ASAL
MULA NENEK MOYANG DI PITU ULUNNA SALU,
PITU
BA’BANA BINANGA
MENURUT LONTARAK MANDAR
(PATTODIOLOANG
MANDAR)
Sumber Bacaan : http://lontaraproject.com/101-la-galigo/perbandingan-mitos-todipanurung-di-mandar-dan-kisah-tomanurung-batara-guru-dalam-la-galigo/
Dalam
Lontarak Mandar pasal 2 (passaleng
ma’duae) dikisahkan tentang munculnya manusia pertama yang mendiami hulu
sungai Sa’dang yang disebut dengan “To Dipanurung”, yang selanjutnya
diterjemahkan oleh Bapak M.T.Azis Syah dengan “To Manurung”.
Menurut
Cerita dalam Lontarak ini bahwa Todipanurung yang merintis kehidupan
umat manusia dalam kebudayaan Mandar terdiri dari “To Kombong di Wura”
berjenis kelamin laki-laki dan “To Bisse di Tallang” yang berjenis
kelamin perempuan. To Kombong di Wura, secara harafiah berarti “Manusia yang muncul dari buih/gelembung
air”, sedangkan To Bisse di Tallang berarti “Manusia
yang muncul dari dalam batang bambu”. Mereka ini kemudian menikah dan
melahirkan seorang putra yang bernama “To Banua Pong” (artinya: “Orang Kampung Tua”). To Banua Pong atau disebut
juga Tobanua Posi kemudian bermukin di Tattebulawang atau Rantebulahan, lalu
menikah dengan sepupu satukalinya tapi tidak diketahui namanya dan melahirkan
tujuh orang anak, tapi hanya lima orang yang diketahui namanya, yaitu:
1. Lando
Belua’ (P), ( si panjang rambut).
2. I
Lasso Keppang(L), (si besar kepala).
3. I
Lando’ Guttu’(P), ( si panjang lutut).
4. Usu’
Sabambang, (L).
5. I
Pa’dorang (L).
I
Lando’ Belua’ secara harafiah berarti “Si
Panjang Rambut”, ia dikisahkan pergi menelusuri sungai untuk mencari
sehelai rambutnya yang hanyut dibawa air saat mandi, kemudian bertemu dengan
seorang bangsawan di daerah Bone.
Mereka kemudian menikah dan pergi menuju ke bagian Selatan dan menjadi nene’
Moyang orang Gowa atau Makassar. I
Lasso Keppang berangkat dan bermukim di daerah Belawa di Luwu, I lando Guttu’ tinggal di Ulu Sa’dang, Usu’ Subambang bermukim
di Karonnangan, dan yang terakhir Pa’dorang
Tinggal di Bittuan. Inilah yang
menjadi alasan sehingga orang mandar
menyatakan diri bersaudara dengan orang Toraja, Luwu', Bugis, dan Gowa-Makassar.
Pa’dorang
kemudian kawin dengan seorang wanita bernama Rattebiang, dan dari
perkawinannya ini mereka melahirkan empat orang anak yaitu: I
Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga
tidak diketahui namanya namun menjadi nenek Moyang orang Masuppu, dan anak keempat
bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambulilling.
I
Pongkapadang kemudian menikah dengan seorang wanita
bernama Sanrabone dari Gowa
lalu mereka tinggal di Buttu Bulu.
Dahulu Laut hanya sampai di situ, sehingga disitulah perahu Pongkapadang
berlabuh. Sosok I Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur
bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.
Ditulis ulang dan
diedit oleh : Apolos Ahpa