MALA TAU SITAMMU AKA' PEKUYA'NA PUANG

Jumat, 14 Desember 2012

FALSAFAH ORANG TORAJA


FILOSOFIH ORANG TORAJA

“TAU”


Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi “Tau”. Filosofi “Tau” dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia sesungguhnya dalam konteks masyarakat Toraja ("tau" artinya “manusia” dalam bahasa toraja). Filosofi ini memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap orang untuk menggapainya, yaitu:
- Sugi' (Kaya)
- Barani (Berani)
- Manarang (Pintar)
- Kinawa (Berhati Mulia, yakni memiliki nilai-nilai luhur, agamis dan bijaksana)

Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas dan tidak dapat dipisahkan, karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang Toraja menjadi “manusia” yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup dengan empat pilar di atas, dengan demikian maka dapat disebut sebagai “Tau”.

 Apolos Ahpa
Desember 2012

Minggu, 09 Desember 2012

ASAL MULA NENEK MOYANG DI PITU ULUNNA SALU Versi Lontarak Mandar


ASAL MULA NENEK MOYANG DI PITU ULUNNA SALU,
PITU BA’BANA BINANGA
 MENURUT LONTARAK MANDAR
(PATTODIOLOANG MANDAR)

Sumber Bacaan : http://lontaraproject.com/101-la-galigo/perbandingan-mitos-todipanurung-di-mandar-dan-kisah-tomanurung-batara-guru-dalam-la-galigo/
Dalam Lontarak Mandar pasal 2 (passaleng ma’duae) dikisahkan tentang munculnya manusia pertama yang mendiami hulu sungai Sa’dang yang disebut dengan “To Dipanurung”, yang selanjutnya diterjemahkan oleh Bapak M.T.Azis Syah dengan “To Manurung”.
Menurut Cerita dalam Lontarak ini bahwa Todipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar terdiri dari “To Kombong di Wura” berjenis kelamin laki-laki dan “To Bisse di Tallang” yang berjenis kelamin perempuan. To Kombong di Wura, secara harafiah berarti “Manusia yang muncul dari buih/gelembung air”, sedangkan To Bisse di Tallang berarti “Manusia yang muncul dari dalam batang bambu”. Mereka ini kemudian menikah dan melahirkan seorang putra yang bernama “To Banua Pong” (artinya: “Orang Kampung Tua”). To Banua Pong atau disebut juga Tobanua Posi kemudian bermukin di Tattebulawang atau Rantebulahan, lalu menikah dengan sepupu satukalinya tapi tidak diketahui namanya dan melahirkan tujuh orang anak, tapi hanya lima orang yang diketahui namanya, yaitu:
1.      Lando Belua’ (P), ( si panjang rambut).
2.      I Lasso Keppang(L), (si besar kepala).
3.      I Lando’ Guttu’(P), ( si panjang lutut).
4.      Usu’ Sabambang,  (L).
5.      I Pa’dorang (L).
I Lando’ Belua’ secara harafiah berarti “Si Panjang Rambut”, ia dikisahkan pergi menelusuri sungai untuk mencari sehelai rambutnya yang hanyut dibawa air saat mandi, kemudian bertemu dengan seorang bangsawan di daerah Bone. Mereka kemudian menikah dan pergi menuju ke bagian Selatan dan menjadi nene’ Moyang orang Gowa atau Makassar.   I Lasso Keppang berangkat dan bermukim di daerah Belawa di Luwu, I lando Guttu’ tinggal di Ulu Sa’dang, Usu’ Subambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir Pa’dorang Tinggal di Bittuan. Inilah yang menjadi alasan sehingga orang mandar menyatakan diri bersaudara dengan orang Toraja, Luwu', Bugis, dan Gowa-Makassar.
Pa’dorang kemudian kawin dengan seorang wanita bernama Rattebiang, dan dari perkawinannya ini mereka melahirkan empat orang anak yaitu: I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya namun menjadi nenek Moyang orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambulilling.
I Pongkapadang kemudian menikah dengan seorang wanita bernama Sanrabone dari Gowa lalu mereka tinggal di Buttu Bulu. Dahulu Laut hanya sampai di situ, sehingga disitulah perahu Pongkapadang berlabuh. Sosok I Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.

Ditulis ulang dan diedit oleh : Apolos Ahpa