toraja disamping Gelar-gelar yang lainnya.

Lama kelamaan kelompok kelompok kecil ini (Pararrak) menjadi besar serta anggotanya semakin banyak dan mereka berkuasa dimasing-masing tempat mereka berkuasa. dan mereka mempunyai pemerintahan sendiri seperti arroan yang dinamakan pula Pong Arroan.
Beberapa kelompok Arroan dan Pararrak menyebar jauh ke utara hingga mencapai Rantepao kemudian semakin menyebar ke bagian utara Rantepao.

Ada juga kelompok arroan yang menyebar lebih jauh lagi ke Galumpang, Makki(Mamuju), Pantilang, Rongkong, Seko(Luwu), Suppirang(Pinrang), dan Mamasa.
Beberapa waktu kemudian,datanglah kelompok-kelompok baru dengan masing-masing kelompok dipimpin oleh seseorang yang diberi gelar Puang. Puang dari kata puang Lembang, disebutkan sebagai pemilik. Puang=pemilik, Lembang=kapal. Kemungkina besar juga masih berasal dari daerah yang sama dengan kelompok Arroan, yakni dari Indochina.

mereka datang dari arah selatan  dengan perahu-perahunya dan pengikutnya melalui sungai. setelah perahu mereka tidak lagi dapat melalui sungai karena air yang desar dan berbat-batu maka sebagian manambatkan perahunya dan sebagian membongkar perahunya dan membawa kerangkanya ke gunung tempat mereka akan tinggal bersama dengan pengikutnya karena belum ada tempat bernaung sehingga mereka membuat rumah dari kerangka perahu yang mereka bongkar itu. Dalam sejarah Toraja disebut tempat perkampungan yang pertama dari Puang - Puang Lembang ialah Bamba Puang (Bamba = Pangkalan/Pusat, Puang = yang memiliki ).

Penguasa – penguasa ini mempunyai tata masyarakat tersendiri dan memiliki cara pemerintahan tersendiri, namun mereka masih dalam kelompok kecil di daerah Bambapuang. Dari sini pula mereka kemudian menyebar ke daerah lain dan menjadi penguasa daerah yang ditempatinya, dan tidak lagi dikenal sebagai Puang Lembang (Pemilik Perahu) tetapi Puang dari daerah yang dikuasainya misalnya :

    Puang ri Lembang (Pemilik perahu)
    Puang ri Buntu ( penguasa daerah Buntu)
    Puang ri Tabang (penguasa daerah Tabang)
    Puang ri Batu (penguasa daerah Batu)
    Puang ri Su’pi’ (penguasa daerah Su’pi’) dll

Setelah para Puang yang menguasai tiap tempat makin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah persaingan kekuasaan di antara mereka, dimana sebagian Puang mulai merebut daerah kekuasaan Pong Pararrak atau Ambe’ Arroan yang lebih dulu memiliki kekuasaan terlebih dulu, dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.

Hal ini membuat sebagian Puang membujuk Pong Pararrak dan Ambe’ Arroan untuk bersekutu untuk melawan Puang yang lain. Persekutuan ini kemudian disebut Bongga (Bongga = besar, hebat, dahsyat). Sebagai pimpinan Bongga maka diangkat Puang yang kuat di antara mereka yang dalam kedudukannya dinamakan Puang Bongga (yang memiliki kekuasaan yang kuat dan hebat), seperti yang terkenal dalam sejarah Toraja seorang penguasa Bongga yang terkenal adalah Puang Bongga Erong.

Karena persaingan yang begitu hebat dan terus – menerus di kalangan Puang – Puang ini, maka pengaruh dari penguasa Puang di daerah Bambapuang makin merosot, apalagi setelah terjadi perpindahan beberapa Puang ke bagian utara Bambapuang untuk mencari tempat yang lebih aman untuk menerapkan pemerintahannya. Tetapi berbeda dengan Pong Pararrak yang ada di bagian utara, tidak terjadi persaingan karena masing – masing menguasai daerah yang sudah ditempatinya.

http://raputallangku.blogspot.com/2015/09/asal-muasal-suku-toraja.html?m=1

Diolah dari beberapa Sumber.
Red.Raputallangku, Buku pedoman sejarah(perpustakaan Unhas),  toraja-culture(blog), Jansen Tangketasik(UI.2010), Simon Petrus(filosofi budaya Toraja, live TVRI)

Kamis, 01 Februari 2018

ATURAN/UNDANG-UNDANG PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTINA UAI

SEJARAH TABULAHAN DAN SEKITARNYA
(ditulis Oleh: Alm. Om Daud Zima)
(Diketik dan diedit oleh Apolos Ahpa, STh.)

Judul Asli:
KATA YANG EMPUNYA CERITERA

III. ATURAN/UNDANG-UNDANG PITU ULUNNA SALU KARUA TIPARITTINA UAI

Pada Masa itu, Aturan (undang-undang) dikenal dengan istilah: “Pappulitedong, pallottong karambau” yaitu pada masa nenek Daeng Manganna dan saudar-saudaranya sampai pada nenek Dettumanan dan saudara-saudaranya.  Waktu itu boleh dikata, tanah ini aman, jarang terjadi pembunuhan dan pencurian dll.  Pappuli tedong, pallottong karambau maksudnya: mata ganti mata, gigi ganti gigi:  (Mat 5:38) ( Pappulipallottong= bakuganti sama banyak, sama harga; Tedongkarambau= kerbau.) inilah yang dikenal dengan “Ada’ Mate” (Aturan Mati).
Beberapa  lama  kemudian dari pada itu,  datanglah dan diizinkanlah Tomampu' asal dari Tandalangan tinggal  di Rantebulahan.
Sekali peristiwa terjadilah pembunuhan disana  (Mambie, Rantebulahan). Menurut undang-undang bahwa sipembunuh harusd ibunuh juga. Beruntung sebab pada waktu itu Tomampu'  membuat satu permintaan kepada  yang  berwajib  di  Tanah  ini,  ia minta supaya undang-undang pappuli tedong pallottong karambau diganti dengan undang-undang yang lain.Tomampu' berkata:
a. "Dikondo terong ditampa bulahang",
b. "Dibatta bihti' tau, tahpa dibihti' terong",
c. "Dibatta bihti' terong, tahpa dibihti' bahi",
d. "Dihenge' punno disahihi la'bi".

Maksudnya:
a. "Yang baik diganti dengan yang lebih baik",
b,c. "Jangan menuntut Kejahatan dengan kejahatan",
d. "Wajiblah ditebus dengan cukup".

Keterangan:
Pada Poin “a. "Tomampu'  berbicra tentang pergantian undang-undang yang lama ke yang baru."
Pada Poin “b &c. "Perubahan Undang-undang bagi orang yang dianiaya dll."
Poin “d. "Perubahan Undang-undang bagi orang yang menganiaya/membunuh"

Tomampu'  menyatakan kepada yang kaum bahwa undang-undang yang diusulkan atau yang diberikannya itu lebih baik dari pada yang dahulu. Umpamanya ada seorang yang dibunuh, maka keluarga daripada orang yang  dibunuh itu harus bersabar,  sebab ingat akan aturan b. dan c. itu.Itulah yang dikenal dengan “Ada’ Tuho” Aturan Hidup, dan aturan inilah yang digunakan sampai sekarang.



GELAR-GELAR DARI 7 DAERAH KEKUASAAN TABULAHAN

SEJARAH TABULAHAN DAN SEKITARNYA
(ditulisOleh: Alm. Om Daud Zima)
(DiketikdandieditolehApolosAhpa, STh.)

JudulAsli:
KATA YANG EMPUNYA CERITERA

III. GELAR-GELAR DARI 7 DAERAH KEKUASAAN TABULAHAN


1.      Aralle
Digelar, Indona ba'bana lembang toma'kadanna  to Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai. Todi pa'ulua dimana' artinya Indona Aralle menerima segala pembicara-bicaraan penduduk dalam Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai lalu pembicaran itu dibawanya datang   di   Tabulahan supaya diurusnya.  Dan bagaimana keputusan urusan itu,    Indona Aralle menyampaikannya pula padakepala-kepalahadat di Pitu Ulunna Salu yang bersangkutan.

2.      Mambie
Digelar, Indona Lantang kadanenek, Lempokendeanna, atau lempokurinnna, artinya di Mambie, tempat pemondokan segala kepala-kepala hadat Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai untuk Membicarakan katibangunganna lita',  kamahosonganna ma'rupa  tau,  atau perkara-kara  yang   lain   yang   patut dibicarakan dalam pertemuan kepala-kepala hadat.  Segala pembicaraan itu atau segala keputusannya,  harus disampaikan pada Indona lita'(Tabulahan) supaya dipohonkan berkat atas pembicaraan itu, supaya hasil pembicaraan itu mendatangkan bahagia. Tanggungan indona Mambi yaitu melayani kepala-kepala hadat dalam kumpulanya selama mereka itu bersidang.

3.      Bambang
Digelar, Sangkirantintinnna, pandagan lappa-lappa, Su'buang ada, artinya sebagai penungguh talikawat yang menghubungkan satu negeri pada negeri  yang  lain.  Yaitu kalau ada yang membuat satu kejahatan  yang  akan merusakkan tanah Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai maka Indona Bambang mulai mengajar mereka,  dengan menurut undang-undang hadat. Tagal itu Indona Bambang tempat simpanan ada'.

4.      Rantebulahan
Indona lembang Tomakakanna lita'. Artinya orang yang  dipandang  kaya dalam Pitu lunna Salu. Sebab ia diwajibkan akan membayar dendanya pada tiap-tiap orang yang mendapat denda karena perbuatannya,  supaya ada perdamaian kembali. Biasa juga digelar Toma' dua Taking toma' tallu sulekkauntetenge kondosapata.  Artinya diberi hak akan menjaga keamanan; dan memperdamaikan  orang  yang  berselisi dengan memberi hadiah selaku upahnya supaya perselisihan kedua pihak selesai.

5.      Matanga
Digelar, Adiri Tatempong , tamba Tammalate artinya Tiang yang terkuat,  akan menyokong jatuh dan bangunnya penduduk Pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai.

6.      Mala'bo(Tu’bi)
Digelar, Tandu'  kalua' palasangmarosong, Toungngohko’Itampa’ lita’naada’ PituUlunnaSalu,artinyaialahselakudindingtemboknyaPituulunnasalukaruatiparitti'nauaibilaadabangsa lain akanmerusakkantanahini(Hulubalang).

7.      Tabang
Digelar, Bakadisura’gadangdiromanna,TalaunnakadanenekbubungannakadatomatuaBakadisuragandangdiromaituselakupusakanyasaja.Talaunnakadanenek,  bubungannakadatomatuaartinyabatasannyaketujuhjajahannegeri yang samakuasa.


GARIS KETURUNAN /SILSILAH APOLOS AHPA

GARIS KETURUNAN /SILSILAH APOLOS AHPA

Buntu Pailling bersaudara denganTandi Palli
Buntu Pailling kawin dengan Koda’ memperanakkan :
1. Dape
2. Da'i
3. Teleng
4. Uto'
Dape kawin dengan Tehpang, lalu memperanakkan:
1. Tasi' Minanga
2. Ta Nehe' (ibu Daeng Manala)
3. Ta Tuso'
4. Do'di'

Tasi’ Kawin dengan Podo.
Adapun Podo ini adalah anak dari ta Hato. Ta Hato memperanakkan:
1. Podo
2. Ta Sesu' (indo Bonni')
3. Ta Kurintang (ambe Bereta).
(Bereta (indona TA Päri'), TA mere (Pua' Ambe Lentong, mama' Dädä)

Podo kawin dengan Tasi' lalu memperanakkan :Demma (ambe Kami).
Lalu Podo meninggalkan Tasi’ ke Mamasa sebagai Pandai besi, lalu Tasi’ dikawini oleh Mangngarung, dan memperanakkan:
1.      1. Emborang(Yakomina Mangarung) (indo Lanta')
2.     2.  Bili’ (papa' Mina di Polewali)
Setelah Mangngarung meninggal dan Podo pulang kembali dari Mamasa, maka Podo mengawini kembali Tasi’ dan memperanakkan:
1.     3.  Tometimpa' (Pdt. Paulus Podo),
2.      4. Akong (Ambe Subeng)
3.     5.  Kaloe’ (Mikal Podo) (indo Simbayu)
4.     6.  Tundu’ (Simson Podo) (Pua' Obe')
5.     7.  Marembo’ (Ester Podo) (indo Domeng/Datu)
6.      8. Ta Karau'  (Daniel Podo)
7.       9. Ta Beno (Oktovina Podo) (indo Deri)

Emborang kawin dengan Ta Bita. Adapun asal usul Ta Bita adalah seperti ini:
Ahpa kawin dengan indo Bita(saudaranya indo Ru'da), lalu memperanakkan:
1.      Ta Bita
2.      Ta Dati (indo Mete')

Ahpa Kawin lagi dengan Indo Leu, dan melahirkan : 
1. Ta Leu
2. Ta Kanto'
3. Ta Ba'lo (lain Ayah)

Ta Bita kawin dengan Emborang (Yakomina) lalu memperanakkan: 
1. Balanta'na (Ruben Ahpa)

Ta Bita kawin lagi dengan Sesu' memperanakkan:
2. Monda (Ambe maria/ambe Dore')

Ta Bita kawin lagi dengan Sannahi'/indo Kantiong lalu memperanakkan:
3. Ta Ta'bita
4. Ta Kantiong

Ruben Ahpa (Ta Lanta’)kawin dengan Merpati Massebali (Ta Pati)

Adapun asal-usul Merpati Massebali adalah seperti ini:
Mandayai kawin dengan Baka dan Pahialang lalu memperanakkan: 
1. Ta Nännu' 
2. Massebali
3. Panansi (indo Bayang)
4. Saekuna (indo Hele)
5. Beyannang (indo Domeng)
6. Ta Besopi (mama Ani)
7. Ta Paohong (pua' Nehe')

Catatan: Mandayai juga menjalin hubungan/kawin  dengan Pahialang. Jadi Massebali memiliki 2 ayah, yakni Baka dan Pahialang. 
Itulah sebabnya kita juga memiliki Keluarga di Hante Dango, yakni ta Nannu'  atau Ta Berinding, yang selanjutnya memperanakkan Lai' Buta dan lain lain...
Selanjutnya Massebali kawin dengan Penda
Adapun asal usul Penda adalah seperti ini: Lola’ kawin dengan Tinanda (asal Peu') lalu memperanakkan:
1.      1. Penda
2.      2. Lilo
3.      3. Bue
Penda Kawin dengan Massebali lalu memperanakkan:
1.      1. Sindang (ambe Deri)
2.      2. Katrina (Kahti)
3.      3. Merpati (Mama' One')
4.      4. Neti (indo Muri)
5.      5. Dortea (indo Lentong)
6.    Limbong (indo Mangnganna)
7.    Dettumanang(ambe He'mang)
8.      8. Martinus (ambe Riang)
9.   Marta (lain ibu)
10. Mece
11. Pince
12. Demma

Merpati Massebali kawin dengan Ruben Ahpa, lalu melahirkan sebenarnya 18 orang anak, tapi hanya beberapa orang yang sempat diberi nama, sementara yang lain belum sempat diberi nama dan sudah meninggal (istilah dalam bahasa tabulahan: Tahhi’). 
Adapun yang  diketahui nama-namanya adalah:
1.      1. Paul Ahpa (Almarhum)
2.    Mariones Ahpa
3.    Ester Ahpa (almarhumah)
4.    Marta Ahpa (Almarhumah)
5.   ??
6.      6. Benyamin Ahpa (Almarhum)
7.   Yefta Ahpa (Almarhumah)
8.   ??
9.   ??
10. ??
11. ??
12. ??
13. YarianusAhpa
1    14. HananiAhpa (Almarhumah)
1 15. Silvanus Ahpa (Almarhum)
       16.   ApolosAhpa
17.  ??
18. ??

Apolos Ahpa pergi merantau ke Sulawesi Utara dan kawin dengan Maryanti Dipan (Minahasa Utara), dan memperanakkan:
1.      Eirene Anastasya Ahpa
2.      Achazia Justina Torije’ne’ Ahpa

Demikianlah silsilah keluarga saya, Shaloom….