MALA TAU SITAMMU AKA' PEKUYA'NA PUANG

Sabtu, 13 September 2014

KORBAN DALAM UPACARA PEMBANGUNAN RUMAH DI DESA SALULEANG, KECAMATAN TABULAHAN, KABUPATEN MAMASA, PROVINSI SULAWESI BARAT DITINJAU DARI IMAN KRISTEN

KORBAN DALAM UPACARA PEMBANGUNAN RUMAH
DI DESA SALULEANG, KECAMATAN TABULAHAN, KABUPATEN MAMASA, PROVINSI SULAWESI BARAT
DITINJAU DARI IMAN KRISTEN


SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

UNTUK MEMENUHI
SEBAGIAN DARI PERSYARATAN
GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA TEOLOGI



OLEH
APOLOS AHPA
NPM/NIM: 9891034039/98110001
NOVERMBER 2003


KATA PENGANTAR
Karya tulis dalam bentuk skripsi yang dipersembahkan ini, adalah suatu pekerjaan yang diupayakan semaksimal mungkin untuk menyelesaikan studi dalam program sarjana Teologi pada FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON.
Namun saya menyadari bahwa walaupun ada upaya untuk menulis skripsi ini tetapi kalau tidak disertai dengan ungkapan syukur kepada TUHAN sumber kekuatan kesehatan dan hikmat, maka apa yang dilakukan itu akan sia-sia. Oleh karena itu dengan rendah hadi saya mempersembahkan ungkapan syukur kepada Tuhan yang memberi semuanya itu.
Demikian juga saya patut mengucap terima kasih kepada semua pihak yang membantu baik selama studi di fakultas teologi maupun dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
-          Papa dan Mama yang telah melahirkan dan membesarkan saya, serta kakak-kakak yang memberi motivasi selama saya studi
-          Kel. Robin & Delwyn Mckenzie yang telah membiayai selama saya studi dan memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran
-          Pdt.W.Langi,M.Th. selaku dosen pembimbing yang dengan tulus dan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan saya selama penulisan skripsi ini.
-          Pdt.Ny.J.P.Pinontoan-Setlight,M.Th. selaku dosen penasehat akademik yang penuh perhatian untuk mengarahkan saya dalam studi
-          Bpk. Pdt.Yusuf Arta bersama keluarga yang belah memberikan masukan-masukan pemikiran selama saya mengadakan penulisan
-          Masyarakat desa Saluleang yang turut terlibat selama saya mengadakan penelitian
-          Kel.Kumaat-Tangkudung yang sudah memberikan rumahnya sebagai tempat “kost” selama saya studi
-          Anti’ yang selalu memotivasi saya
-          Teman-teman angkatan ’98 atas kebersamaannya.
-          Sahabat-sahyabatku: Kernov, Youdi, Stenly, Buds, Dikson, Aldi, yudi, Kenli, Aten, Hendra, Joris, Netanel, Feliks (Almarhum), Beto, Niku’, Verni dan Meis, Yahya, Andi dan David.
Akhirnya saya mengharapkan kiranya skripsi ini dapat berguna bagi jemaat dan masyarakat.

Tomohon, 7 Novermber 2003

Apolos Ahpa
 


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBARAN PEMBIMBINGAN
LEMBARAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL
  2. IDENTIFIKASI, PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1.      Identifikasi Masalah
2.      Pembatasan Penelitian
3.      Perumusan masalah
  1. TUJUAN PENULISAN
  2. MANFAAT PENULISAN
  3. METODOLOGI
  4. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I MENGENAL LOKASI PENELITIAN
  1. LETAK GEOGRAFIS
  2. KEADAAN GEOLOGIS
  3. KEADAAN PENDUDUK
  4. TINJAUAN HISTORIS
  5. SISTEM KEPERCAYAAN
1.      To Metampa
2.      To Memana’
3.      To Meolaang
BAB II PROSES PEMBANGUNAN RUMAH
  1. KONSTRUKSI RUMAH
1.      Landasan Tiang
2.      Balok Melintang
3.      Tian
4.      Tangga
5.      Pintu
6.      Lantai
7.      Dinding
8.      Jendela
9.      Atap
  1. UPACARA PEMBANGUNAN RUMAH
1.      Manghuyong
2.      Meehangang
3.      Mampake’de’
4.      Mendai’
  1. ANALISIS DATA
1.      Dalam Memulai Setiap Aktifitas Selalu Berpatokan Pada Bulan
2.      Darah Korban Sangat Berperan Dalam Upacara-Upacara
3.      Penyebutan Alataala Dalam setiap Mengahiri Doa
BAB III KESAKSIAN ALKITAB TENTANG KORBAN PERSEMBAHAN
  1. PENGERTIAN ISTILAH
  2. KESAKSIAN ALKITAB
1.      Perjanjian Lama
a.       Latar belakang umum
b.      Latar belakang khusus
c.       Pembagian pokok pikiran
d.      Uraian tafsiran
2.      Perjanjian Baru
a.       Latar belakang
b.      Tema surat Ibrani
c.       Penulis
d.      Situasi jemaat penerima
e.       Pembagian pokok pikiran
f.       Uraian tafsiran
3.      Kesimpulan Tafsiran
4.      Gagasan Teologis
BAB IV MAKNA KORBAN BAGI GEREJA TORAJA MAMASA DALAM BERTEOLOGI
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
  2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
   
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG PEMIKIRAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Ketika manusia mulai berpikir-pikir dan menyadari akan adanya kuasa yang lebih tinggi dan yang menguasai jagat raya ini, ketika itulah manusia mulai berteologi. Akan tetapi manusia bukan cuma berpikir-pikir tentang adanya kuasa tertinggi itu. Ia juga kemudian melanjutkannya dengan berbicara-bicara, yang kemudian bertindak sesuai apa yang dipikir-pikirkan dan dibicara-bicarakan itu. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap orang adalah teolog, tetapi tidak semua bisa berteologi kontekstual. Ada begitu banya orang yang mau menjelaskan tentang sesuatu kepada orang lain, tetapi tidak terlebih dahulu memperhitungkan bagaimana cara menjelaskan supaya orang lain yang akan mendengarkan itu bisa mengerti. Sehubungan dengan ini, maka Eka Darmaputra mengatakan:[1]
“Teologi kontekstual adalah teologi itu sendiri, artinya teologi hanya dapat dikatakan teologi apabila dia benar-benar kontekstual. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakekatnya teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara teks dengan konteks, antara kerygma yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman Kristiani pada konteks ruang dan waktu yang tertentu.”
Dalam konteks ruang dan waktu inilah manusia hidup dan melakukan aktifitas. Dan aktifitas manusia dalam kehidupannya ini biasa disebut dengan budaha.
Jadi, manusia pada hakekatnya adalah mahluk berbudaya, dan sebagai mahluk yang berbudaya perlu berinteraksi dengan kebudayaan dimana dia tinggal. Berbicara tentang kebudayaan, berarti berbicara tentang masyarakat di mana gereja berada di dalamnya. Itu berarti gereja sebagai persekutuan orang-orang percara kepada Yesus Kristus, berhadapan dengan realitas komunitas manusia yang memiliki berbagai kebudayaan seperti: lagu-lagu, mite-mite, tarian-tarian dan upacara-upacara adat yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia itu sendiri.[2]
Dalam hubungan dengan ini, gereja diperhadapkan dengan pergumulan Rangkap,[3] yaitu pada satu pihak gereja bergumul dengan Tuhannya dalam arti menghayati kebenarandan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, dan di pihak lain Gereja sekaligus bergumul dengan kebudayaan dan masyarakat di mana gereja berada dan berkarya. Dengan kata lain bahwa di satu sisi tetap ingin mempertahankan kemurnian Injil (Iman Kristen), tetapi di sisi lain harus mengakui dan menyadari perjumpaannya dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada. Dalam keadaan yang demikian ini, gereja perlu mengambil sikap untuk dapat mempertemukan antara iman Kristen dan Kebudayaan, dengan jalan menggunakan unsur-unsur kebudayaan yang ada sebagai alat untuk menyampaikan berita Injil. Tetapi sikap yang diambil itu sebaiknya dilandasi dengan prinsip bahwa tetap setia pada teks tetapi relevan pada konteks. Jika sikap yang demikian ini diambil oleh gereja, maka fungsi gereja itu akan betul-betul nyata dan dihayati dalam setiap konteks di mana dia berada.
Pada pemikiran yang demikianlah, maka gereja berusaha menciptakan hubungan yang dialektis antara Injil dan Kebudayaan-kebudayaan. Usaha ini kemudian dirumuskan dalam suatu konsep yang dikenal dengan nama usaha Kontektualisasi.[4] Namun usaha kontekstualisasi ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh gereja-gereja sampai saat ini, meskipun sudah banyak teolog Asia yang membuka jalan untuk menghargai atau memandang positif terhadap kebudayaan-kebudayaan. Tetapi pada kenyataannya, tetap saja gereja memperhankan teologi tradisional, yakni model teologi yang bertolak dari teori ke praktek, yaitu teologi yang pertama-tama menggumuli berita Alkitab, kemudian berita itu dipaksakan ke dalam konteks tertentu, sehingga apabila dalam suatu konteks tertentu ditemui praktek-praktek atau upacara-upacara yang tidak sesuai dengna berita Alkitab atau tidak sesuai dengan budaya pemberita, maka itu akan “dicap” sebagai praktek kekafiran. Inilah yang masih diwarisi gereja-gereja sampai saat ini, sehingga kadang-kadang gereja bertolak belakang dengan kebudayaan-kebudayaan di mana gereka itu ada. Jika dihayati lebih mendalam, maka teologi seperti ini tidak cocok lagi diterapkan di Asia atau yang biasa disebut dengan “Dunia ke tiga”, lebih khusus di Indonesia,yang diwarnai dengan kebudayaan-kebudayaan. Teologi yang selayaknya dikembangkan ialah teologi yang berangkat dari praktek ke teori, yaitu teologi yang pertama-tama menghayati atau bergumul dengan fenomena-fenomena yang ada dalam suatu konteks, kemudian fenomena-fenomena itu diterangi dengan berita Alkitab. Oleh karena itu selayaknyalah gereja menggumuli unsur-unsur kebudayaan di mana dia berada, untuk dijadikan “basis” berteologi kontekstual, supaya teologi itu bisa berfungsi.
Hal inilah yang mendorong saya untuk melihat keberadaan Gereja Toraja Mamasa (GTM), dalam konteks pelayanannya berhadapan dengan berbagai kebudayaan, salah satunya yaitu upacara-upacara yang dilakukan dalam proses pembangunan rumah, khususnya tentang “Korban” dalam upacara tersebut. Saya tertarik untuk menggali dan menganalisis korban dalam upacara ini sebab dibalik korban ini terkandung suatu makna yang mau mengatakan bahwa segala bentuk usaya yang dilakukanoleh manusia adalah sia-sia kalau tidak disandarkan kepada kuasa yang maha tinggi (Tuhan) (band. Mazmur 127:1a). Korban dalam upacara pembangunan rumah ini tetap dilakukan sampai sekarang meskupun mereka sudah memeluk agama Kristen.
Sebelum kekristenan masuk ke daerah Toraja Mamasa, maka mereka sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dan upacara-upacara keagamaan yang diajarkan secara turun-temurun, dan baginilah cara mereka untuk menghayati imannya pada konteks, ruang dan waktu dimana merekia berada.[5] Dan dalam setiap upacara yang dilakukan itu di dalamnya ada korban. Namun dengan masuknya kekristenan didaerah ini termasuk juga di Saluleang, pada tanggal 12 Oktober 1913, melalui Pdt.Kiftembelt yang didatangkan dari Makassar oleh Gereja Pemerintah Hindia Belanda yang bernama Indische Kerk, maka pandangan terhadap kebudayaan-kebudayaan, lebih khusus upacara-upacara, dianggap tidak sesuai dengan Iman Kristen dan harus ditinggalkan karena dianggap sebagai praktek-praktek kekafiran. Pandangan yang seperti inilah yang tetap diwarisi oleh Gereja Toraja Mamasa sampai saat ini. Kebanyakan majelis jemaat berpandangan bahwa upacara-upacara yang didalamnya dilakukan persembahan korban, sama sekali tidak ada hubungannya dengan iman Kristen. Korban-Korban yang dipersembahkan dalam upacara-upacara itu adalah ditujukan kepada dewa-dewa, dan bukan kepada Allah.[6] Akan tetapi meskipun upacara-upacara ini dianggap bertentangan, yang kemudian ditolak, digeser dan digusur,[7] pada kenyataannya tetap subur bahkan berjalan bersama-sama dengan kekristenan, meskipun tidak lagi diikuti unsur-unsurnya sesuai dengan aslinya, tetapi makna dari korban dalam upacara-upacara itu tetap dipelihara oleh setiap anggota Gereja. Ia tetap diakui sebagai suatu upaya pengungkapan iman walaupun gereja menolak. Selai itu korban dalam upacara-upacara yang dilakukan berfungsi sebagai santapan bersama bagi masyarakat yang hadir dalam upacara itu. Oleh karena itu sangat sulit untuk ditiadakan. Ini merupakan masalah bagi pelayanan Gereja Toraja Mamasa sampai saat ini.
Berdasarkan pada latar belakang pemikiran yang dijelaskan di atas, maka saya merasa terdorong untuk mengangkat, mengkaji dan menganalisis korban dalam upacara pembangunan rumah, yang merupakan cara orang Saluleang untuk mengungkapkan imannya. Skripsi ini diberi judul: “Korban” dalam Upacara pembangunan Rumah di desa Saluleang, Kecamatan Mambi, Kabupaten mamasa, provinsi Sul-Sel, ditinjau dari Iman Kristen.”

B.     IDENTIFIKASI, PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1.      Identifikasi Masalah
Mengacu pada Latar Belakang dan alasan pemilihan judul, maka saya mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemui, yakni:
  • Gereja sulit menerima korban dalam upacara pembangunan rumah sebagai suatu bentuk pengungkapan iman
  • Gereja memandang kebudayaan-kebudayaan terpisah dari Iman Kristen, sehingga korban dalam upacara-upacara itu dianggap praktek kekafiran.
  • Korban dalam upacara pembangunan rumah dianggap oleh gereja tidak mempunyai makna penyembahan untuk dipakai dalam rangka berteologi kontekstual.
2.      Pembatasan Penelitian
Dari permasalahan-permasalahan di atas, maka dalam skripsi ini saya akan membatasi pada: Korban dalam Upacara pembangunan rumah dianggap oleh gereja tidak mempunyai makna penyembahan untuk dipakai dalam rangka berteologi kontekstual.
3.      Perumusan masalah
Agar saya lebih mudah memahami pokok permasalahan dalam skripsi ini, maka sayamerumuskan dalam bentuk pertanyaan, yaitu: Apa makna korban dalam upacara pembangunan rumah, dan bagaimana seharusnya gereja memandangnya?
C.     TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan skripsi ini ialah mau mencari tahu apa sebenarnya makna dibalik korban dalam upacara pembangunan rumah, dan bagaimana seharusnya sikap gereja terhadap upacara-upacara itu, sehingga nantinya bisa dipakai dalam rangka berteologi kontekstual.
D.    MANFAAT PENULISAN
Manfaat skripsi ini ialah untuk mencari tahu apa sebenarnya makna dibalik korban dalam upacara pembangunan rumah dan bagaimana seharusnya sikap gereja terhadap upacara-upacara itu. Dari pengkajian makna korban dalam upacara ini yang kemudian dilanjutkan dengan pengkajian teologi Alkitabiah, diharapkan gereja bisa memakai dalam rangka berteologi kontekstual.
E.     METODOLOGI
-          Tempat:
Populasi adalah masyarakat desa saluleang yang sekaligus sebagai anggota jemaat, kemudian dari populasi ini dipilih 17 orang, baik itu dari unsur adat, majelis jemaat dan anggota masyarakat/jemaat, yang dipercayai dapat memberikan data-data untuk tujuan penulisan ini.[8] Dalam pengambilan sample, ini digunakan tehnik sampling bertujuan, karena anggota sampel yang dipilih ini disesuaikan dengan tujuan penelitian.[9]
-          Metode Penelitian
Saya menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Medodologi kualitatif bertitik tolak dari paradigm fenomenologis yang objektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sesuai dengan yang dihayati oleh individu atau kelompok social tertentu.[10] Melalui metodologi ini dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku-prilaku yang dapat diamati.[11] Sedangkan yang dimaksud dengan metode/pendekatan deskriptif ialah dari data-data yang dikumpulkan dari lapangan penelitian, pertama-tama dipaparkan dan dijelaskan lalu dilanjutkan dengan analisa data.[12] Kerja peneliti dalam metode Deskriptif, bukan saja memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena yang ada di lapangan, tetapi juga menerangkan hubungan diantaran fenomena-fenomena itu,seta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan.[13]
-          Tehnik Pengumpulan Data
Saya menggunakan tehnik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Tehnik pengumpulan data melalui Observasi ini saya gunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai lokasi penelitian, dan mengamati tingkah laku yang ada berupa upacara-upacara. Hal ini sudah saya lakukan sejak beberapa tahun yang lalu, Karen saya adalah penduduk dari lokasi penelitian. Melalui wawancara (wawancara tak terstruktur, artinya wawancara bisa berkembang di lapangan), saya gunakan untuk mendapatkan informasi-informasi tentang upacara-upacara dalam proses pembangunan rumah, khususnya tentang korban. Hal ini saya lakukan selama 2 bulan 6 hari, yaitu pada bulan September-Oktober 2001 dan tanggal 9-14 Juni 2003. Sedangkan melalui studi kepustakaan, saya lakukan dalam rangka sebagai perbandingan untuk menguatkan pendapat yang saya kemukakan.
F.      SISTEMATIKA PENULISAN
Pendahuluan      : Bagian ini berisi latar belakang pemikiran dan alasan pemilihan judul, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan metode penelitian.
Bab I                  : Dalam bagian ini berisi tentang gambaran lokasi penelitian dan situasi desa
Bab II                 : Berisi uraian data dan analisis data
Bab III               : Bagian ini berisi kajian atau tinjauan iman Kristen, landasan Alkitabiah tentang korban dalam upacara pembangunan rumah.
Bab IV               : Bagian ini berisi refleksi dari apa yang telah dimuat dalam bab II dan bab III
Penutup              : berisi Kesimpulan dan Saran
Kepustakaan
Lampiran-Lampiran


[1] Eka Darmaputra (ed), Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hal.9
[2] Band. J.M.Saruan, Opo dan Allah Bapa, (Tomohon, 1991) hal. XII
[3] S.A.E.Nababan, Pergumlan Rangkap: Laporan hasil konsultasi teologi BPH-DGI tanggal 23-28 November 1970 di Sukabumi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1970) hal.13.
[4] Band. A.F.Parengkuan, “Ungkapan Injil dalam Perspektif budaya masyarakat Indonesia” dalam Eksodus, No.9 thn.VI 1998, hal. 29.
[5] Band. Eka, Op.Cit., hal.9
[6] Ambroses, Salmon B.Mahi, Benyamin, Polikarpus, wawancara 8 September 2001
[7] Band. Saruan, Op.Cit., hal. IX
[8] Daftar Nama-nama Responden terlampir
[9] Band. Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:Bumi Aksara, 2000) hal.47
[10] Lexi Maleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: remaja Karya, 1990) hal.v
[11] Ibid. hal.3
[12] Band.Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1988), hal. 13
[13] Moh.Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988) hal.64
 


BAB I
MENGENAL LOKASI PENELITIAN
A.    LETAK GEOGRAFIS
Saluleang adalah sebuah desa yang termasuk dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan,[1] Kabupaten Mamasa, Kecamatan Tabulahan. Jarak antara desa Saluleang dan ibu kota kecamatan (Tabulahan adalah 32 km. dan jarak antara Tabulahan dan ibu kota kabupaten mamasa 198 km. sedangkan jarak antara Mamasa dan ibu kota Provinsi (Makassar) adalah 310 km.
Kabupaten Mamasa[2] terdiri dari 10 kecamatan, dan berada pada posisi 118o BT-119o BT dan antara 1o LS-3o LS. Dari 10 kecamatan yang ada di kabupaten Mamasa, salah satunya ialah kecamatan Tabulahan, yang berada di daerah perbatasan antara kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju. Secara administrasi batas-batas daerah kecamatan Tabulahan adalah:[3]
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Aralle
  • Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Kalumpang (kabupaten Mamuju)
  • Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Mambulilling
  • Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Kalukku (kabupaten Mamuju).
Kecamatan Tabulahan ini terdiri dari 9 desa, salah satu diantaranya adalah desa Saluleang, yang secara administrasi mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:[4]
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Bumal
  • Sebelah Utara berbatasan dengan desa Buttuada’
  • Sebelah Timur berbatasan dengan desa Paladang
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tabulahan
Desa Saluleang ini dikepalai oleh seorang kepala Desa yaitu bpk. Elisamawi Pallahkang, dan terdiri dari 3 dusun, yaitu: dusun Saluleang, Panampo dan Langsa. Di setiap dusun ini terdapat satu gereja yakni Gereja Toraja Mamasa jemaat Saluleang, Jemaat Panampo dan Jemaat langsa. Semua penduduk dalam satu desa ini menganut agama yang sama yakni agama Kristen Protestan. Sampai saat ini belum ada satu anggota masyarakatpun yang menganut agama lain. Adapun jumlah penduduk seluruhnya berjumlah 424 jiwa. Dari jumlah yang ada, sebenarnya cukup kalau satu gereja saja, tetapi mengingat jarak antara perkampungan yang satu dengan yang lainnya agak jauh (+ 2 km), maka dibangunlah satu gereja di tiap-tiap dusun.
B.     KEADAAN GEOLOGIS
Keadaan geologis desa saluleang adalah berbukit-bukit. Dan di lerreng-lereng bukit itu terbentang sawah dan lading yang subur. Di Gunung-gunung yang tinggi terdapat hutan yang masih lebat,yang ditumbuhi berbagai jenis pohon dan semak belukar. Dengan keadaan alam seperti ini, maka mata air tidak sulit untuk didapatkan. Bahkan ada aliran sungai besar yang mengalir di perbatasan desa Saluleang dan Desa Tabulahan,juga ada sungai besar yang mengalir diperbatasan desa Saluleang dengan desa Buhtuada’.
Desa ini berada di bawah kaki gunung “Tatondong”, dengan kemiringan 45o, dan jenis tanahnya merah kecoklatan. Disekitar desa terdapat tanah pertanian penduduk dengan sawah yang berteras-teras mengelilingi perkampungan. Jenis tanah yang ada sangat lemban dan subur sehingga tanaman penduduk yang ditanam subur. Jenis tanaman penduduk antara lain: Pisang, umbi-umbian, sayur-sayuran, padi dan jagung. Sedangkan tanaman jangka panjang adalah kopi dan coklat.
C.     KEADAAN PENDUDUK
Banyaknya penduduk yang mendiami desa Saluleang berjumlah 424 jiwa, yang terdiri dari:[5]
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
220 jiwa
Perempuan
204 jiwa

Kebanyakan penduduk desa Saluleang hidup sebagai petani. Berikut ini jenis pekerjaan penduduk:[6]
Jenis Pekerjaan
Jumlah Jiwa
Petani
315 orang
Pegawai
11 orang
Pedagang
5 orang
Tukang
10 orang

D.    TINJAUAN HISTORIS
Berdasarkan cerita yang disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi, bahwa nenek moyang orang Saluleang secara khusus dan orang Toraja Mamasa secara umum, bernama Pongka Padang, yang dating dari sebelah Timur daerah Mamasa, yakni dari hulu sungai “Sa’dan” di Tanah Toraja, bertemu dengan seorang perempuan bernama Torije’ne’ yang perahunya terdampar di gunung Kapusaang di sebelah Utara daerah Saluleang.[7]
Berdasarkan cerita itu, Pongkapadang berasal dari Ulunna Sa’dang di Tana Toraja (Tator), bersama dua pengawalnya yang bernama Mambulilling dan Polopadang. Namun hanya Polopadang yang sampai di Tabulahan bersama dengan Pongkapadang, karena Mambulilling meninggal dalam perjalanan.
Setibanya di gunung Buntu Bulo di daerah Tabulahan, mereka tinggal dalam gua batu. Setelah beberapa hari mereka tinggal di daerah itu, Pongkapadang mulai melayangkan pandangannya ke gunung-gunung di sekitarnya, dan dia sangat terkejug karena di gunung sebelah Utara dia melihat ada asap yang mengepul ke atas. Nama gunung itu adalah “Kapusaang” (Bahasa Tabulahan artinya: Keheranan). Lalu Pongkapadang dan Polopadang pergi ke gunung sebelah untuk mencari tahu sumber asap itu, dan mereka sangat terkejut karena mendapati seorang wanita cantik tidur dalam gua. Nama perempuan itu adalah “Torije’ne’” (Bahasa Makassar artinya: Dari air). Dari namanya dapat diketahui bahwa dia berasal dari Makassar.
Kemudian Pongkapadang dan Torije’ne’ menyatukan hati dan hidup bersama sebagai suami istri. Lalu mereka memilih Gunung ‘Buntu Bulo” sebagai tempat tinggal bersama, dan mereka tinggal dalam gua batu.
Lama-kelamaan mereka tidak tahan lagi tinggal dalam gua batu, karena gua itu sering basah oleh hujan, dan juga sering mendapat gangguan dari binatang-binatang buas, ditambah lagi dengan sudah mulainya ada keturunan mereka. Lalu mereka mulai memikirkan untuk membangun tempat tinggal yang lantainya agak tinggi dari tanah supaya terhindar dari gangguan binatang. Maka mereka mulain mendirikan “gubuk”, namun gubuk itu tidak bisa bertahan lama, hanya berumur enam bulan sampai satu tahun, tiang-tiangnya lapuk dimakan tanah.
Suatu malam Pongkapadang bemimpi mendirikan rumah, dengan model rumah panggung. Dalam mimpi itu dia dituntun untuk mengikuti langkah-langkah dan melakukan upacara yang didalamnya korban dipersembahkan, agar rumah yang didirikan itu dapat bertahan lama dan orang yang tinggal di dalamnya akan memperoleh umur yang panjang, serta segala usaha yang dilakukan akan berhasil. Jika tidak menuruti langkah-langkah upacara pembangunan rumah maka rumah itu akan cepat rusak, dan orang yang tinggal dalam rumah itu tidak akan umur panjang serta segala usaha yang dilakukan akan sia-sia. Inilah yang melatarbelakangi sehingga sampai saat ini pembangunan rumah tidak sembarang dilakukan, tetapi harus mengikuti upacara-upacara yang ada, dan dalam upacara-upacara itu harus ada korban persembahan.
E.     SISTEM KEPERCAYAAN
Sebelum agama Kristen Protestan masuk ke daerah ini yang dibawa oleh para zendeling dari Belanda, melalui Gereja Pemerintah Hindia Belanda yang bernama “Indisce Kerk”, penduduk daerah ini telah menganut suatu kepercayaan yang dikenal dengan kepercayaan “ada’ Mappurondo,” (aturan turun temurun.)[8]
Menurut Kepercayaan “ada’ mappurondo,” segala sesuatu di dunia ini diciptakan dan dikuasai oleh dewa-dewa, yang dikenal dengan nama “dehata-dehata”, yang biasanya disapa dengan sebutan “allataala”.[9] Karena itu hampir setiap kegiatan dilakukan dalam bentuk upacara-upacara untuk menghormati dehata-dehata. Dan dalam upacara-upacara itu selalu ada korban yang dipersembahkan kepada dehata-dehata, mulai dari tenak besar (Kerbau), ternak sedang (babi), dan ternak kecil (ayam). “Dehata-dehata” ini terdiri dari dua kelompok.[10] Kelompok yang pertama terdiri dari tiga dewa utama yang dikenal dengan istilah “to pokok” (yang utama) yaitu:
1.      To Metampa
Tometampa ialah dewa pencipta manusia, hewan dan segala jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan dan bintang-bintang. Biasanya dewa ini juga dikenal dengan nama “puang alataala”[11] (dewa atas segala dewa). Dalam upacara-upacara keagamaan, puang alataala berkali-kali disebut sehubungan dengan ciptaannya yang ada di sekitar manusia. Sebagai contoh adalah salah satu doa dalam upacara pembangunan rumah:
“Dolunna la dihanteang inde tampo, dipetanda dolu,umbato ke sihatangngi la dipedasangngi, sande’ di alataala, dehata to umballa’ hante.” (artinya: sebelum tanah ini diratakan, terlebih dahulu dilihat tanda, semoga cocok untuk dijadikan lokasi pembangunan rumah, kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala, dewa yang membentangkan daratan)”

Dalam mengungkapkan kebesaran dan kekuasaannya dia digelar “dehata to ullepong buntu” (dewa yang membentuk gunung), “dehata to ungkalo’ salu” (dewa yang mengalirkan sungai), dan “dehata to umballa’ hante” (dewa yang membentangkan daratan). Gelar-gelar ini menunjuk kepada to “metampa” sebagai dewa satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu, dan tidak ada yang diluar ciptaannya.[12]
Sehubungan dengan gagasan bahwa Puang Alataala adalah pencipta segala sesuatu, maka ia juga berhak merusak apa yang diciptakan-Nya termasuk manusia dan segala harta bendanya. Karenanya untuk mencegah hal itu, maka ia harus disembah melalui upacara-upacara. Dalam upacara-upacara atau ritus-ritus dipersembahak korban-korban. Dan yang memimpin jalannya upacara ialah “Sando” (semacam imam, yaitu pemimpin spiritual dalam “ada’ mappurondo”).
2.      To Memana’[13]
Yaitu dewa yang memberikan harta benda/kekayaan dan semua yang bersangkutan dengan kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Menurut gagasan dalam ada’ mappurondo, selain “to metampa”, ada juga “to memana’”, yakni dari mana manusia memperoleh segala sesuatu yang ia butuhkan. Dalam upacara-upacara, “to memana’” disembah sejajar dengan “to metampa”.
3.      To Meolaang
Yaitu dewa yang berkuasa memelihara, menyertai dan memberikan perlindungan dalam melakukan aktifitas.
Untuk mengetahui apakah dewa berkenan dalam satu rencana kegiatan yang akan dilakukan sehubungan dengan keberhasilan dan perlindungan, maka dikorbankan seekor ayam atau babi. Yang menjadi tanda ialah darah dari binatang yang dikorbankan itu. Apabila darah korban itu bergelembung-gelembung, maka itu pertanda dewa berkenan dalam setiap aktifitas yang akan dilakukan.[14] Juga dapat dilihat melalui warna dari darah korban, yaitu apabila darahnya segar kemerah-merahan, maka itu pertanda dewa merestui aktivitas yang akan dilakukan. Tetapi sebaliknya kalau darahnya merah kehitam-hitaman, maka itu pertanda dewa tidak merestui, sehingga harus ditunda.
Ketiga dewa utama (to poko’) yang sudah dijelaskan di atas, menurut gagasan kepercayaan “ada’ mappurondo” merupakan satu kesatuan dengan fungsi sebagai pencipta, pemberi dan penyerta.[15]
Disamping ketiga dewa utama di atas, penganut ada’ mappurondo juga sama dengan agama-agama suku lainnya yang ada di Indonesia[16] percaya tentang adanya dewa-dewa yang mendiami matahari, bulan, bintang-bintang, tempat-tempat dan benda-benda tertentu di bumi seperti gunung, pohon besar, sungai, mata air, batu dan lain-lain. Dewa-dewa itu disebut dengan “to meliling” (yang mengelilingi atau yang ada disekitar kita), yakni dewa-dewa yang ada disekitar manusia di bumi ini.[17] Inilah dewa-dewa pada kelompok yang ke dua.
Selain percaya kepada dewa-dewa, penganut “ada’ mappurondo” juga percaya pada arwah-arwah nenek moyang yang sudahmeninggal. Jika mereka tahu menghormati dengan jalan memberikan korban-korban, dan tidak menyelewengkan harta-harta warisan dari nenek moyang mereka, maka arwah-arwah nenek moyang akan merupakan sumber berkat. Tetapi sebaliknya jika tidak tahu menghormati dan menggunakan salah harta warisan yang ada, maka dapat mendatangkan malapetaka dan sakit penyakit bagi mereka.
Demikianlah sistim kepercayaan yang dulunya dianut oleh penduduk Toraja Mamasa secara umum dan orang Saluleang secara khusus. Dengan datangnya dan masuknya para penginjil ke daerah ini, maka kepercayaan ada’ mappurondo ini dilarang dianut, dan semua bentuk upacara-upacara keagamaan dilarang untuk dilakukan, lalu diganti dengan Iman Kristen.[18]
Secara keseluruhan, penduduk desa Saluleang saat ini menganut agama Kristen Protestan, yang tergabung dalam Kalasis Saluleang Sinode Gereja Toraja Mamasa (GTM). Namun kepercayaan “ada’ mappurondo” ini sudah mendarah daging dalam jiwa pada umumnya penduduk, sehingga sangat sulit untuk ditinggalkan. Oleh karena itu walaupun mereka sudah masuk agama Kristen, tetapi mereka ttap melakukan upacara-upacara ada’ mappurondo, meskipun dalam melakukan upacara-upacara itu sudah tidak terlalu diikuti sebagaimana aslinya, tetapi makna dari upacara-upacara itu dihayati.[19]


BAB II

PROSES PEMBANGUNAN RUMAH

Rumah dalam masyarakat Saluleang disebut “dasang” (Bahasa Tabulahan). Kata ini mengandung arti bukan sekedar tempat untuk tinggal atau tempat beristirahat manusia, tetapi maknanya lebih  luas dari itu yaitu penentu keberhasilan, kesehatan dan keselamatan manusia.[1] Oleh karena itu untuk membangun sebuah rumah,harus mengikuti prosedur yang ada melalui upacara pembangunan rumah, yang di dalamnya dilakukan penyembelihan ternak sebagai korban. Apabila tidak mengikuti prosedur dalamupacara pembangunan rumah dan mengabaikan persembahan korban, maka orang atau keluarga yang akan menghuni rumah itu tidakakan pernah berhasil dalam setiap usaha, selalu mengalami sakit penyakit, dan selalu ada duka dalam rumah tangga.[2]
Sebelum saya memaparkan prosedur upacara pembangunan rumah, terlebih dahulu saya paparkan konstruksi rumah di Saluleang.
A.    KONSTRUKSI RUMAH

1.      Landasan Tiang
Pada umumnya rumah-rumah di Saluleang, menggunakan batu sebagai landasan (fondasi). Batu-batu tersebut tidak ditanam, tetapi diletakkan begitu saja di atas permukaan tanah, sebagai tempat tumpuan batang/balok melintang dan tiang bangunan agar tidak lapuk dimakan tanah. Biasanya ukuran batu landasan disesuaikan dengan kemiringan tanah, yaitu 10 cm sampai 80 cm. Batu-batu landasan ini diambil dari batu-batu gunung yang ada di sekitar lokasi perkampungan, karena factor alam yang memungkinkan.
2.      Balok Melintang
Balok melintang adalah balok yang biasanya berukuran 30 x 10 cm, dengan panjang masing-masing:
-          Dua buah balok dipasang mengikuti panjang ukuran rumah,
-          Dua buah balok dipasang mengikuti lebar ukuran rumah
Balok melintang adalah sebagai tempat memasang tiang bangunan yang diletakkan di atas batu fondasi yang “ditambeng” (dipasang membentuk empat persegi). Posisi balok melintang ini dipasang mengikuti arah rumah, artinya, kalau rumah menghadap ke Timur, maka pangkal balok ini ke barat, dan ujungnya ke Timur. Ban pada setiap pertemuan balok, dibuat lubang sebagai tempat untuk memasang tiang rumah. Jenis kayu yang biasanya digunakan sebagai balok melintang adalah dari jenis kayu keras, dan tidak cepat lapuk, yaitu kayu “Betau” nama jenis kayu dalam Bahasa Tabulahan).
3.      Tiang (ahhi)
Tiang rumah di Saluleang dibagi atas 3 bagian, yakni: tiang tengah, tiang utama dan tiang pembantu.
Tiang tengah adalah merupakan tiang yang sengaja didirikan di tengah-tengah rumah sebagai soko guru atau tiang pengokoh bangunan, yang terdiri dari satu tiang. Tiang tengah ini diletakkan langsung di atas batu fondasi yang berada di tengah-tengah rumah.
Tiang utama adalah tiang yang dipasang di atas balok melintang, yang berjumlah 8 tiang
Tiang pembantu, adalah tiang yang dipasang di luar tiang utama, yang berjumlah 8 tiang. Tiang-tiang ini menggunakan kayu cempaka.
4.      Tangga (eheng)
Setiap rumah di Saluleang, biasanya memiliki dua tangga,yaitu satu tangga di ruang muka,dan satu tangga di dapur. Tangga ini dibuat dari kayu “Betau”
5.      Pintu (baba)
Pintu rumah terdiri dari:
-          Satu pintu di ruang muka
-          Satu pintu di dapur
-          Satu pintu antara dapur dengan ruang muka,
Dan beberapa pintu kamar (tergantung berapa jumlah kamar dalam satu rumah).
6.      Lantai (Sali)
Lantai rumah kebanyakan terbuat dari batang pohon palem hutan, dan juga ada yang menggunakan papan dari jenis kayu cempaka.
7.      Dinding (Inni’)
Terbuat dari anyaman bambu, juga dari papan.
8.      Jendela (pengngollengang)
Seperti biasanya jendela-jendela rumah berfungsi sebagai tempat pertukaran udara, juga supaya cahaya bisa masuk ke ruangan, dan sekaligus sebagai tempat pemandangan.
9.      Atap  (Ätu’)
Atap rumah kebanyakan terbuat dari daun rumbia yang dijahit sedemikian rupa.
B.     UPACARA PEMBANGUNAN RUMAH
Oleh karena masyarakat sudah menganut agama Kristen, maka sebelum memulai proses upacara pembangunan rumah, orang yang akan membangun rumah tersebut memanggil guru jemaat atau salah seorang majelis jemaat untuk berdoa. Setelah itu maka dilanjutkan dengan upacara adat, dengan mengikuti langkah-langkah upacara pembangunan rumah.
Upacara dalam proses pembangunan rumah mulai dari perencanaan sampai peresmian, disebut “tunuang dasang” artinya korban bakaran untuk rumah.[3] Dalam upacara ini terdiri atas 4 bagian, yaitu:
1)      Manghuyong (menentukan tanah/lokasi pembangunan)
2)      Meehangang (mengumpulkan ramuan rumah)
3)      Mampake’de’ (mendirikan rumah)
4)      Mendai’ (naik rumah baru)
1.      Manghuyong
“Manghuyong” (Bahasa Tabulahan), artinyamenandai atau menentukan. Inidilakukan dalam rangka menandai atau menentukan lokasi/tanah yang akan ditempati membangun rumah. Sebelum upacara manghuyong dilakukan, pertama-tama ditentukan dulu bulan yang tepat, yakni tanggal 10 terbitnya bulan yang sedang berjalan, yang disebut dengan “timumung” (=terlindung).
Setelah sampai tanggal bulan yang ditentukan, maka dilakukanlah upacara, dengan cara: mengambil dua ruas bamboo, ruas yang sebelah diisi dengan air, dan ruas yang sebelah diruncingkan untuk ditancapkan ke tanah. Air yang diisi ke dalam bambu ini tidak terlalu penuh, hanya ¾ saja dari ruas bamboo yang ada, yang ¼ dibiarkan kosong. Setelah itu lalu ditutup dengan menggunakan daun yang tidak bisa ditembus air, atau bisa juga menggunakan plastic. Pada waktu tengah malam, bamboo yang berisi air ini dibawa oleh orang yang akan membangun rumah ke lokasi yang akan ditentukan menjadi lokasi pembangunan rumah, lalu ditacapkan di tengah-tengah lokali itu sambil mengucapkan doa:[4]
“ Dolunna la kupampake’dei dasang inde tampo, kuhuyong dolu, umbato ke sihatangngi la kupedasangngi, anna la masahke mahodinding diongei, sande’ di alataala, dehata to umballa’ hante.” (artinya: Sebelum tanah ini saya tempati mendirikan rumah, saya mau lihat tanda dulu, mudah-mudahan pantas saya tempati membangun rumah, dan nyaman ditempati,kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala, dewa yang membentangkan daratan.)

Setelah itu, orang yang akan membangun rumah itu pulang ke tempat tinggal sementara untuk istirahat (tidur) dan bermimpi tentang lokasi tersebut. Apabila dalam mimpinya dia melihat banyak binatang-binatang seperti : babi dan anjing berkeliaran di lokasi itu, maka itu berarti lokasiitu bagus.[5] Tetapi kalau dalam mimpinya itu dia melihat banyak ular dan kaki seribu berkeliaran atau binatang-binatang yang menakutkan lainnya di lokasi itu, maka itu pertanda buruk dan tidak cocok untuk ditempati membangun rumah. Penglihatan dalam mimpi itu akan berhubungan langsung dengan air yang diisi dalam bamboo. Kalau mimpi bagus, maka air yang ada dalam bamboo itu akan menjadi penuh, tetapi kalau mimpi buruk maka air yang ada dalam bamboo itu akan berkurang. Kalau air yang ada dalam bamboo itu menjadi penuh, maka itu pertanda dewa merestui lokasi itu. Tetapi kalau air yang ada dalam bamboo itu berkurang, maka itu pertanda dewa tidak merestui dan harus mencari kokasi lain.[6]
Jika lokasi itu cocok untuk ditempati membangun rumah, maka orang yang akan membangun rumah tersebut memanggil “sando” bersama seluruh masyarakat umum untuk meratakan tanah tempat akan membangun rumah. Di situ disiapkan satu ekor kerbau atau babi sebagai korban untuk tanah tempat mendirikan rumah. Makna atau tujuan korban ini ialah agar “alataala” sebagai “dewa yang membentangkan daratan”, memberikan tanah tersebut untuk ditempati membangun rumah. Darah korban yang dipersembahkan di kokasi pembangunan rumah itu merupakan tebusan (bayaran) terhadap dewa yang menguasai tanah. Jadi walaupun orang sudah membeli dari orang lain tanah tersebut, tetapi orang yang akan membangun rumah di lokasi tersebut harus menebus (membayar) tanah tersebut kepada dewa pencipta melalui darah korban.[7] Darah korban tersebut sekaligus sebagai pendamaian antara orang yang akan menempati tanah dengan tanah yang akan ditempati, sehingga orang yang akan menempatinya akan selalu mengalami keselamatan dan perlindungan, dengan kata lain ada kedamaian antara orang yang akan membangun rumah dengan tanah yang akan ditempati karena dewa merestui.[8] Lalu “sando” mengambil pisau untuk menyembelih kerbau atau babi yang akan dikorbankan itu.[9] Sementara Sando mengambil ancang-ancang untuk menyembelih kerbau atau babi yang akan dikorbankan, dia mengucapkan doa:[10]
“Indee terong/babi la dihahaing inde tampo aka’ la dihanteang, umbato ke malai ungngolai inde haha tunuang, la dipomasahke mahodinding inde tampo, lambi’ la kabeheang ang la mangngongei, sande’ dialataala, dehata to umbala’ hante” (artinya: Kerbau/babi ini dijadikan sebagai korban darah untuk tanah ini karena tanah ini akan diratakan, kiranya melalui darah korban ini, akan diperoleh kenyamanan tanah ini, sehingga akan keberkatan orang yang akan menempati, kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala, dewa yang membentangkan tanah.)

Setelah itu maka mulailah masyarakat meratakan tanah itu, dan daging kerbau atau babi yang dikorbankan itu dimasak untuk menjadi santapan para pekerja dan semua orang yang ada di situ.
2.      Meehangang[11]
Apabila tanah untuk tempat membangun rumah sudah selesai diratakan, maka dilanjutkan dengan mencari ramuan rumah, yangdalam Bahasa Tabulahan disebut “Meehangang”.
“Meehangang” artinya mencari atau mengumpulkan ramuan. Kata ini berasal dari kata benda “ehangang” (artinya: ramuan atau alat), yang kemudian ditambah dengan awalan me-, sehingga menjadi kata kerja “meehangang” yang berarti mencari/mengumpulkan ramuan).
Dalam upacara meehangang, pertama-tama dilakukan ialah memanggil “sando”, para tungka kayu dan semua anak buahnya, dan bersama-sama dengan orang yang akan membangun rumah membicarakan ukuran rumah yang akan dibangun. Setelah itu maka ditentukanlah waktu untuk mengadakan penebangan kayu. Waktu yang ditentukan ini disesuaikan dengna terbitnya bulan yang biasa dikenal dengan “bulang di langi’” (bulan di langit, atau bulan arab). Waktu yang cocok untuk penebangan kayu biasanya tanggal 6-9 menurut terbitnya bulan. Ini biasa dikenal dengan “matua bulang” (tua bulan).[12]
Setelah sampai waktu yang ditentukan tersebut, maka berkumpullah “sando”, para tukang kayu,dan para spesialis penebangkayu, dalam rangka persiapan untuk pergi ke hutan menebang kayu. Sebelum para spesialis penebang kayu ini masuk hutan, dilakukan dulu upacara yang dipimpin oleh “sando”, yaitu dengan menyembelih seekor ayam. Sambil “sando”menyembelih ayam yang telah disiapkan, dia mengucapkan doa untuk keselamatan para penebang kayu dan meminta restu dari dewa, yaitu:
Indeeng mane’ ditunu, dihannuang ungngolai hahana inde mane’ la naelo’I dehata inde pahtuyu, lambi’ inde mai to la mao meehangang la mala sumule mapia sitonda kamasahkeang, sande’ di alataala, dehata to meolaang. (artinya: ayam yang akan dikorbankan ini, melalui darahnya diharapkan dewa akan berkenan untuk rencana ini, sehingga orang-orang yang akan pergi mencari ramuan (rumah) bisa kembali dengan baik dalam keamanan,kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala, dewa penyerta)

Tujuan korban ini ialah untuk meminta keselamatan dari dewa terhadap orang-orang yang akan pergi menebang kayu. Restu dari dewa dapat langsung dilihat melalui daragh ayam yang dikorbankan, yaitu apabila darah ayam itu menggelembung-gelembung kecil, maka itu berarti dewa merestui rencana itu, dan para penebang kayu yang akan pergi ke hutan akan kembali dengan selamat,tanpa mengalami kecelakaan. Tetapi jika darah ayam itu tidak bergelembung-gelembung, mjaka itu pertanda dea tidak merestui dan rencana itu harus ditunda.
Apabila dewa merestui rencana itu, maka para penebang kayu berangkat ke hutan untuk menebang dan mempersiapkan ramuan rumah, sesuai dengan yang dibutuhkan. Setelah mereka sampai di hutan dan memulai penebangan, maka kayu yang paling pertama ditebang, diambil setetes getahnya dan diminum oleh orang yang menebang, agar kayu-kayu yang akan ditebang tidak mencelakai orang yang menebang.[13]
Adapun syarat-syarat kayu yang ditebang ialah:[14]
  • Kayu yang sudah cukup tua
  • Kayu yang tidak dililit oleh semak belukar, karena apabila menggunakan kayu yang dililit oleh semak belukar sebagai ramuan rumah, maka ular akan naik ke rumah itu setelah jadi.
  • Kayu yang ditebang tapi tersangkut pada pohon yang lain tidak boleh diambil, karena kalau diambil maka akan membawa musibah bagi orang yang akan menempati rumah itu.
Jenis kayu yang digunakan sebagai ramuan rumah adalah kayu “Uruh” (kayu cempaka), betau, dan bahkang (kayu palapi).[15]
Setelah semua kayu ramuan ini ditebang, maka dilanjutkan dengan membuat balok-balok sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah itu maka ramuan-ramuan itu diangkut ke lokasi pembangunan rumah untuk dibentuk sesuai model rumah yang dikehendaki.

3.      Mampake’de’ (Mendirikan rumah)
Setelah semua ramuan rumah terkumpul di lokasi pembangunan, maka ditentukanlah waktu yang tepat untuk mendirikan (mampake’de’) rumah. Waktu yang tepat untuk pembangunan rumah dimulai tanggal 14 menurut terbitnya bulan. Adapun urutan pelaksanaannya adalah: Pada pagi hari diundang “sando” dan semua tukang kayu bersama semua anggotanya berkumpul di lokasi pembangunan rumah.[16] Di situ disiapkan seekor kerbau atau babi yang akan dikorbankan. Sebelum pendirian rumah dimulai, “sando” menyembelih kerbau atau babi yang akan dikorbankan itu sambil mengucapkan doa:[17]
Dolunna la ditobo’ inde terong/bahi, dihannuang pehahana la napomatoto’ ke’de’na inde dasang, sande’ di alataala. (artinya: Sebelum kerbau/babi ini disembelih, mudah-mudahan melalui darahnya akan menjadi kekuatan berdirinya rumah ini, kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala.)

Lalu darah korban itu digosokkan pada ramuan-ramuan rumah. Setelah itu maka mulailah para tukang bersama anggotanya mendirikan rumah sesuai dengan urutan pendirian rumah, yang di dalamnya perlu memperhatikan arah bangunan rumah, yaitu selalu menghadap ke Timur atau ke Utara. Tidak boleh menghadap ke Barat atau keselatan, sebab jika rumah menghadap ke Barat atau ke selatan, maka penghuni rumah tersebut akan selalu ada duka dalam rumah itu, juga seluruh usaha yang dilakukan tidak akan berhasil.[18]Alasan mengapa rumah harus selalu menghadap ke Timur atau ke Utara, ialah karena dari arah Timurlah nene’ Pongkapadang dating, dan dari arah Utara nene’ Torije’ne’ dating.[19] Demikian juga pangkal dan ujung kayu ramuan, harus mengikuti arah rumah tersebut. Yaitu apabila rumah menghadap ke Timur, maka ujung kayu mengarah ke Timur dan pangkalnya ke Barat. Tidak boleh dibalik/ditukar. Demikian juga tiang-tiang bangunan harus diperhatikan pangkal dan ujungnya, yakni ujung kayu selalu mengarah ke atas bukan ke bawah.[20] Apabila dalam pendirian rumah itu ada kayu yang sudah tidak diketahui yang mana ujungnya dan yang mana pangkalnya, maka kepala tukang menimbang kayu itu persis di tengah-tengahnya, dan yang lebih berat itulah pangkalnya sedangkan yanglebih ringan itulah ujungnya. Demikianlah proses pembangunan rumah dilanjutkan terus sampai rumah jadi. Selama pembangunan rumah itu berlangsung, maka tuan rumah tersebut secara terus-menerus menyembelih kerbau, babi atau ayam untuk jaminan para tenaga kerja.
4.      Mendai’(Naik rumah Baru)
Setelah pembangunan rumah selesai dan sudah siap untuk dihuni, maka dilakukanlah upacara “mendai’” (artinya: menaiki (rumah)). Upacara naik rumah baru ini dilakukan dengan mempersembahakn korban yang dipimpin oleh “sando”. Tujuan upacara “mendai’” ini ialah untuk mensyukuri penyertaan dewa dalam pembangunan rumah, mulai dari perencanaan sampai selesai. Juga bertujuan untuk memohon pemeliharaan dan perlindungan dewa selama menghuni rumah tersebut. Jalannya upacara adalah :
Pada jam 06 pagi, “sando” menyembelih seekor babi di tangga ruangan muka rumah, dengan mengucapkan doa:[21]
Dolunna la dipendai’ inde dasang, indeeng bahi la ditobo’, ungngolai hahana inde tunuang, la napokende’ hupatau yahoo, la napomasahke napomahodinding anna napopembea’, sande’ di alataala. (artinya: Sebelum rumah ini dihuni, babi ini akan disembelih, melalui darahnya akan menjadi saluran berkat bagi penghuni rumah ini, dan akan nyaman serta akan berkembang biak, kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala.)

Setelah itu maka para tukang masak memasak daging babi yang telah disembelih itu,bersama dengan masakan-masakan lainnya. Dan pada jam 10 pagi seluruh anggota masyarakat dating di rumah baru itu untuk makan bersama. Setelah makan, dilanjutkan dengan hiburan-hiburan berupa tari-tarian dan pantun-pantun. Tarian-tarian dibawakan oleh perempuan dan laki-laki, yang isinya mengungkapkan ucapan syukur kepada dewa yang telah menyertai dalam pendirian rumah, sehingga dapat selesai dengan baik. Disamping itu ditampilkan juga penyair-penyair yang membacakain syair-syairnya dalam bentuk pantun, dengan diiringi alat music petik yang bernama “tandilong” semacam alat music petik tradisional, yang hanya memiliki dua dawai). Syair-syair pantun yang disampaikan itu merupakan sanjungan terhadap tuan rumah yang telah mampu membangun rumah dengan mengikuti upacara dan segala ketentuan korban. Contoh isi syair itu antara lain:[22]
“Tandana nabehe alataala inde puäng dasang, ya’ nabelaumpake’de’ dasang natunuangngi, nabela umpapengkähäng tukang. Ahana inäng tomakaka inde puänna dasang, dai aha mandontong katomakaanna.” (artinya: terbukti diberkati oleh allataala ini tuan rumah, sehingga dia mampu mendirikan rumah, dengan mempersembahkan korban,mempekerjakan tukang. Memang tuan rumah ini kaya tidak ada yangmengatasi kekayaannya.)

Upacara mendai’ ini dilangsungkan selama tiga hari tiga malam, dan selama tiga hari tiga mala mini, tuanrumah terus menerus menjamu semua yang hadir dalam acara ini.
C.     ANALISIS DATA
Keadaan alam melatar belakangi kehidupan manusia, membuat manusia itu harus menghadapi tantangan baik secara fisik, maupun non fisik. Alam menyediakan segala macam kebutuhan hidup manusia, tetapi juga terdapat banyak tantangan. Manusia harus berusaha untuk mempertahankan diri di tengah-tengah tantangan alam itu. Oleh karena itu, untuk kepentingan hidupnya ia membangun rumah untuk melindungi dirinya dari gangguan atau bahaya alam seperti matahari, hujan, petir dan bahaya binatang buas yang mengancam hidup manusia.
Kondisi lingkungan yang selalu berubah, utamanya iklim dan cuaca, membuat manusia berusaha membuat rumah sebagai tempat berlindung. Dengan kemajuan akal pikiran manusia dalam perjalanan hidupnya, baik itu yang diperoleh lewat mimpi maupun pengalaman hidup, maka manusia selalu berusaha untuk meningkatkan tingkat pemikirannya pada taraf yang lebih tinggi demi tuntutan zaman di mana manusia berada. Rumah kemudian dikaitkan dengna kehidupan yang mengandung nilai-nilai religi dan mistik. Rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat perlindungan, tetapi juga dihubungkan dengan keselamatan dan keberhasilan manusia. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan rumah, harus mengikuti upacara-upacara yang ada, yang didalamnya korban dipersembahkan.
Dalam uraian upacara pembangunan rumah di atas, ada beberapa hal yang menonjol, yaitu:
1.      Dalam Memulai Setiap Aktifitas Selalu Berpatokan Pada Bulan
Bentuk bulan sangat berpengaruh bagi masyarakat Saluleang sampai pada saat ini. Oleh karena itu setiap akan memulai suatu aktifitas, selalu berpatokan pada bentuk bulan (tanggal sesuai terbitnya bulan). Hal ini disebabkan oleh karena mereka berhadapan langsung dengan keadaan alam, yaitu hujan dan panas, sehingga mereka harus bisa menentukan bentuk bulan yang bagaimana saatnya hujan, dan bentuk bulan yang bagaimana satnya musim panas. Demikian juga karena dalam setiap perputaran bulan, ada kalanya bulan muda, saat pohon-pohon mengeluarkan tunas muda, da nada kalanya bulan tua, saat pohon-pohon tidak mengeluarkan tunas muda. Pada saat pohon tidak mengeluarkan tunas muda inilah waktu yang tepat untuk penebangan,karena pada saat ini batang pohon kayu tersebut keras dan tidak mengandung banyak air. Menurut penanggalan sesuai dengan terbitnya bulan adalah tanggal 6-9,yang biasa disebut dengan “matua bulang” (bulan tua).
2.      Darah Korban Sangat Berperan Dalam Upacara-Upacara
Dalam uraian upacara pembangunan rumah di atas, yang berperan penting dan mempunyai makna ialah korban (darah korban persembahan.) ini disebabkan oleh keyakinan masyarakat sejak dari nenek moyang,yang memandang darah sebagai pusat kehidupan. Oleh karena itu darah dijadikan patokan dalam persembahan korban.
Makna darisetiap korban (darah korban) yang dipersembahkan secara langsung termuat dalam setiap doa yang disampaikan sebelum menyembelih korban tersebut. Misalnya korban untuk meratakan lokasi pembangunan rumah (hal.16), makna korban di situ adalah sebagai penebusan atas tanah yang akan diratakan untuk pembangunan rumah, sekaligus pendamaian antara orang yang akan membangun rumah dengan tanah yang akan ditempati membangun rumah, agar orang yang akan menempati rumah tersebut selalu kepberkatan tinggal di situ. Jadi, walaupun orang sudah membeli dari orang lain tanah itu, tetapi orang yang akan menempati tanah itu harus melakukan penebusan khusus kepada yang menguasai tanah itu (alataala), dan harus adapendamaian antara tanah dan orang yang akan menempati tanah itu. Jika tidak dilakukan penebusan dan pendamaian atas tanah itu, maka orang yang akan menempati tanah itu tidak akan merasa nyaman dan tidak akan berhasil segala usaha yang dilakukan.
Makna korban (ayam) dalam unsur upacara “meehangang” (hal.17) adalah untuk meminta penyertaan dan keselamatan atas orang yang akan pergi ke hutan untuk menebang kayu. Mereka menyadari bahwa penyertaan dan keselamatan itu hanya bersumber dari alataala (to meolaang) selaku penyerta, dan oleh karena itu maka hanya kepadanyalah memohon penyertaan dan keselamatan. Menurut keyakinan masyarakat Saluleang,bahwa penyertaan keselamatan dari alataala itu dapat langsung dilihat dalam darah korban yang disembelih. Apagila darah korban itu bergelembung-gelembung kecil maka itu pertanda dewa penyerta merestui.
Makna korban dalam unsur upacara “mampake’de’” (hal.19) adalah untuk meminta dewa memberi kekuatan terhadap bangunan itu. Darah korban persembahan itu digosokkan pada ramuan-ramuan bangunan sebagai tanda bahwa kekuatan rumah tersebut telah dimohonkan kepada alataala melalui persembahan korban.
Makna korban dalam unsur upacara “mendai’” (hal.20) adalah selain sebagai ungkapan syukur atas penyertaan alataala selama proses pembangunan berlangsung, juga meminta berkat dan keselamatan dari alataala untuk penghuni rumah tersebut agar senantiasa keberkatan tinggal di rumah itu, segala usaha yang dilakukan selalu berhasil dan akan selalu merasakan kesehatan dan keselamatan selama menghuni rumah itu.
Korban dalam upacara pembangunan rumah menjadi unsur yang penting yang mempunyai makna: menebus/mendamaikan, meminta penyertaan, meminta kekuatan dan meminta berkat serta keselamatan. Selain itu, makna lainnya dari persembahan korban, ialah bahwa daging dari persembahan korban itu dijadikan jamuan bersama para pekerja pada hari itu. Oleh karena itu hal ini juga menjadi satu kepentingan dalam upacara pembangunan rumah, karena korban itu sekaligus dijadikan jamuan bersama para pekerja bangunan.
3.      Penyebutan Alataala Dalam setiap Mengahiri Doa
Walaupun mereka melakukan berbagai macam syarat-syarat dalam pembangunan rumah, misalnya berpatokan pada bulan dan darah hewan, tetapi dalam setiap doa yang disampaikan selalu diakhiri dengan penyerahan diri kepada “alataala”, selaku dewa tertinggi. Ini menandakan bahwa dalam setiap aktifitas, yang menjadi penentu utama ialah “alataala”. Jadi apapun yang dilakukan kalau tidak direstui oleh alataala maka itu tidak akan berhasil. Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan tentang adanya yang maha kuasa dan maha penentu itu sudah tumbuh dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu kala, sehingga mereka menyadari bahwa dialah yang menuntun dan menjadi penentusetiap aktifitas yang dilakukan.
Demikianlah uraian data dan analisis data tentang pembangunan rumah. Pada bab selanjutnya akan dilanjutkan dengan apa kata Alkitab tentang upacara-upacara/ritus-ritus, khususnya tentang korban.



BAB III
KESAKSIAN ALKITAB TENTANG KORBAN PERSEMBAHAN

Sebagaimana saya katakana dalam bagian terakhir bab II, bahwa dalam bab III ini saya akan memberikan kesaksian Alkitab tentang upacara, lebih khusus tentang korban persembahan dalam upacara pembangunan rumah. Tetapi sebelumnya saya jelaskan terlebih dahulu tentang pengertian upacara dan korban, lalu dilanjutkan dengan apa kata Alkitab tentang korban.
A.    PENGERTIAN ISTILAH
Kata “Korban” berasal dari Bahasa Ibrani קרבן  (qorban)[1] yang berarti “sesuatu yangdibawa dekat.” Dalam terjemahan TB LAI diterjemahkan “Persembahan.” Anton M.Muliono, mengartikan “korban” sebagai: pemberian untuk menyatakan kebaktian dan kesetiaan, juga diartikan sebagai persembahan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.[2] Dari pengertian-pengertian ini, dapat saya katakana bahwa “korban” adalah sesuatu yang dibawa/dipersembahkan kepada yang diyakini menguasai kehidupan ini, dengan kata lain suatu pemberian yang disertai dengan rasa hormat. Ini adalah suatu upaya manusia untuk menyembah dan mendekatkan diri kepada kuasa tertinggi (Tuhan), dengan jalan mengorbankan sesuatu. Melalui korban, manusia menghayati hubungannya dengan kuasa tertinggi (Tuhan) dan mengharapkan segala sesuatu dari padanya.
B.     KESAKSIAN ALKITAB
Ibadah, baik dalamPerjanjian Lama maupun dalam Perjanjian BAru mencakup seluruh aspek kehidupan. Namun yang saya akan uraikan lebih lanjut dalam bagian ini sehubungan dengan topic yang saya angkat dalam skripsi ini, yaitu ibadah dalam bentuk ritus, khususnya tentang persembahan korban. Dalam membahas tentang hal ini, maka saya akan mengangkat baik dari Perjanjian lama maupun dari Perjanjian Baru. Dari Perjanjian Lama, saya akan mengambil dari Imamat 1:1-17, yaitu tentang peraturan korban yang disampaikan oleh TUHAN kepada Musa dari dalam kema pertemuan., Alasan saya mengambil bagian Alkitab ini ialah karena hanya di sini dibahas tentang korban bakaran, mulai dari ternak besar (lembu), ternak sedang (kambing/domba) dan burung, dan yang menjadi penekanan di sini ialah pada darah korban. Ini ada hubunganna dengan korban persembahan dalam upacara pembangunan rumah yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa korban yang dipersembahkan mulai dari ternak besar (kerbau), ternak sedang (babi) dan ternak kecil (ayam), dan penekanannya ada pada darah korban. Sedangkan dari Perjanjian Baru saya mengambil dari kitab Ibrani 10:1-10. Saya mengambil bagian Alkitab ini karena dalam bagian ini penulis surat Ibrani secara khusus membahas hubungan antara persembahan dalamPerjanjian Lama dan penggenapannya dalam Perjanjian Baru melalui pengorbanan Yesus Kristus. Dari kedua bagian Alkitab ini saya akan tafsir, sehingga akan mendapatkan pemahaman yang jelas tentang persembahan korban.
1.      Perjanjian Lama
Sebagaimana saya singgung di atas bahwa bagian Perjanjian Lama yang akan saya tafsir ialah dari kitab Imamat, karena dalam kitab ini diuraikan mengenai ibadah, khususnya tentang korban-korban yang dipersembahkan kepada Allah. Jadi yang saya mau angkat di sini ialah Imamat 1:1-17, yakni tentang aturan-aturan dalam persembahan korban bakaran.
a.       Latar belakang umum
Kitab Imamat adalah kitab ke-3 dari kumpulan kitab “Torah” atau kitab “Pentateukh” (lima jilid kitab). Kitab Imamat ini berisi tentang peraturan-peratuan dan tugas-tugas keimaman, serta berisi instruksi-instruksi yang menguraikan tentang kehidupan umat yang sesuai dengan kehendak Tuhan.[3] Dalam Bahasa Ibrani, judul kitab ini yaitu : ןיּקראּ (wayiqra) yang berarti “lalu Dia memanggil,” judul ini diambil dari ayat pembuka kitab ini, yaitu “Tuhan memanggil Musa” (1:1).[4]
Mengenai penulis dan tanggal penulisan kitab ini, tidak disebutkan dalam isi kitab. Oleh karena itu ada beberapa kemungkinan tentang siapa penulis dan kapan kitab ini ditulis. Kemungkinan yang pertama ialah bahwa Musa dianggap sebagai penulis. Hal ini dihubungkan dengan ungkapan “Tuhan berfirman kepada Musa,” yang secara berulang-ulang disebutkan dalam naskah kitab ini (1:1; 4:1; 5:14;6:1;6:8 dst). Dari kemungkinan ini kemudian ditetapkan tanggal penulisan kitab Imamat, yaitu antara tahun 1400 SM dan 1200 SM.[5] Dari sini kemudian menghasilkan suatu kumpulan kitab-kitab yang disebut “Torah” atau “Pentateukh” yang lengkap seperti yang kita kenal sekarang ini.[6]
Dari kedua kemungkinan ini maka dapat saya Tarik kesimpulan yang merupakan pendapat saya, yaitu bahwa bisa saja dokumen-dokumen yang ada dalam kitab Imamat berasal dari nabi Musa, yang dibuktikan dengan ungkapan-ungkapan “Tuhan berfirman kepada Musa…” yang secara berulang-ulang terdapat dalam kitab ini. Dari dokumen-dokumen ini, kemungkinan dibukukan oleh sumber P menjadi satu kitab pada sekitar tahun 550-450 SM, sesudah bangsa Israel kembali dari pembuangan di Babylon. Jadi isi kitab Imamat ini sebagian berasal dari tahun 1400-1200 SM (zaman Musa).
b.      Latar belakang khusus
Dalam Imamat 1:1-17 ini, terlihat dengan jelas keterhubungannya dengan kitab sebelumnya yaitu kitab Keluaran. Dalam Pasal terakhir dari kitab Keluaran, dijelaskan tentang pembangunan sampai selesainya kema suci atau kema pertemuan. Setelah pembangunan ini selesai, Musa dan umat Israel masih tinggal di kaki gunung Sinai, dan pada saat itulah disampaikan isi kitab ini.[7] Dalam Imamat 1:1-17 ini Tuhan memanggil Musa dari dalam kema pertemuan itu untukmenyampaikan kepada umat Israel mengenai aturan-aturan persembahan korban bakaran.[8]
c.       Pembagian pokok pikiran
1:1-2                Tuhan menyuruh Musa memberitahukan kepada umat Israel tentang aturan persembahan korban bakaran.
1:3-9                Aturan mempersembahkan korban bakaran dari lembu
1:10-13            Aturan mempersembahkan korban bakaran dari kambing atau domba
1:14-17            Aturan mempersembahkan persembahan korban bakaran dari burung

d.      Uraian tafsiran
(ayat 1-2)
Pada pasal 1:1 kitab Imamat ini dimulai dengna kata “Tuhan memanggil Musa”. Oleh karena itu judul Ibrani kitab ini ialah : ןיּקראּ (wayiqra) artinya “Lalu dia Memanggil.” Hal ini merupakan kebiasaan umat Ibrani untuk memberikan judul kitab dengan mengambil kalimat pertama dari kitab itu.[9] TUHAN di dalam ayat ini digambarkan sebagai seorang pribadi yang memanggil Musa dan berfirman kepada Musa dari dalam kema suci, untuk menyampaikan sesuatu kepada umatnya. Kema suci adalah lambang kehadiran TUHAN diantara umatnya, juga sebagai penentu perjalanan bangsa Israel (Kel.40:36,37). Hal yang ingin disampaikan oleh TUHAN ialah mengenai “persembahan” atau “korban persembahan.” Istilah yang dipakai di sini ialah קּרבן (qorban), artinya “Sesuatu yang dibawa dekat, pemberian atau persembahan.” Dalam kitab Imamat ini, mempersembahkan korban bukanlah sesuatu yang diperintahkan oleh TUHAN, ttapi itu adalah merupakan kesadaran dari seseorang yang akan mempersembahkan korban.[10] Hal ini nyata dari ayat 2 “Apabila seseorang diantaramu hendak mempersembahkan persembahan…” Dari kalimat ini nyata bahwa hal mempersmbahkan sesuatu kepada TUHAN, bukanlah sesuatu yang diperintahkan, tetapi merupakan kesadaran dari orang yang hendak mempersembahkan korban. Ini adalah suatu ungkapan iman dari setiap orangyang menyadari adanya Yang Maha Kuasa. Oleh karena adanya kesadaran untuk mempersembahkan korban ini, maka TUHAN mengindahkannya.
Upacara korban adalah satu cara umat Israel untukmenghampiri Allah. Jadi “Persembahan Korban” mempunyaimakna ibadah,yakni membawa sesuatu kepada TUHAN sambil beribadah kepada-Nya. Korban yang dibawa ini merupakan tanda penyerahan diri kepada TUHAN.
Untuk keteraturan persembahan korban itu, maka selanjutnya TUHAN menentukan hewan-hewan yang layak dipersembahkan, yaitu mulai dari ternak besar (lembu, sapi) dan ternak sedang (kambing dan domba) dan juga ternak kecil (burung merpati dan tekukur). Ini menandakan keadilan TUHAN memberi kesempatan kepada masing-masing orang sesuai kemampuannya untuk meberikan persembahan korban.[11]
(ayat 3-9)
Dalam bagian ini dijelaskan dengan teliti tntang korban. Di dalamnya terdapat penjelasan secara lebih terinci mengenai persembahan korban bakaran. Secara khusus dalam bagian ini dijelaskan tentang cara mempersembahkan korban bakaran dari lembu. Lembu adalah binatang yang digolongkan sebagai ternak besar, dan mempunyai kedudukan yang berharga bagi umat Israel. Bahkan begitu berharganya sehingga dijadikan lambang sebagai salah satu yang patut disembah (Kej.32:8). Jadi lembu di sini mempunyai kedudukan penting diantara binatang-binatang lain.
Untuk mempersembahkan persembahan korban bakaran dari lembu, maka ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti, yaitu: Korban persembahan itu hgarus jantan dan tidak bercela. Tetapi bukan berarti betina tidak boleh dipakai dalam korban bakaran yang dipersembahkan. Ada kalanya betina juga boleh dipakai sebagai korban persembahan (3:1), tetapi memang yang lebih diutamakan adalah yang jantan. Namun korban persembahan ini bukan sekedar jantan, perlu juga diperhatikan kesehatan dan kesempurnaan binatang yang akan dikorbankan itu, yakni “tidak bercela”, artinya bahwa korban persembahan itu harus sehat dan sempurna. Hal ini mau menjelaskan bahwa korban yang dipersembahkan kepada TUHAN itu adalah betul-betul persembahan yang sempurna, yang tulus dan merupakan hasil yang terbaik.
Orang yang membawa persembahan korban, dia sendirilah yang menyajikan pada mezba atau pada pintu kema pertemuan “supaya TUHAN berkenan akan dia” (1:3).[12] Persembahan itu mewakili orang yang mempersembahkannya, karena dibalik persembahan itu, selain sebagai ungkapan syukur, ada sesuatu yang ingin dicapai yakni pengampunan dosa dan pendamaian. Selanjutnya pembawa korban persembahan itu meletakkan tangannyadi atas kepala korban, sebagai tanda bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri,[13] atau orang itu bersaksi bahwa lembu itu adalah miliknya sendiri, bahkan korban yang akan dibakarnya secara utuh dipersembahkan atas namanya sendiri dan dialah yang akan mendapatkan keuntungan dari persembahan itu.[14] Sementara meletakkan tangannya di atas kepala korban itu, kemungkinan orang tersebut mengucapkan permohonan berupa doa yang mengungkapkan tujuan persembahan itu. Memang hal ini tidak disebutkan dalam teks, tetapi karena upacara hari raya pendamaian menekankan pengakuan (16:21), maka sangat mungkin kalau hal ini merupakan bagian dari setiap upacara persembahan korban.[15] Selanjutnya orang yang membawa persembahan tersebut menyembelih korbannya itu di hadapan TUHAN, dan imam-imam harus mempersembahkan darah lembu itu dan menyiramkannya pada sekeliling mezbah yang di depan pintu kema pertemuan. Dalam segala peraturan mengenai korban, darah sangat ditekankan. Kenapa darah menjadi penekanan, karena darah dianggap sebagai nyawa dari binatang yang dikorbankan yang harus dikembalikan kepada pemiliknya yaitu TUHAN. Hanya TUHAN-lah yang empunya nyawa dan kepada-Nyalah dikembalikan. Menurut pemahaman di zaman dahulu bahwa daya hidup terkandung di dalam darah. Dengan mempersembahkan darah binatang kepada TUHAN, maka umat Israel mengakui Allah sebagai sumber hidup dan satu-satunya yang berkuasa atas hidup. Melalui darah, orang menghubungi sumber hidup, dan kalau perlu memulihkan hubungannya dengan sumber hidup yaitu Allah Oleh karena itu orang yang mempersembahkan korban kadang-kadang diperciki darah sebagai tanda bahwa orang tersebut menerima kembali daya hidup dari sumbernya,yakni Allah.[16] Selanjutnya orang yang mempersembahkan korban itu menguliti dan memotong-motong korban itu sesuai dengan bagian-bagian tertentu, lalu imam meletakkannya di atas kayu api yang menyala sebagai persembahan yang menyenangkanbagi TUHAN. Yang dipersembahkan ialah lemaknya,kaki dan betisnya serta kepala da nisi perutnya. Sedangkan dagingnya adalah bagian dari imam, bahkan kadang kala juga dimakan secara bersama oleh orang yang mengadakan persembahan korban.
(ayat 10-13)
Pada bagian ini adalah sama dengan ayat 3-9, perbedaannya hanya pada korban persembahan, yaitu kalau pada ayat 3-9 merupakan korban persembahan dari ternak besar (lembu atau sapi),maka dalam ayat 10-13 ini adalah dari ternak yang lebih kecil (domba atau kambing).Prosesnya sama dari ayat 3-9, dan penekannya juga sama yaitu pada darah dan lemak korban yang dipersembahkan oleh imam. Namun dalambagian ini disebutkan tentang arah tempat meletakkan korban bakaran itu, yaitu di sebelah utara. Penentuan arah ini hanya merupakan pembagian tempat dalam mempersembahkan korban dari ternak yang lebih besar.[17] Pengelompokan ini tentu sudah diperhitungkan bahwa semakin besar korban persembahan yang dipersembahkan, semakin memerlukan tempat yang agak luas supaya orang yang mempersembahkan korban bebas bergerak.
(ayat 14-17)
Dalam bagian ini dijelaskan tentang persembahan bagi orang-orang yangkurang mampu, yaitu bisa mempersembahkan burung, yakni burung tekukur atau burung merpati. Di sini terlihat dengan jelas bahwa TUHAN itu penuh dengan kebijaksanaan,sehingga mengenai persembahan korabn juga dapat dilakukan sebagaimana kemampuan masing-masing orang.
Dari uraian tafsiran di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa persembahan korabn itu adalah kesadaran sendiri dari orang yang mau mempersembahkan korban. Kesadaran itu mendorong dia untuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan dalam bentuk persembahan korban. Kemudian TUHAN menetapkan suatu aturan yang harus dilakukan ketika mempersembahkan korban agar dapat berjalan dengan teratur. Adapun penekanan pentingnya darah korban adalah karena darah diyakini sebagai nyawa dari korban yang dipersembahkan. Darah dianggap sebagai kehidupan. Oleh karena itu denganmenumpahkan darah korban berarti membunuh korban tersebut, dan hanya TUHAN yang layak menerima darah korban itu karena Dialah yang empunya nyawa.Orang yang mempersembahkan korban, secar aktif terlibat dalam persembahan yang dilakukan. Imam hanyalah sebagai pengantara,yang berperan di dalamnya adalah orang yang mempersembahkan korban. Oleh karena itu dia sendirilah yang menyembelih dan memotong-motong korban persembahannya. Korban yang dipersembahkan disesuaikan dengan kemampuan orang yang mempersembahkan korban, yaitu bisa dari lembu, sapi, domba, kambing bahkan dari burung. Korban yang dipersembahkan ini dibakar oleh imam di atas api dan menjadi korban bakaran yang baunya menyenangkan bagi TUHAN. Makna dari persembahan korban ini adalah bahwa melalui persembahan korban,orang yang mempersembahkan korban itu mendapatkan pengampunan atas kesalahan dan pendamaian.
2.      Perjanjian Baru
Dari Perjanjian Baru saya akan mengangkat dan mengkaji dari Ibrani 10:1-10 yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang penggenapan persembahan korban dalam pengorbanan Yesus Kristus. Sebenarnya Ibrani 10:1-10 ini masih satu kesatuan dengan ayat selanjutnya yaitu ayat 11-18. Tetapi saya hanya mengambil dari ayat 1-10, karena dalam bagian ini saya piker sudah termuat inti penyampaiannya tentang penggenapan persembahan korban dalam diri Yesus Kristus.
a.       Latar belakang
Dalam latar belakang umum ini sya akan menjelaskan secara umum tentang tema surat, penulis, tahun penulisan, tempat penulisan dan situasi jemat penerima surat.
b.      Tema surat Ibrani
Tema pokok surat Ibrani ialah “Agar orang percaya maju kepada perkembangan yang penuh”(6:1).[18] Dari tema ini tercermin suatu isi yang berupa nasehat dalam rangka menguatkan iman jemaat penerimanya.
c.       Penulis
Sampai saat ini belum ada kepastian secara jelas tentang siapa penulisnya, karena dalam surat Ibrani sendiri tidak dicantumkan mengenai penulisnya. Namun ada beberapa pendapat yang dikembangkan oleh beberapa ahli mengenai penulis. Dalam aliran Alexandria pada abad kedua sesudah Masehi, terdapat dua pendapat tentang penuis surat Ibrani. Pendapat yang pertama ialah menerima sepenuhnya Paulus sebagai penulisnya, dan pendapat ke dua ialah bahwa pokok pikiran surat Ibrani memang berasal dari Paulus, tetapi penulisnya bukan Paulus.[19]
Di kalangan gereja-gereja Roma dan gereja-gereja Barat, pada umumnya tidak menerima pendapat kalau Paulus yangmenulis surat, tetapi mereka juga tidak mengusulkan siapa yang menulis. Nanti setelah Jerome Hieronymus (347-420 M) menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Latin dan menerima Paulus sebagai penulisnya, barulah gereja-gereja di Barat menerima Paulus sebagai penulisnya.[20]
Menyadari bahwa tujuan karya ilmiah ini bukan untuk meneliti secara lebih mendalam tentang surat Ibrani, maka tidak apalah kalau diterima bahwa Paulus yang menulis surat ini, dengan alasan bahwa tulisan dalam surat ini mempunyai kesamaan dengan tulisan-tulisan Paulus yang lain (gal.2:18 dengan Ibrani 8:13; Gal.4:20 dengan Ibrani 13:19). Dengan demikian apabila diterima bahwa Paulus adalah penulisnya maka tanggal penulisannya dapat ditentukan yaitu tahun 64-68 M, karena pada waktu itu terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh Kaisar Romawi terhadap gereja Kristen.[21] Dan tempat penulisannya adalah di penjara kota Roma. Mengenai tempat penulisan ini, secara jelas disebutkan dalam pasal 13:19, bahwa penulis sementara menanti-nantikan kebebasan untuk kembali kepada jemaatnya. Ini menandakan bahwa penulis sementara ditahan. Selanjutnya tentang kota Roma sebagai tempat penulisan, dapat dilihat dalam pasal 13:24b, yakni penulis menyampaikan salam dari saudara-saudara yang ada di Italia. Ini menandakan penulis berada di Italia.
d.      Situasi jemaat penerima
Sama seperti nama penulisnya tidak dijelaskan dalam surat Ibrani, maka demikian juga jemaat yang ditujui surat ini tidak jelas. Namun sesuai judulnya yang ditujukan kepada orang Ibrani memberikan sedikit titik terang bahwa tujuan surat ini ialah untuk sekelompok orang-orang Kristen keturunan Yahudi. Mereka ini tetap setia pada tradisi dan kebuayaan yahudi.[22]Mereka adalah sekelompok orang Kristen yang sudah lama menjadi Kristen. Mereka termasuk angkatan umat Kristen kedua (2:3; 10:32). Mereka sekarang sedang mengalami penganiayaan (13:3). Dan karena terus-menerus mengalami tekanan, mungkin akan murtad dari kepercayaan mereka kiepada Kristus. Penulis surat ini berusaha mendorong mereka supaya tetap percaya, dengan kata lain penulis berusaha untuk menguatkan iman jemaatnya. Untuk itu ia menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah penyataan Allah yang sempurna. Secara khusus diuraikan dalamperikot ini (10:1-10), yesus memberikan kepada manusia keselamatan sejati yang tidak dapat diberikan oleh upacara-upacara persembahan kurban dan upacara-upacara lainnya di dalam agama Yahudi. Upacara-upacara itu hanya dapat memberikan gambaran dari keselamatan sejati itu, lain dari itu tidak.
e.       Pembagian pokok pikiran
10:1-4              Persembahan korban dalam hokum Taurat hanya bayangan saja dari keselamatan, dan tidak bisa menghapus dosa.
10:5-10            Penggenapan persembahan korban melalui pengorbanan Yesus Kristus.

f.       Uraian tafsiran
(ayat 1-4)
Dalam bagian ini terdapat semacam penjelasan tntang fungsi hokum Taurat, lebih khusus lagi tentang fungsi persembahan korban dalam Perjanjian Lama. Dikatakan dalam ayat 1 bahwa “Hukum Taurat hanyalah bayangan dari keselamatan yang akan datang….” Fungsi Hukum Taurat diandaikan sebagai cermin, yang didalamnya terdapat suatu bayangan,artinya sebagai pendamping, wakil, atau symbol dari wujud yang sebenarnya.[23] Jadi ada wujud yang asli da nada bayangan.
Peraturan persembahan dari Perjanjian Lama hanyalah bayangan dari keselamatan itu, berarti bahwa keselamatan itu belum nyata. Namun bukan berarti aturan-aturan dalam Perjanjian Lama itu tidak penting. Justru dari situ keselamatan itu diperkenalkan, sehingga orang bisa mengenalnya. Oleh karena itu tidak bisa dianggap tidak penting.
Persembahan korban dalam hokum Taurat menyadarkan orang tentang dosanya, membuat orang yang berdosa menyadari dan bertobat atas dosa-dosanya yang dilakukan sekali dalam satu tahun.[24] Karena adanya kesadaran itu maka setiap orang mempersembahkan korban sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah. Namun korban yang dipersembahkan itu tidak mampu untuk membuat orang berdosa bebas dari dosanya, hanya berfungsi untuk menyadarkanorang dari dosa-dosanya. Dengan mempersembahkan korban maka orang diingatkan akan dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Ketika seseorang mempersembahkan korban dan mengingat dosa-dosanya, maka orang tersebut akan mncari jalan bagaimana agar dosa-dosa itu bisa diampuni. Setiap orang akan mencari jalan keselamatan untuk pengampunan dosanya. Namun melalui darah korban, tidak mungkin diharapkan untuk menghapuskan dosa, tetapi tetap dipersembahkan dalam rangka menantikan datangnya Anak Domba Allah, yang akan mempersembahkan tubuh-Nya sekali untuk selama-lamanya untuk pendamaian dengan Allah.
(ayat 5-10)
Dalam bagian ini dijelaskan tetang tujuan kedatangan Kristus ke dalam dunia ini, yaitu untuk menyerahkan tubuh-Nya sebagai korban untuk pengampunan dosa. Kebanyakan penafsir Alkitab memberi penjelasan bahwa inkarnasi Kristus adlaah untuk menggantikan orang berdosa menerima penghakiman Allah yang adil.[25] Dia menyerahkan tubuhnya menjadi korban untuk pendamaian antara Allah dengan Manusia. Ungkapan “korban dan persembahan tidak engkau kehendaki…” mengandung makna bahwa yang lebih utama harus dilakukan oleh umat Allah ialah melakukan kehendak Allah, bukan sebaliknya mengutamakan persembahan korban, tetapi mengabaikan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh Allah. Hal ini jugalah yang ditentang oleh nabi-nabi dalam Perjanjian Lama, misalnya dalam Amos 4:4-5, terdapat suatu ucapan keras dari nabi Amos yang menentangsegala bentuk ibadah serta persembahan korban yang dilakukan oleh orang Israel, karena mereka hanya rajin beribadah dan mempersembahkan korban tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka memutarbalikkan keadilan. Oleh karena itu ibadah mereka disebut sebagai ibadah yang jahat. Yang lebih dikehendaki Allah ialah melakukan kehendaknya. Hal inilah yang dilakukan oleh Yesus, yaitu mempersembahkan tubuhNya untuk melakukan kehendak Allah bagi umat manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apa yang masih merupakan bayangan dalam Perjanjian Lama kini telah nyata dalam diri Yesus Kristus, melalui pengorbanan-Nya. Dengan pengorbanan Yesus Kristus maka genaplah seluruh korban yang dilakukan dalam Perjanjian Lama oleh umat Allah.
3.      Kesimpulan Tafsiran
Dari uraian tafsiran di atas, baik dari Perjanjian Lama maupun dari Perjanjian Baru dpat disimpulkan bahwa pada dasarnya kehidupan umat Allah senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui persembahan korban. Persembahan korban adalah suatu ungkapan iman dari setiap umat yang percaya kepada Allah. Ini adalah suatu upaya manusia untukmerendahkan diri dihadapan Allah dengan jalan mempersembahkan sesuatu kepada-Nya.
Korban persembahan yang dilakukan oleh umat Allah pada zaman Perjanjian lama bukan berarti tidak mempunyai makna sebagai ungkapan penyembahan, justru dari situ manusia bisa menyadari akan keberadaannya di hadapan Tuhan. Korban persembahan dalam Perjanjian Lama kini telah ditarik maknanya dan digenapi oleh Yesus melalui pengorbanan-Nya. Jadi hal yang masih merupakan bayangan dalam Perjanjian Lama itu, kini telah menjadi nyata dan telah genap melalui tubuh Yesus Kristus. Jadi untuk apa labi mempersembahkan korban persembahan, karena semuanya itu telah digenapi oleh Yesus Kristus.
4.      Gagasan Teologis
Dari Tafsiran di atas, baik dari Perjanjian Lama (Imamat 1:1-17) maupun dari Perjanjian BAru (Ibrani 10:1-10), ditemukan beberapa gagasan teologis, yaitu:
-          Allah menetapkan aturan korban persembahan
-          Hal mempersembahkan korban adalah merupakan kesadaran pribadi dari setiap orang dalam rangka menghayati hubungannya dengan TUHAN.
-          Makna dari persembahan korban adalah sebagai ungkapan syukur, juga bermakna pendamaian dan pengampunan dosa.
-          Darah dianggap sebagai nyawa, dank arena itu darah hanya dikembalikan kepada Allah yang empunya nyawa.
-          Persembahan korban dalam Perjanjian lama adalah merupakan bayangan dari keselamatan yang akan datang.
-          Melalui Tubuh Kristus yang dikorbankan, menjadi kegenapan seluruh korban yang dilakukan dalam Perjanjian lama, Pengorbanan Yesus Kristus itu adalah sekali untuk selama-lamanya.
Demikianlah kesaksian Alkitab tentang korban dalam Perjanjian dalam dan Perjanjian Baru. Untuk bab berikutnya (Bab IV) akan dilanjutkan dengan refleksi teologis, yang bertujuan menghubungkan antara korban dalam upacara pembangunan rumah dengan korban menurut kesaksian Alkitb, dan makna korban bagi gereja dalam rangka berteologi kontekstual.




BAB IV
MAKNA KORBAN BAGI
GEREJA TORAJA MAMASA DALAM BERTEOLOGI
Unsur yang menonjol dalam upacara pembangunan rumah ialah persembahan korban. Persembahan korban harus ada dalam upacara pembangunan rumah. Kalau persembahan korban tidak ada, maka upacara tersebut tidak mempunyai makna apa-apa.
Dari hasil penelitian yang diuraikan dalam BAB II terungkap makna dari persembahan korban yang dilakukan, yaitu suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada yang kuasa. Melalui korban yang dipersembahkan ini,manusia menyadari keterhubungannya dengan yang kuasa.
Makna dari setiap korban (darah korban) yang dipersembahkan secara langsung termuat dalam setiap doa yang disampaikan sebelum menyembelih korban tersebut. Misalnya korban sebelum meratakan lokasi pembangunan rumah, makna korban di situ adalah sebagai penebusan atas tanah yang akan diratakan untuk pembangunan rumah, sekaligus pendamaian antara orang yang akan membangun rumah dengan tanah yang akan ditempati membangun rumah, agar orang yang akan menempati rumah tersebut selalu keberkatan tinggal di situ. Jadi walaupun orang sudah membeli dari orang lain tanah itu, tetapi orang yang akan menempati tanah itu harus melakukan penebusan khusus kepada yang menguasai tanah itu (alataala), dan harus ada pendamaian antara tanah dan orang yang akan mnempati tanah itu. Jika tidak dilakukan penebusan dan pendamaian atas tanah itu, maka ornag yang akan menempati tanah itu tidak akan merasa nyaman dan tidak akan berhasil segala usaha yang dilakukan.
Makna korban (ayam) dalam unsur upacara “meehangang” adalah untuk meminta penyertaan dan keselamatan atas orang yang akan pergi ke hutan untuk menebang kayu. Mereka menyadari bahwa penyertaan dan keselamatan itu hanya bersumber dari alataala (to meolaang) selaku penyerta, dan oleh karena itu maka hanya kepadanyalah memohon penyertaan dan keselamatan. Menurut keyakinan masyarakat Saluleang, bahwa penyertaan keselamatan dari alataala itu dapat langsung dilihat dalam darah korban yang disembelih. Apabila darah korban itu bergelembung-gelembung kecil maka itu pertanda dewa penyerta merestui rencana yang akan dilakukan tersebut.
Makna korban dalam unsur upacara “mampake’de’” adalah untuk meminta dewa memberi kekuatan terhadap bangunan itu. Darah korban persembahan itu digosokkan pada ramuan-ramuan bangunan sebagai tanda bahwa kekuatan rumah tersebut telah dimohonkan kepada alataala melalui persembahan korban.
Makna korban dalam unsur upacara “mendai’” adalah selain sebagai ungkapan syukur atas penyertaan alataala selama proses pembangunan berlangsung, juga meminta berkat dan keselamatan dari alataala untuk penghuni rumah tersebut agar senantiasa keberkatan tinggal di rumah itu, serta segala usaha yang dilakukan selalu berhasil dan akan selalu merasakan kesehatan dan keselamatan selama menghuni rumah itu.
Jadi, korban dalam upacara pembangunan rumah menjadi unsur yang penting yang mempunyai makna: menebus/mendamaikan, meminta penyertaan dan keselamatan, meminta kekuatan dan meminta berkat serta keselamatan.
Setelah menggali makna yang terkandung dalam korban, maka dilanjutkan dengan apa kata Alkitab tentang korban. Sesuai kesaksian Alkitab yang diambil dari Imamat 1:1-17 dan Ibrani 10:1-10 terungkap bahwa korban persembahan adalah sesuatu yang dibawa dekat kepada TUHAN. Apa yang dibawa dekat itu adalah yang terbaik. Hal mempersembahkan korban adalah merupakan kesadaran dari orang yang mau mempersembahakan korban syukur, bukanlah suatu kewajiban. Hal ini adalah suatu ungkapan iman dari setiap orang yang menyadari adanya kekuasaan TUHAN. Persembahan korban dalam Perjanjian Lama mempunyai makna pendekatan diri atau menyerahkan diri kepada TUHAN, karena menyadari adanya kesalahan-kesalahan yang dilanggar. Pendekatan diri ini disimbolkan dalam bentuk penyembelihan korban. Selanjutnya makna penyerahan diri dalam bentuk persembahan korban ini adalah merupakan bayangan saja dari keselamatan yang akan datang itu. Persembahan korban kini telah digenapi dengan persembahan yang dilakukan oleh Tuhan yesus Kristus. Dia menyerahkan dirinya sebagai pengganti korban-korban yang dilakukan dalam Perjanjian Lama. Menurut kesaksian surat ibrani bahwa apa yang dilakukan dalam Perjanjian Lama. Menurut kesaksian surat Ibrani bahwa apa yang dilakukan dalam Perjanjian Lama itu hanyalah merupakan bayangan dari keselamatan yang akan datang.
Saat ini jemaat Tuhan sudah tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk mempersembahkan korban bakaran, tetapi bukan berarti makna korban persembahan dalam Perjanjian Lama itu juga dihilangkan sama sekali,. Justru makna korban dalam Perjanjian Lama itu ditarik dan digenapi dalam pengorbanan Tuhan Yesus sebagai Anak Domba Allah. Kini persembahan yang dilakukan bukan lagi persembahan korban, tetapi adalah persembahan tubuh. Pengampunan dosa dan pendamaian tidak bisa didapat dari mempersembahkan korban, tetapi itu adalah anugerah Tuhan melalui pengorabanan Tuhan Yesus Kristus.
Maksud skripsi ini bukan mau mengajak kepada jemaat untuk secara terus-menerus mempraktekkan upacara-upacara dalam pembangunan rumah, lebih khusus tentang korban-korban persembahan yang ada di dalamnya, tetapi mau mengambil makna dari persembahan korban itu. Karena persembahan korban itu mempunyai makna mendidik umat dalam rangka mempersembahkan diri sebagai persembahan yang benar (Rom. 12:1). Hal ini dilakukan dalam rangka berteologi kontekstual. Namun dalam menggunakan unsur-unsur kebudayaan seperti korban untuk berteologi kontekstual, bukan berarti unsur kebudayaan itu digunakan secara langsung tanpa adanya keselektifan dari pihak gereja untuk menyeleksi mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, atau dengan kata lain mana yang mengandung unsur positif dan mana yang mengandung unsur negatif. Dalam hal ini gereja sebaiknya pintar-pintar dalam menggunakan unsur-unsur tersebut. Dalam pengertian bahwa di samping gereja menggunakan unsur kebudayaan dalam berteologi, gereja sekaligus mengkritisi unsur kebudayaan tersebut, artinya jika ada yang keliru maka diluruskan.
Misalnya tentang persembahan korban, yang mau dilakukan oleh gereja ialah mengambil makna dari persembahan korban ini sebagai suatu pengungkapan iman atau suatu ungkapan syukur, suatu kesadaran akan adanya Kuasa Tertinggi, yang diikuti dengan suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Kuasa Tertinggi itu, melalui persembahan korban. Hal semacam ini adalah hal yang tumbuh dalam masyarakat itu sendiri,bukan didatangkan dari luar. Dengan mengambil makna dari persembahan korban itu, maka penekanan bukan lagi pada darah korban, tatapi adalah merupakan ungkapan syukur atau ungkapan iman. Korban yang diberikan bukan semata-mata untuk mengharapkan sesuatu di balik korban itu, tetapi lebih pada mensyukuri apa yang telah terjadi. Dengan demikian makna korban itu adalah betul-betul sebagai penyerahan diri, yang dilambangkan dalam pemberian sesuatu kepada yang Kuasa.
Sebagaimana saya katakana dalam pendahuluan bahwa banyak orang ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain, tetapi tidak terlebih dahulu memperhitungkan bagaimana supaya orang lain dapat mengerti apa yang akan disampaikan itu. Demikian jugalah yang terjadi dalam Gereja-gereja sampai saat ini, lebih khusus Gereja Toraja Mamasa, yang kebanyakan umatnya dulunya memeluk keyakinan Agama Suku. Mereka berupaya membangun iman jemaat dengan jalan menyampaikan berita Injil, tetapi kelihatannya pemberitaan itu tidak bisa berakar dalam masyarakat. Salah satu penyebabnya ialah karena pemberitaan gereja itu terasing dari konteks diamana dia berada, artinya, Gereja tidak mempergunakan unsur-unsur kebudayaan dalam rangka menyampaikan berita Injil. Mala sebaliknya gereja tidak mau peduli terhadap unsur kebudayaan yang ada. Gereja memandang bahwa unsur-unsur kebudayaan itu bertentangan dengan Injil, bahkan dianggap sebagai praktek “kekafiran” sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sarana untuk pemberitaan Injil. Hal ini memang harus disadari, sebagaimana yang dikatakan oleh Soetarman Soediman Partinadi bahwa “Gereja-gereja di Asia, termasuk juga gereja di Indonesia belum cukup berakar dalam konteks.”[1] Artinya, gereja-gereja di Indonesia masih terpola dari teologi tradisional yang cenderung memandang negatif terhadap kebudayaan-kebudayaan yang ada, sehingga membuat dia terasing dari tempat dimana dia berada. Hal yang sama juga dialami gereja-gereja di Afrika, bahwa peranan para penginjil dan para misionaris yang datang untuk membawa kabar keselamatan di Afrika, sering dirasakan asing sekali oleh orang-orang Afrika karena kebanyakan diantara penginjil yang datang, memberitakan Injil tetapi tidak mengindahkan kebudayaan dan latar belakang keagamaan orang-orang Afrika itu sendiri.[2]
Apabila Gereja itu terasing dari tempat dimana dia berada, maka tentu tidak akan berfungsi, karena seperti yang dikatakan oleh Eka Darmaputra, bahwa teologi hanya dapat berfungsi apabila dia benar-benar kontekstual.[3] Jadi apabila Gereja atau teologi gereja itu tidak kontekstual, dalam arti bahwa gereja itu tidak mau menggunakan unsur-unsur yang ada dalam setiap kebudayaan, maka apa yang disampaikan itu tidak akan dimengerti oleh masyarakat/jemaat dimana gereja itu berada dan berkarya. Dan oleh karena Jemaat tidak mengerti dan tidak memahami pemberitaan gereja itu, maka kepercayaan lama itu tetap dipegang karena dianggap lebih menyentuh kehidupan dan lebih dimengerti dan difahami. Hanya gereja yang menjadi bagian dari konteks yang dapat berbicara dari dalam situasi konkrit dan dapat menjawab kebutuhan jemaat di mana dia berada.
Jadi, agar Gereja dalam pewartaannya dapat dimengerti oleh jemaatnya, maka hendaknya menggunakan unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam konteks di mana gereja itu berada. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Leslie Newbibin:[4]
Supaya Injil dipahami dan diterima sebagai suatu yang mengkomunikasikan kebenaran tentang situasi manusia yang nyata, dan supaya dia adalah seperti yang kita katakan “masuk akal”, maka dia harus dikomunikasikan dari Bahasa orang-orang itu kepada mereka Injil dialamatkan dan dibungkus dalam simbol-simbol yang mempunyai arti bagi mereka.

Maksud dari pernyataan Lesslie ini ialah suatu upaya berteologi kontekstual. Gereja dalam mewartakan Injil hendaknya berupaya untuk sedapat mungkin menggunakan unsur-unsur kebudayaan yang ada, dengan kata lain menggunakan Bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat yang ada. Bahasa yang dimaksud di sini, bukan hanya terbatas pada kata-kata, tetapi juga symbol-simbol dan kelakuan-kelakuan dalam suatu konteks. Injil yang diberitakan itu hendaknya dibungkus dengan simbol-simbol yang bermakna dalam suatu konteks tertentu.
Memang ada masalah yang dihadapi dalam usaha seperti ini, yakni adanya ancaman “sinkretisme”. Hal ini merupakan tantangan yang paling umum dalam rangka mencari titik temu antara Injil dan Kebudayaan.[5] Namun tujuan saya dalam skripsi ini ialah bukan bermaksud mau menggabungkan antara kepercayaan dalam Agama Suku dengan Iman Kristen. Bukan itu tujuan saya, tetapi yang  saya mau lakukan ialah menggunakan unsur-unsur dalam kebudayaan itu sebagai “wahana” untuk memberitakan sekaligus mengakarkan Injil dalam konteks tertentu. Oleh karena itu tidak ada sama sekali unsur sinkretisme di dalamnya.
Dalam menggunakan unsur-unsur kebudayaan dalam mewartakan Injil, maka Injil yang diwartakan itu akan mudah dimengerti oleh jemaat penerima dan akan mengakar dalam kehidupan dan penghayatan mereka, sehingga Injil yesus Kristus sebagai Kabar Baik akan dihayati dalam setiap konteks.
Dengan demikian, sama seperti yang dikatakan oleh Coralie F.Joice,[6] “Kita boleh katakana kepada masyarakat yang masih dipengaruhi keyakinan Agama Suku: Apa yang kalian cari melalui persembahan korban berdarah, itulah yang kami beritakan kepada kalian, yaitu yesus Kristus Anak Domba Allah, telah menjadi korban yang menebus manusia dari segala dosa. Melalui darahnya yang telah dicurahkan terciptalah pendamaian antara Allah dan Manusia.”

PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesaksian Alkitab, dapat disimpulkan bahwa “korban” adalah merupakan suatu pengungkapan iman terhadap Kuasa Tertinggi (Tuhan) yang bermakna untuk penebusan, penguatan dan penyelamatan. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada yang Kuasa. Melalui korban yang dipersembahakan ini, manusia menyadari keterhubungannya dengan yang kuasa. Pengungkapan iman melalui korban ini dilakukan juga oleh umat Allah pada masa lampau dan telah digenapi oleh pengorbanan Yesus Kristus. Oleh karena itu “persembahan korban itu mempunyai makna penyembahan dan mempunyai landasan Alkitabiah, sehingga dapat dijadikan sebagai sarana untuk berteologi kontekstual.
B.     SARAN
Olah karena “korban” dalam pembangunan rumah mempunyai makna spiritual sebagai pengungkapan iman dan mempunyai landasan Alkitabiah, maka hendaknya gereja memakainya dalam rangka berteologi kontekstual, dengan jalan menggunakan makna korban itu untuk memberitakan makna pengorbanan Tuhan Yesus Kristus. Sehingga makna pengorbanan Yesus Kristus itu dapat dipahami dan dihayati dalam setiap konteks diman Injil itu diberitakan. Dengan memahami makna korban dan penggenapannya di dalam pengorbanan Yesus Kristus, maka penekanan dalam upacara pembangunan rumah yang dulunya ditekankan pada penyembelihan ternak sebagai persembahan korban, kini ditekankan pada penyerahan diri melalui doa.