KORBAN DALAM UPACARA PEMBANGUNAN RUMAH
DI DESA SALULEANG, KECAMATAN TABULAHAN, KABUPATEN
MAMASA, PROVINSI SULAWESI BARAT
DITINJAU DARI IMAN KRISTEN
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
UNTUK MEMENUHI
SEBAGIAN DARI PERSYARATAN
GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA TEOLOGI
OLEH
APOLOS AHPA
NPM/NIM: 9891034039/98110001
NOVERMBER 2003
KATA PENGANTAR
Karya tulis dalam bentuk skripsi yang
dipersembahkan ini, adalah suatu pekerjaan yang diupayakan semaksimal mungkin
untuk menyelesaikan studi dalam program sarjana Teologi pada FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON.
Namun saya menyadari bahwa walaupun ada
upaya untuk menulis skripsi ini tetapi kalau tidak disertai dengan ungkapan
syukur kepada TUHAN sumber kekuatan kesehatan dan hikmat, maka apa yang
dilakukan itu akan sia-sia. Oleh karena itu dengan rendah hadi saya
mempersembahkan ungkapan syukur kepada Tuhan yang memberi semuanya itu.
Demikian juga saya patut mengucap terima
kasih kepada semua pihak yang membantu baik selama studi di fakultas teologi
maupun dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
-
Papa dan Mama yang telah melahirkan dan
membesarkan saya, serta kakak-kakak yang memberi motivasi selama saya studi
-
Kel. Robin & Delwyn Mckenzie yang
telah membiayai selama saya studi dan memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran
-
Pdt.W.Langi,M.Th. selaku dosen pembimbing
yang dengan tulus dan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan saya selama
penulisan skripsi ini.
-
Pdt.Ny.J.P.Pinontoan-Setlight,M.Th.
selaku dosen penasehat akademik yang penuh perhatian untuk mengarahkan saya
dalam studi
-
Bpk. Pdt.Yusuf Arta bersama keluarga
yang belah memberikan masukan-masukan pemikiran selama saya mengadakan
penulisan
-
Masyarakat desa Saluleang yang turut
terlibat selama saya mengadakan penelitian
-
Kel.Kumaat-Tangkudung yang sudah
memberikan rumahnya sebagai tempat “kost” selama saya studi
-
Anti’ yang selalu memotivasi saya
-
Teman-teman angkatan ’98 atas
kebersamaannya.
-
Sahabat-sahyabatku: Kernov, Youdi,
Stenly, Buds, Dikson, Aldi, yudi, Kenli, Aten, Hendra, Joris, Netanel, Feliks
(Almarhum), Beto, Niku’, Verni dan Meis, Yahya, Andi dan David.
Akhirnya saya mengharapkan kiranya
skripsi ini dapat berguna bagi jemaat dan masyarakat.
Tomohon, 7 Novermber 2003
Apolos Ahpa
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
LEMBARAN
PEMBIMBINGAN
LEMBARAN
PENGESAHAN
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG PEMIKIRAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL
- IDENTIFIKASI, PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1.
Identifikasi Masalah
2.
Pembatasan Penelitian
3.
Perumusan masalah
- TUJUAN PENULISAN
- MANFAAT PENULISAN
- METODOLOGI
- SISTEMATIKA PENULISAN
BAB
I MENGENAL LOKASI PENELITIAN
- LETAK GEOGRAFIS
- KEADAAN GEOLOGIS
- KEADAAN PENDUDUK
- TINJAUAN HISTORIS
- SISTEM KEPERCAYAAN
1.
To Metampa
2.
To Memana’
3.
To Meolaang
BAB
II PROSES PEMBANGUNAN RUMAH
- KONSTRUKSI RUMAH
1.
Landasan Tiang
2.
Balok Melintang
3.
Tian
4.
Tangga
5.
Pintu
6.
Lantai
7.
Dinding
8.
Jendela
9.
Atap
- UPACARA PEMBANGUNAN RUMAH
1.
Manghuyong
2.
Meehangang
3.
Mampake’de’
4.
Mendai’
- ANALISIS DATA
1.
Dalam Memulai Setiap Aktifitas Selalu
Berpatokan Pada Bulan
2.
Darah Korban Sangat Berperan Dalam
Upacara-Upacara
3.
Penyebutan Alataala Dalam setiap
Mengahiri Doa
BAB
III KESAKSIAN ALKITAB TENTANG KORBAN PERSEMBAHAN
- PENGERTIAN ISTILAH
- KESAKSIAN ALKITAB
1.
Perjanjian Lama
a.
Latar belakang umum
b.
Latar belakang khusus
c.
Pembagian pokok pikiran
d.
Uraian tafsiran
2.
Perjanjian Baru
a.
Latar belakang
b.
Tema surat Ibrani
c.
Penulis
d.
Situasi jemaat penerima
e.
Pembagian pokok pikiran
f.
Uraian tafsiran
3.
Kesimpulan Tafsiran
4.
Gagasan Teologis
BAB
IV MAKNA KORBAN BAGI GEREJA TORAJA MAMASA DALAM BERTEOLOGI
PENUTUP
- KESIMPULAN
- SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG PEMIKIRAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Ketika manusia mulai
berpikir-pikir dan menyadari akan adanya kuasa yang lebih tinggi dan yang
menguasai jagat raya ini, ketika itulah manusia mulai berteologi. Akan tetapi
manusia bukan cuma berpikir-pikir tentang adanya kuasa tertinggi itu. Ia juga
kemudian melanjutkannya dengan berbicara-bicara, yang kemudian bertindak sesuai
apa yang dipikir-pikirkan dan dibicara-bicarakan itu. Oleh karena itu, pada
dasarnya setiap orang adalah teolog, tetapi tidak semua bisa berteologi
kontekstual. Ada begitu banya orang yang mau menjelaskan tentang sesuatu kepada
orang lain, tetapi tidak terlebih dahulu memperhitungkan bagaimana cara
menjelaskan supaya orang lain yang akan mendengarkan itu bisa mengerti.
Sehubungan dengan ini, maka Eka Darmaputra mengatakan:[1]
“Teologi
kontekstual adalah teologi itu sendiri, artinya teologi hanya dapat dikatakan
teologi apabila dia benar-benar kontekstual. Mengapa demikian? Oleh karena pada
hakekatnya teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan
secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara teks dengan konteks, antara
kerygma yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan
penghayatan iman Kristiani pada konteks ruang dan waktu yang tertentu.”
Dalam konteks ruang dan
waktu inilah manusia hidup dan melakukan aktifitas. Dan aktifitas manusia dalam
kehidupannya ini biasa disebut dengan budaha.
Jadi, manusia pada
hakekatnya adalah mahluk berbudaya, dan sebagai mahluk yang berbudaya perlu berinteraksi
dengan kebudayaan dimana dia tinggal. Berbicara tentang kebudayaan, berarti
berbicara tentang masyarakat di mana gereja berada di dalamnya. Itu berarti
gereja sebagai persekutuan orang-orang percara kepada Yesus Kristus, berhadapan
dengan realitas komunitas manusia yang memiliki berbagai kebudayaan seperti:
lagu-lagu, mite-mite, tarian-tarian dan upacara-upacara adat yang berhubungan
langsung dengan kehidupan manusia itu sendiri.[2]
Dalam hubungan dengan
ini, gereja diperhadapkan dengan pergumulan Rangkap,[3]
yaitu pada satu pihak gereja bergumul dengan Tuhannya dalam arti menghayati
kebenarandan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, dan di pihak lain Gereja
sekaligus bergumul dengan kebudayaan dan masyarakat di mana gereja berada dan
berkarya. Dengan kata lain bahwa di satu sisi tetap ingin mempertahankan
kemurnian Injil (Iman Kristen), tetapi di sisi lain harus mengakui dan
menyadari perjumpaannya dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada. Dalam keadaan
yang demikian ini, gereja perlu mengambil sikap untuk dapat mempertemukan
antara iman Kristen dan Kebudayaan, dengan jalan menggunakan unsur-unsur
kebudayaan yang ada sebagai alat untuk menyampaikan berita Injil. Tetapi sikap
yang diambil itu sebaiknya dilandasi dengan prinsip bahwa tetap setia pada teks
tetapi relevan pada konteks. Jika sikap yang demikian ini diambil oleh gereja,
maka fungsi gereja itu akan betul-betul nyata dan dihayati dalam setiap konteks
di mana dia berada.
Pada pemikiran yang
demikianlah, maka gereja berusaha menciptakan hubungan yang dialektis antara
Injil dan Kebudayaan-kebudayaan. Usaha ini kemudian dirumuskan dalam suatu
konsep yang dikenal dengan nama usaha Kontektualisasi.[4]
Namun usaha kontekstualisasi ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh
gereja-gereja sampai saat ini, meskipun sudah banyak teolog Asia yang membuka
jalan untuk menghargai atau memandang positif terhadap kebudayaan-kebudayaan.
Tetapi pada kenyataannya, tetap saja gereja memperhankan teologi tradisional,
yakni model teologi yang bertolak dari teori ke praktek, yaitu teologi yang
pertama-tama menggumuli berita Alkitab, kemudian berita itu dipaksakan ke dalam
konteks tertentu, sehingga apabila dalam suatu konteks tertentu ditemui
praktek-praktek atau upacara-upacara yang tidak sesuai dengna berita Alkitab
atau tidak sesuai dengan budaya pemberita, maka itu akan “dicap” sebagai
praktek kekafiran. Inilah yang masih diwarisi gereja-gereja sampai saat ini, sehingga
kadang-kadang gereja bertolak belakang dengan kebudayaan-kebudayaan di mana
gereka itu ada. Jika dihayati lebih mendalam, maka teologi seperti ini tidak
cocok lagi diterapkan di Asia atau yang biasa disebut dengan “Dunia ke tiga”,
lebih khusus di Indonesia,yang diwarnai dengan kebudayaan-kebudayaan. Teologi
yang selayaknya dikembangkan ialah teologi yang berangkat dari praktek ke
teori, yaitu teologi yang pertama-tama menghayati atau bergumul dengan
fenomena-fenomena yang ada dalam suatu konteks, kemudian fenomena-fenomena itu
diterangi dengan berita Alkitab. Oleh karena itu selayaknyalah gereja
menggumuli unsur-unsur kebudayaan di mana dia berada, untuk dijadikan “basis”
berteologi kontekstual, supaya teologi itu bisa berfungsi.
Hal inilah yang
mendorong saya untuk melihat keberadaan Gereja Toraja Mamasa (GTM), dalam
konteks pelayanannya berhadapan dengan berbagai kebudayaan, salah satunya yaitu
upacara-upacara yang dilakukan dalam proses pembangunan rumah, khususnya
tentang “Korban” dalam upacara tersebut. Saya tertarik untuk menggali dan
menganalisis korban dalam upacara ini sebab dibalik korban ini terkandung suatu
makna yang mau mengatakan bahwa segala bentuk usaya yang dilakukanoleh manusia
adalah sia-sia kalau tidak disandarkan kepada kuasa yang maha tinggi (Tuhan)
(band. Mazmur 127:1a). Korban dalam upacara pembangunan rumah ini tetap
dilakukan sampai sekarang meskupun mereka sudah memeluk agama Kristen.
Sebelum kekristenan
masuk ke daerah Toraja Mamasa, maka mereka sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan
dan upacara-upacara keagamaan yang diajarkan secara turun-temurun, dan
baginilah cara mereka untuk menghayati imannya pada konteks, ruang dan waktu
dimana merekia berada.[5]
Dan dalam setiap upacara yang dilakukan itu di dalamnya ada korban. Namun
dengan masuknya kekristenan didaerah ini termasuk juga di Saluleang, pada
tanggal 12 Oktober 1913, melalui Pdt.Kiftembelt yang didatangkan dari Makassar
oleh Gereja Pemerintah Hindia Belanda yang bernama Indische Kerk, maka
pandangan terhadap kebudayaan-kebudayaan, lebih khusus upacara-upacara,
dianggap tidak sesuai dengan Iman Kristen dan harus ditinggalkan karena dianggap
sebagai praktek-praktek kekafiran. Pandangan yang seperti inilah yang tetap
diwarisi oleh Gereja Toraja Mamasa sampai saat ini. Kebanyakan majelis jemaat
berpandangan bahwa upacara-upacara yang didalamnya dilakukan persembahan
korban, sama sekali tidak ada hubungannya dengan iman Kristen. Korban-Korban
yang dipersembahkan dalam upacara-upacara itu adalah ditujukan kepada
dewa-dewa, dan bukan kepada Allah.[6]
Akan tetapi meskipun upacara-upacara ini dianggap bertentangan, yang kemudian
ditolak, digeser dan digusur,[7]
pada kenyataannya tetap subur bahkan berjalan bersama-sama dengan kekristenan,
meskipun tidak lagi diikuti unsur-unsurnya sesuai dengan aslinya, tetapi makna
dari korban dalam upacara-upacara itu tetap dipelihara oleh setiap anggota
Gereja. Ia tetap diakui sebagai suatu upaya pengungkapan iman walaupun gereja
menolak. Selai itu korban dalam upacara-upacara yang dilakukan berfungsi
sebagai santapan bersama bagi masyarakat yang hadir dalam upacara itu. Oleh
karena itu sangat sulit untuk ditiadakan. Ini merupakan masalah bagi pelayanan
Gereja Toraja Mamasa sampai saat ini.
Berdasarkan pada latar
belakang pemikiran yang dijelaskan di atas, maka saya merasa terdorong untuk
mengangkat, mengkaji dan menganalisis korban dalam upacara pembangunan rumah,
yang merupakan cara orang Saluleang untuk mengungkapkan imannya. Skripsi ini
diberi judul: “Korban” dalam Upacara pembangunan Rumah di desa Saluleang,
Kecamatan Mambi, Kabupaten mamasa, provinsi Sul-Sel, ditinjau dari Iman
Kristen.”
B. IDENTIFIKASI,
PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Identifikasi
Masalah
Mengacu pada Latar
Belakang dan alasan pemilihan judul, maka saya mengidentifikasi masalah-masalah
yang ditemui, yakni:
- Gereja sulit menerima korban dalam upacara pembangunan rumah sebagai suatu bentuk pengungkapan iman
- Gereja memandang kebudayaan-kebudayaan terpisah dari Iman Kristen, sehingga korban dalam upacara-upacara itu dianggap praktek kekafiran.
- Korban dalam upacara pembangunan rumah dianggap oleh gereja tidak mempunyai makna penyembahan untuk dipakai dalam rangka berteologi kontekstual.
2. Pembatasan
Penelitian
Dari
permasalahan-permasalahan di atas, maka dalam skripsi ini saya akan membatasi
pada: Korban dalam Upacara pembangunan rumah dianggap oleh gereja tidak
mempunyai makna penyembahan untuk dipakai dalam rangka berteologi kontekstual.
3. Perumusan
masalah
Agar saya lebih mudah
memahami pokok permasalahan dalam skripsi ini, maka sayamerumuskan dalam bentuk
pertanyaan, yaitu: Apa makna korban dalam upacara pembangunan rumah, dan
bagaimana seharusnya gereja memandangnya?
C. TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan skripsi
ini ialah mau mencari tahu apa sebenarnya makna dibalik korban dalam upacara
pembangunan rumah, dan bagaimana seharusnya sikap gereja terhadap
upacara-upacara itu, sehingga nantinya bisa dipakai dalam rangka berteologi
kontekstual.
D. MANFAAT
PENULISAN
Manfaat skripsi ini
ialah untuk mencari tahu apa sebenarnya makna dibalik korban dalam upacara
pembangunan rumah dan bagaimana seharusnya sikap gereja terhadap
upacara-upacara itu. Dari pengkajian makna korban dalam upacara ini yang
kemudian dilanjutkan dengan pengkajian teologi Alkitabiah, diharapkan gereja
bisa memakai dalam rangka berteologi kontekstual.
E. METODOLOGI
-
Tempat:
Populasi adalah
masyarakat desa saluleang yang sekaligus sebagai anggota jemaat, kemudian dari
populasi ini dipilih 17 orang, baik itu dari unsur adat, majelis jemaat dan
anggota masyarakat/jemaat, yang dipercayai dapat memberikan data-data untuk
tujuan penulisan ini.[8]
Dalam pengambilan sample, ini digunakan tehnik sampling bertujuan, karena anggota
sampel yang dipilih ini disesuaikan dengan tujuan penelitian.[9]
-
Metode Penelitian
Saya menggunakan
metodologi penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Medodologi
kualitatif bertitik tolak dari paradigm fenomenologis yang objektivitasnya dibangun
atas rumusan tentang situasi tertentu sesuai dengan yang dihayati oleh individu
atau kelompok social tertentu.[10]
Melalui metodologi ini dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku-prilaku yang dapat diamati.[11]
Sedangkan yang dimaksud dengan metode/pendekatan deskriptif ialah dari
data-data yang dikumpulkan dari lapangan penelitian, pertama-tama dipaparkan
dan dijelaskan lalu dilanjutkan dengan analisa data.[12]
Kerja peneliti dalam metode Deskriptif, bukan saja memberikan gambaran terhadap
fenomena-fenomena yang ada di lapangan, tetapi juga menerangkan hubungan
diantaran fenomena-fenomena itu,seta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu
masalah yang ingin dipecahkan.[13]
-
Tehnik Pengumpulan Data
Saya menggunakan tehnik
pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Tehnik
pengumpulan data melalui Observasi ini saya gunakan untuk mendapatkan gambaran
yang jelas mengenai lokasi penelitian, dan mengamati tingkah laku yang ada
berupa upacara-upacara. Hal ini sudah saya lakukan sejak beberapa tahun yang
lalu, Karen saya adalah penduduk dari lokasi penelitian. Melalui wawancara
(wawancara tak terstruktur, artinya wawancara bisa berkembang di lapangan),
saya gunakan untuk mendapatkan informasi-informasi tentang upacara-upacara
dalam proses pembangunan rumah, khususnya tentang korban. Hal ini saya lakukan
selama 2 bulan 6 hari, yaitu pada bulan September-Oktober 2001 dan tanggal 9-14
Juni 2003. Sedangkan melalui studi kepustakaan, saya lakukan dalam rangka
sebagai perbandingan untuk menguatkan pendapat yang saya kemukakan.
F. SISTEMATIKA
PENULISAN
Pendahuluan : Bagian ini berisi latar belakang pemikiran dan alasan
pemilihan judul, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan dan metode penelitian.
Bab I : Dalam bagian ini berisi tentang gambaran lokasi
penelitian dan situasi desa
Bab II : Berisi uraian data dan analisis data
Bab III : Bagian ini berisi kajian atau tinjauan iman Kristen,
landasan Alkitabiah tentang korban dalam upacara pembangunan rumah.
Bab IV : Bagian ini berisi refleksi dari apa yang telah dimuat
dalam bab II dan bab III
Penutup : berisi Kesimpulan dan Saran
Kepustakaan
Lampiran-Lampiran
[1]
Eka Darmaputra (ed), Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997, hal.9
[2]
Band. J.M.Saruan, Opo dan Allah Bapa, (Tomohon, 1991) hal. XII
[3]
S.A.E.Nababan, Pergumlan Rangkap: Laporan hasil konsultasi teologi BPH-DGI
tanggal 23-28 November 1970 di Sukabumi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1970)
hal.13.
[4]
Band. A.F.Parengkuan, “Ungkapan Injil dalam Perspektif budaya masyarakat
Indonesia” dalam Eksodus, No.9 thn.VI 1998, hal. 29.
[5]
Band. Eka, Op.Cit., hal.9
[6]
Ambroses, Salmon B.Mahi, Benyamin, Polikarpus, wawancara 8 September 2001
[7]
Band. Saruan, Op.Cit., hal. IX
[8]
Daftar Nama-nama Responden terlampir
[9]
Band. Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:Bumi Aksara, 2000)
hal.47
[10]
Lexi Maleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: remaja Karya, 1990) hal.v
[11]
Ibid. hal.3
[12]
Band.Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1988),
hal. 13
[13]
Moh.Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988) hal.64
BAB I
MENGENAL LOKASI PENELITIAN
A.
LETAK GEOGRAFIS
Saluleang adalah sebuah
desa yang termasuk dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan,[1]
Kabupaten Mamasa, Kecamatan Tabulahan. Jarak antara desa Saluleang dan ibu kota
kecamatan (Tabulahan adalah 32 km. dan jarak antara Tabulahan dan ibu kota
kabupaten mamasa 198 km. sedangkan jarak antara Mamasa dan ibu kota Provinsi
(Makassar) adalah 310 km.
Kabupaten Mamasa[2]
terdiri dari 10 kecamatan, dan berada pada posisi 118o BT-119o
BT dan antara 1o LS-3o LS. Dari 10 kecamatan yang ada di
kabupaten Mamasa, salah satunya ialah kecamatan Tabulahan, yang berada di
daerah perbatasan antara kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju. Secara
administrasi batas-batas daerah kecamatan Tabulahan adalah:[3]
- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Aralle
- Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Kalumpang (kabupaten Mamuju)
- Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Mambulilling
- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Kalukku (kabupaten Mamuju).
Kecamatan Tabulahan ini
terdiri dari 9 desa, salah satu diantaranya adalah desa Saluleang, yang secara
administrasi mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:[4]
- Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Bumal
- Sebelah Utara berbatasan dengan desa Buttuada’
- Sebelah Timur berbatasan dengan desa Paladang
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tabulahan
Desa Saluleang ini
dikepalai oleh seorang kepala Desa yaitu bpk. Elisamawi Pallahkang, dan terdiri
dari 3 dusun, yaitu: dusun Saluleang, Panampo dan Langsa. Di setiap dusun ini
terdapat satu gereja yakni Gereja Toraja Mamasa jemaat Saluleang, Jemaat Panampo
dan Jemaat langsa. Semua penduduk dalam satu desa ini menganut agama yang sama
yakni agama Kristen Protestan. Sampai saat ini belum ada satu anggota
masyarakatpun yang menganut agama lain. Adapun jumlah penduduk seluruhnya
berjumlah 424 jiwa. Dari jumlah yang ada, sebenarnya cukup kalau satu gereja
saja, tetapi mengingat jarak antara perkampungan yang satu dengan yang lainnya
agak jauh (+ 2 km), maka dibangunlah satu gereja di tiap-tiap dusun.
B.
KEADAAN GEOLOGIS
Keadaan geologis desa
saluleang adalah berbukit-bukit. Dan di lerreng-lereng bukit itu terbentang
sawah dan lading yang subur. Di Gunung-gunung yang tinggi terdapat hutan yang
masih lebat,yang ditumbuhi berbagai jenis pohon dan semak belukar. Dengan
keadaan alam seperti ini, maka mata air tidak sulit untuk didapatkan. Bahkan
ada aliran sungai besar yang mengalir di perbatasan desa Saluleang dan Desa
Tabulahan,juga ada sungai besar yang mengalir diperbatasan desa Saluleang
dengan desa Buhtuada’.
Desa ini berada di
bawah kaki gunung “Tatondong”, dengan kemiringan 45o, dan jenis
tanahnya merah kecoklatan. Disekitar desa terdapat tanah pertanian penduduk
dengan sawah yang berteras-teras mengelilingi perkampungan. Jenis tanah yang
ada sangat lemban dan subur sehingga tanaman penduduk yang ditanam subur. Jenis
tanaman penduduk antara lain: Pisang, umbi-umbian, sayur-sayuran, padi dan
jagung. Sedangkan tanaman jangka panjang adalah kopi dan coklat.
C.
KEADAAN PENDUDUK
Banyaknya penduduk yang
mendiami desa Saluleang berjumlah 424 jiwa, yang terdiri dari:[5]
Jenis
Kelamin
|
Jumlah
|
Laki-laki
|
220 jiwa
|
Perempuan
|
204 jiwa
|
Kebanyakan penduduk
desa Saluleang hidup sebagai petani. Berikut ini jenis pekerjaan penduduk:[6]
Jenis
Pekerjaan
|
Jumlah
Jiwa
|
Petani
|
315 orang
|
Pegawai
|
11 orang
|
Pedagang
|
5 orang
|
Tukang
|
10 orang
|
D.
TINJAUAN HISTORIS
Berdasarkan cerita yang
disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi, bahwa nenek moyang orang
Saluleang secara khusus dan orang Toraja Mamasa secara umum, bernama Pongka
Padang, yang dating dari sebelah Timur daerah Mamasa, yakni dari hulu sungai
“Sa’dan” di Tanah Toraja, bertemu dengan seorang perempuan bernama Torije’ne’
yang perahunya terdampar di gunung Kapusaang di sebelah Utara daerah Saluleang.[7]
Berdasarkan cerita itu,
Pongkapadang berasal dari Ulunna Sa’dang di Tana Toraja (Tator), bersama dua
pengawalnya yang bernama Mambulilling dan Polopadang. Namun hanya Polopadang
yang sampai di Tabulahan bersama dengan Pongkapadang, karena Mambulilling
meninggal dalam perjalanan.
Setibanya di gunung
Buntu Bulo di daerah Tabulahan, mereka tinggal dalam gua batu. Setelah beberapa
hari mereka tinggal di daerah itu, Pongkapadang mulai melayangkan pandangannya
ke gunung-gunung di sekitarnya, dan dia sangat terkejug karena di gunung
sebelah Utara dia melihat ada asap yang mengepul ke atas. Nama gunung itu
adalah “Kapusaang” (Bahasa Tabulahan artinya: Keheranan). Lalu Pongkapadang dan
Polopadang pergi ke gunung sebelah untuk mencari tahu sumber asap itu, dan
mereka sangat terkejut karena mendapati seorang wanita cantik tidur dalam gua.
Nama perempuan itu adalah “Torije’ne’” (Bahasa Makassar artinya: Dari air).
Dari namanya dapat diketahui bahwa dia berasal dari Makassar.
Kemudian Pongkapadang
dan Torije’ne’ menyatukan hati dan hidup bersama sebagai suami istri. Lalu
mereka memilih Gunung ‘Buntu Bulo” sebagai tempat tinggal bersama, dan mereka
tinggal dalam gua batu.
Lama-kelamaan mereka
tidak tahan lagi tinggal dalam gua batu, karena gua itu sering basah oleh
hujan, dan juga sering mendapat gangguan dari binatang-binatang buas, ditambah
lagi dengan sudah mulainya ada keturunan mereka. Lalu mereka mulai memikirkan
untuk membangun tempat tinggal yang lantainya agak tinggi dari tanah supaya
terhindar dari gangguan binatang. Maka mereka mulain mendirikan “gubuk”, namun
gubuk itu tidak bisa bertahan lama, hanya berumur enam bulan sampai satu tahun,
tiang-tiangnya lapuk dimakan tanah.
Suatu malam
Pongkapadang bemimpi mendirikan rumah, dengan model rumah panggung. Dalam mimpi
itu dia dituntun untuk mengikuti langkah-langkah dan melakukan upacara yang didalamnya
korban dipersembahkan, agar rumah yang didirikan itu dapat bertahan lama dan
orang yang tinggal di dalamnya akan memperoleh umur yang panjang, serta segala
usaha yang dilakukan akan berhasil. Jika tidak menuruti langkah-langkah upacara
pembangunan rumah maka rumah itu akan cepat rusak, dan orang yang tinggal dalam
rumah itu tidak akan umur panjang serta segala usaha yang dilakukan akan
sia-sia. Inilah yang melatarbelakangi sehingga sampai saat ini pembangunan
rumah tidak sembarang dilakukan, tetapi harus mengikuti upacara-upacara yang
ada, dan dalam upacara-upacara itu harus ada korban persembahan.
E.
SISTEM KEPERCAYAAN
Sebelum agama Kristen
Protestan masuk ke daerah ini yang dibawa oleh para zendeling dari Belanda,
melalui Gereja Pemerintah Hindia Belanda yang bernama “Indisce Kerk”, penduduk
daerah ini telah menganut suatu kepercayaan yang dikenal dengan kepercayaan
“ada’ Mappurondo,” (aturan turun temurun.)[8]
Menurut Kepercayaan
“ada’ mappurondo,” segala sesuatu di dunia ini diciptakan dan dikuasai oleh
dewa-dewa, yang dikenal dengan nama “dehata-dehata”, yang biasanya disapa
dengan sebutan “allataala”.[9]
Karena itu hampir setiap kegiatan dilakukan dalam bentuk upacara-upacara untuk
menghormati dehata-dehata. Dan dalam upacara-upacara itu selalu ada korban yang
dipersembahkan kepada dehata-dehata, mulai dari tenak besar (Kerbau), ternak
sedang (babi), dan ternak kecil (ayam). “Dehata-dehata” ini terdiri dari dua
kelompok.[10]
Kelompok yang pertama terdiri dari tiga dewa utama yang dikenal dengan istilah
“to pokok” (yang utama) yaitu:
1.
To Metampa
Tometampa ialah dewa
pencipta manusia, hewan dan segala jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan,
matahari, bulan dan bintang-bintang. Biasanya dewa ini juga dikenal dengan nama
“puang alataala”[11]
(dewa atas segala dewa). Dalam upacara-upacara keagamaan, puang alataala
berkali-kali disebut sehubungan dengan ciptaannya yang ada di sekitar manusia.
Sebagai contoh adalah salah satu doa dalam upacara pembangunan rumah:
“Dolunna la
dihanteang inde tampo, dipetanda dolu,umbato ke sihatangngi la dipedasangngi,
sande’ di alataala, dehata to umballa’ hante.” (artinya: sebelum tanah ini
diratakan, terlebih dahulu dilihat tanda, semoga cocok untuk dijadikan lokasi
pembangunan rumah, kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala, dewa yang
membentangkan daratan)”
Dalam mengungkapkan
kebesaran dan kekuasaannya dia digelar “dehata to ullepong buntu” (dewa yang
membentuk gunung), “dehata to ungkalo’ salu” (dewa yang mengalirkan sungai),
dan “dehata to umballa’ hante” (dewa yang membentangkan daratan). Gelar-gelar
ini menunjuk kepada to “metampa” sebagai dewa satu-satunya yang menciptakan
segala sesuatu, dan tidak ada yang diluar ciptaannya.[12]
Sehubungan dengan
gagasan bahwa Puang Alataala adalah pencipta segala sesuatu, maka ia juga
berhak merusak apa yang diciptakan-Nya termasuk manusia dan segala harta
bendanya. Karenanya untuk mencegah hal itu, maka ia harus disembah melalui
upacara-upacara. Dalam upacara-upacara atau ritus-ritus dipersembahak
korban-korban. Dan yang memimpin jalannya upacara ialah “Sando” (semacam imam,
yaitu pemimpin spiritual dalam “ada’ mappurondo”).
2.
To Memana’[13]
Yaitu dewa yang
memberikan harta benda/kekayaan dan semua yang bersangkutan dengan kebutuhan
hidup manusia sehari-hari. Menurut gagasan dalam ada’ mappurondo, selain “to
metampa”, ada juga “to memana’”, yakni dari mana manusia memperoleh segala
sesuatu yang ia butuhkan. Dalam upacara-upacara, “to memana’” disembah sejajar
dengan “to metampa”.
3.
To Meolaang
Yaitu dewa yang
berkuasa memelihara, menyertai dan memberikan perlindungan dalam melakukan
aktifitas.
Untuk mengetahui apakah
dewa berkenan dalam satu rencana kegiatan yang akan dilakukan sehubungan dengan
keberhasilan dan perlindungan, maka dikorbankan seekor ayam atau babi. Yang
menjadi tanda ialah darah dari binatang yang dikorbankan itu. Apabila darah
korban itu bergelembung-gelembung, maka itu pertanda dewa berkenan dalam setiap
aktifitas yang akan dilakukan.[14]
Juga dapat dilihat melalui warna dari darah korban, yaitu apabila darahnya
segar kemerah-merahan, maka itu pertanda dewa merestui aktivitas yang akan
dilakukan. Tetapi sebaliknya kalau darahnya merah kehitam-hitaman, maka itu
pertanda dewa tidak merestui, sehingga harus ditunda.
Ketiga dewa utama (to
poko’) yang sudah dijelaskan di atas, menurut gagasan kepercayaan “ada’
mappurondo” merupakan satu kesatuan dengan fungsi sebagai pencipta, pemberi dan
penyerta.[15]
Disamping ketiga dewa
utama di atas, penganut ada’ mappurondo juga sama dengan agama-agama suku
lainnya yang ada di Indonesia[16]
percaya tentang adanya dewa-dewa yang mendiami matahari, bulan,
bintang-bintang, tempat-tempat dan benda-benda tertentu di bumi seperti gunung,
pohon besar, sungai, mata air, batu dan lain-lain. Dewa-dewa itu disebut dengan
“to meliling” (yang mengelilingi atau yang ada disekitar kita), yakni dewa-dewa
yang ada disekitar manusia di bumi ini.[17]
Inilah dewa-dewa pada kelompok yang ke dua.
Selain percaya kepada
dewa-dewa, penganut “ada’ mappurondo” juga percaya pada arwah-arwah nenek
moyang yang sudahmeninggal. Jika mereka tahu menghormati dengan jalan
memberikan korban-korban, dan tidak menyelewengkan harta-harta warisan dari
nenek moyang mereka, maka arwah-arwah nenek moyang akan merupakan sumber
berkat. Tetapi sebaliknya jika tidak tahu menghormati dan menggunakan salah
harta warisan yang ada, maka dapat mendatangkan malapetaka dan sakit penyakit
bagi mereka.
Demikianlah sistim
kepercayaan yang dulunya dianut oleh penduduk Toraja Mamasa secara umum dan
orang Saluleang secara khusus. Dengan datangnya dan masuknya para penginjil ke
daerah ini, maka kepercayaan ada’ mappurondo ini dilarang dianut, dan semua
bentuk upacara-upacara keagamaan dilarang untuk dilakukan, lalu diganti dengan
Iman Kristen.[18]
Secara keseluruhan,
penduduk desa Saluleang saat ini menganut agama Kristen Protestan, yang
tergabung dalam Kalasis Saluleang Sinode Gereja Toraja Mamasa (GTM). Namun
kepercayaan “ada’ mappurondo” ini sudah mendarah daging dalam jiwa pada umumnya
penduduk, sehingga sangat sulit untuk ditinggalkan. Oleh karena itu walaupun
mereka sudah masuk agama Kristen, tetapi mereka ttap melakukan upacara-upacara
ada’ mappurondo, meskipun dalam melakukan upacara-upacara itu sudah tidak
terlalu diikuti sebagaimana aslinya, tetapi makna dari upacara-upacara itu
dihayati.[19]
BAB II
PROSES PEMBANGUNAN RUMAH
Rumah dalam masyarakat
Saluleang disebut “dasang” (Bahasa Tabulahan). Kata ini mengandung arti bukan
sekedar tempat untuk tinggal atau tempat beristirahat manusia, tetapi maknanya
lebih luas dari itu yaitu penentu keberhasilan,
kesehatan dan keselamatan manusia.[1]
Oleh karena itu untuk membangun sebuah rumah,harus mengikuti prosedur yang ada
melalui upacara pembangunan rumah, yang di dalamnya dilakukan penyembelihan
ternak sebagai korban. Apabila tidak mengikuti prosedur dalamupacara
pembangunan rumah dan mengabaikan persembahan korban, maka orang atau keluarga
yang akan menghuni rumah itu tidakakan pernah berhasil dalam setiap usaha,
selalu mengalami sakit penyakit, dan selalu ada duka dalam rumah tangga.[2]
Sebelum saya memaparkan
prosedur upacara pembangunan rumah, terlebih dahulu saya paparkan konstruksi
rumah di Saluleang.
A. KONSTRUKSI
RUMAH
1.
Landasan Tiang
Pada umumnya
rumah-rumah di Saluleang, menggunakan batu sebagai landasan (fondasi).
Batu-batu tersebut tidak ditanam, tetapi diletakkan begitu saja di atas
permukaan tanah, sebagai tempat tumpuan batang/balok melintang dan tiang
bangunan agar tidak lapuk dimakan tanah. Biasanya ukuran batu landasan
disesuaikan dengan kemiringan tanah, yaitu 10 cm sampai 80 cm. Batu-batu
landasan ini diambil dari batu-batu gunung yang ada di sekitar lokasi
perkampungan, karena factor alam yang memungkinkan.
2. Balok
Melintang
Balok melintang adalah
balok yang biasanya berukuran 30 x 10 cm, dengan panjang masing-masing:
-
Dua buah balok dipasang mengikuti
panjang ukuran rumah,
-
Dua buah balok dipasang mengikuti lebar
ukuran rumah
Balok melintang adalah
sebagai tempat memasang tiang bangunan yang diletakkan di atas batu fondasi
yang “ditambeng” (dipasang membentuk empat persegi). Posisi balok melintang ini
dipasang mengikuti arah rumah, artinya, kalau rumah menghadap ke Timur, maka
pangkal balok ini ke barat, dan ujungnya ke Timur. Ban pada setiap pertemuan
balok, dibuat lubang sebagai tempat untuk memasang tiang rumah. Jenis kayu yang
biasanya digunakan sebagai balok melintang adalah dari jenis kayu keras, dan
tidak cepat lapuk, yaitu kayu “Betau” nama jenis kayu dalam Bahasa Tabulahan).
3.
Tiang (ahhi)
Tiang rumah di
Saluleang dibagi atas 3 bagian, yakni: tiang tengah, tiang utama dan tiang
pembantu.
Tiang tengah adalah
merupakan tiang yang sengaja didirikan di tengah-tengah rumah sebagai soko guru
atau tiang pengokoh bangunan, yang terdiri dari satu tiang. Tiang tengah ini
diletakkan langsung di atas batu fondasi yang berada di tengah-tengah rumah.
Tiang utama adalah
tiang yang dipasang di atas balok melintang, yang berjumlah 8 tiang
Tiang pembantu, adalah
tiang yang dipasang di luar tiang utama, yang berjumlah 8 tiang. Tiang-tiang
ini menggunakan kayu cempaka.
4.
Tangga (eheng)
Setiap rumah di
Saluleang, biasanya memiliki dua tangga,yaitu satu tangga di ruang muka,dan
satu tangga di dapur. Tangga ini dibuat dari kayu “Betau”
5. Pintu
(baba)
Pintu rumah terdiri
dari:
-
Satu pintu di ruang muka
-
Satu pintu di dapur
-
Satu pintu antara dapur dengan ruang
muka,
Dan beberapa pintu kamar (tergantung berapa
jumlah kamar dalam satu rumah).
6. Lantai
(Sali)
Lantai rumah kebanyakan
terbuat dari batang pohon palem hutan, dan juga ada yang menggunakan papan dari
jenis kayu cempaka.
7. Dinding
(Inni’)
Terbuat dari anyaman
bambu, juga dari papan.
8. Jendela
(pengngollengang)
Seperti biasanya
jendela-jendela rumah berfungsi sebagai tempat pertukaran udara, juga supaya
cahaya bisa masuk ke ruangan, dan sekaligus sebagai tempat pemandangan.
9. Atap
(Ätu’)
Atap rumah kebanyakan
terbuat dari daun rumbia yang dijahit sedemikian rupa.
B. UPACARA
PEMBANGUNAN RUMAH
Oleh karena masyarakat
sudah menganut agama Kristen, maka sebelum memulai proses upacara pembangunan
rumah, orang yang akan membangun rumah tersebut memanggil guru jemaat atau
salah seorang majelis jemaat untuk berdoa. Setelah itu maka dilanjutkan dengan
upacara adat, dengan mengikuti langkah-langkah upacara pembangunan rumah.
Upacara dalam proses
pembangunan rumah mulai dari perencanaan sampai peresmian, disebut “tunuang
dasang” artinya korban bakaran untuk rumah.[3]
Dalam upacara ini terdiri atas 4 bagian, yaitu:
1) Manghuyong
(menentukan tanah/lokasi pembangunan)
2) Meehangang
(mengumpulkan ramuan rumah)
3) Mampake’de’
(mendirikan rumah)
4) Mendai’
(naik rumah baru)
1. Manghuyong
“Manghuyong” (Bahasa
Tabulahan), artinyamenandai atau menentukan. Inidilakukan dalam rangka menandai
atau menentukan lokasi/tanah yang akan ditempati membangun rumah. Sebelum
upacara manghuyong dilakukan, pertama-tama ditentukan dulu bulan yang tepat,
yakni tanggal 10 terbitnya bulan yang sedang berjalan, yang disebut dengan
“timumung” (=terlindung).
Setelah sampai tanggal
bulan yang ditentukan, maka dilakukanlah upacara, dengan cara: mengambil dua
ruas bamboo, ruas yang sebelah diisi dengan air, dan ruas yang sebelah
diruncingkan untuk ditancapkan ke tanah. Air yang diisi ke dalam bambu ini
tidak terlalu penuh, hanya ¾ saja dari ruas bamboo yang ada, yang ¼ dibiarkan
kosong. Setelah itu lalu ditutup dengan menggunakan daun yang tidak bisa
ditembus air, atau bisa juga menggunakan plastic. Pada waktu tengah malam, bamboo
yang berisi air ini dibawa oleh orang yang akan membangun rumah ke lokasi yang
akan ditentukan menjadi lokasi pembangunan rumah, lalu ditacapkan di
tengah-tengah lokali itu sambil mengucapkan doa:[4]
“ Dolunna la
kupampake’dei dasang inde tampo, kuhuyong dolu, umbato ke sihatangngi la
kupedasangngi, anna la masahke mahodinding diongei, sande’ di alataala, dehata
to umballa’ hante.” (artinya: Sebelum tanah ini saya tempati mendirikan rumah,
saya mau lihat tanda dulu, mudah-mudahan pantas saya tempati membangun rumah,
dan nyaman ditempati,kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala, dewa yang
membentangkan daratan.)
Setelah itu, orang yang
akan membangun rumah itu pulang ke tempat tinggal sementara untuk istirahat
(tidur) dan bermimpi tentang lokasi tersebut. Apabila dalam mimpinya dia
melihat banyak binatang-binatang seperti : babi dan anjing berkeliaran di
lokasi itu, maka itu berarti lokasiitu bagus.[5]
Tetapi kalau dalam mimpinya itu dia melihat banyak ular dan kaki seribu
berkeliaran atau binatang-binatang yang menakutkan lainnya di lokasi itu, maka
itu pertanda buruk dan tidak cocok untuk ditempati membangun rumah. Penglihatan
dalam mimpi itu akan berhubungan langsung dengan air yang diisi dalam bamboo.
Kalau mimpi bagus, maka air yang ada dalam bamboo itu akan menjadi penuh,
tetapi kalau mimpi buruk maka air yang ada dalam bamboo itu akan berkurang.
Kalau air yang ada dalam bamboo itu menjadi penuh, maka itu pertanda dewa
merestui lokasi itu. Tetapi kalau air yang ada dalam bamboo itu berkurang, maka
itu pertanda dewa tidak merestui dan harus mencari kokasi lain.[6]
Jika lokasi itu cocok
untuk ditempati membangun rumah, maka orang yang akan membangun rumah tersebut
memanggil “sando” bersama seluruh masyarakat umum untuk meratakan tanah tempat
akan membangun rumah. Di situ disiapkan satu ekor kerbau atau babi sebagai
korban untuk tanah tempat mendirikan rumah. Makna atau tujuan korban ini ialah
agar “alataala” sebagai “dewa yang membentangkan daratan”, memberikan tanah
tersebut untuk ditempati membangun rumah. Darah korban yang dipersembahkan di
kokasi pembangunan rumah itu merupakan tebusan (bayaran) terhadap dewa yang
menguasai tanah. Jadi walaupun orang sudah membeli dari orang lain tanah
tersebut, tetapi orang yang akan membangun rumah di lokasi tersebut harus
menebus (membayar) tanah tersebut kepada dewa pencipta melalui darah korban.[7]
Darah korban tersebut sekaligus sebagai pendamaian antara orang yang akan
menempati tanah dengan tanah yang akan ditempati, sehingga orang yang akan
menempatinya akan selalu mengalami keselamatan dan perlindungan, dengan kata
lain ada kedamaian antara orang yang akan membangun rumah dengan tanah yang
akan ditempati karena dewa merestui.[8]
Lalu “sando” mengambil pisau untuk menyembelih kerbau atau babi yang akan
dikorbankan itu.[9]
Sementara Sando mengambil ancang-ancang untuk menyembelih kerbau atau babi yang
akan dikorbankan, dia mengucapkan doa:[10]
“Indee
terong/babi la dihahaing inde tampo aka’ la dihanteang, umbato ke malai
ungngolai inde haha tunuang, la dipomasahke mahodinding inde tampo, lambi’ la
kabeheang ang la mangngongei, sande’ dialataala, dehata to umbala’ hante” (artinya: Kerbau/babi ini dijadikan sebagai
korban darah untuk tanah ini karena tanah ini akan diratakan, kiranya melalui
darah korban ini, akan diperoleh kenyamanan tanah ini, sehingga akan keberkatan
orang yang akan menempati, kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada alataala,
dewa yang membentangkan tanah.)
Setelah itu maka
mulailah masyarakat meratakan tanah itu, dan daging kerbau atau babi yang
dikorbankan itu dimasak untuk menjadi santapan para pekerja dan semua orang
yang ada di situ.
2. Meehangang[11]
Apabila tanah untuk
tempat membangun rumah sudah selesai diratakan, maka dilanjutkan dengan mencari
ramuan rumah, yangdalam Bahasa Tabulahan disebut “Meehangang”.
“Meehangang” artinya
mencari atau mengumpulkan ramuan. Kata ini berasal dari kata benda “ehangang”
(artinya: ramuan atau alat), yang kemudian ditambah dengan awalan me-, sehingga
menjadi kata kerja “meehangang” yang berarti mencari/mengumpulkan ramuan).
Dalam upacara
meehangang, pertama-tama dilakukan ialah memanggil “sando”, para tungka kayu
dan semua anak buahnya, dan bersama-sama dengan orang yang akan membangun rumah
membicarakan ukuran rumah yang akan dibangun. Setelah itu maka ditentukanlah
waktu untuk mengadakan penebangan kayu. Waktu yang ditentukan ini disesuaikan
dengna terbitnya bulan yang biasa dikenal dengan “bulang di langi’” (bulan di
langit, atau bulan arab). Waktu yang cocok untuk penebangan kayu biasanya
tanggal 6-9 menurut terbitnya bulan. Ini biasa dikenal dengan “matua bulang”
(tua bulan).[12]
Setelah sampai waktu
yang ditentukan tersebut, maka berkumpullah “sando”, para tukang kayu,dan para
spesialis penebangkayu, dalam rangka persiapan untuk pergi ke hutan menebang
kayu. Sebelum para spesialis penebang kayu ini masuk hutan, dilakukan dulu
upacara yang dipimpin oleh “sando”, yaitu dengan menyembelih seekor ayam.
Sambil “sando”menyembelih ayam yang telah disiapkan, dia mengucapkan doa untuk
keselamatan para penebang kayu dan meminta restu dari dewa, yaitu:
Indeeng mane’
ditunu, dihannuang ungngolai hahana inde mane’ la naelo’I dehata inde pahtuyu,
lambi’ inde mai to la mao meehangang la mala sumule mapia sitonda kamasahkeang,
sande’ di alataala, dehata to meolaang. (artinya:
ayam yang akan dikorbankan ini, melalui darahnya diharapkan dewa akan berkenan
untuk rencana ini, sehingga orang-orang yang akan pergi mencari ramuan (rumah)
bisa kembali dengan baik dalam keamanan,kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada
alataala, dewa penyerta)
Tujuan korban ini ialah
untuk meminta keselamatan dari dewa terhadap orang-orang yang akan pergi
menebang kayu. Restu dari dewa dapat langsung dilihat melalui daragh ayam yang
dikorbankan, yaitu apabila darah ayam itu menggelembung-gelembung kecil, maka
itu berarti dewa merestui rencana itu, dan para penebang kayu yang akan pergi
ke hutan akan kembali dengan selamat,tanpa mengalami kecelakaan. Tetapi jika
darah ayam itu tidak bergelembung-gelembung, mjaka itu pertanda dea tidak
merestui dan rencana itu harus ditunda.
Apabila dewa merestui
rencana itu, maka para penebang kayu berangkat ke hutan untuk menebang dan
mempersiapkan ramuan rumah, sesuai dengan yang dibutuhkan. Setelah mereka
sampai di hutan dan memulai penebangan, maka kayu yang paling pertama ditebang,
diambil setetes getahnya dan diminum oleh orang yang menebang, agar kayu-kayu
yang akan ditebang tidak mencelakai orang yang menebang.[13]
Adapun syarat-syarat
kayu yang ditebang ialah:[14]
- Kayu yang sudah cukup tua
- Kayu yang tidak dililit oleh semak belukar, karena apabila menggunakan kayu yang dililit oleh semak belukar sebagai ramuan rumah, maka ular akan naik ke rumah itu setelah jadi.
- Kayu yang ditebang tapi tersangkut pada pohon yang lain tidak boleh diambil, karena kalau diambil maka akan membawa musibah bagi orang yang akan menempati rumah itu.
Jenis kayu yang
digunakan sebagai ramuan rumah adalah kayu “Uruh” (kayu cempaka), betau, dan
bahkang (kayu palapi).[15]
Setelah semua kayu
ramuan ini ditebang, maka dilanjutkan dengan membuat balok-balok sesuai dengan
ukuran yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah itu maka ramuan-ramuan itu
diangkut ke lokasi pembangunan rumah untuk dibentuk sesuai model rumah yang
dikehendaki.
3. Mampake’de’
(Mendirikan rumah)
Setelah semua ramuan
rumah terkumpul di lokasi pembangunan, maka ditentukanlah waktu yang tepat
untuk mendirikan (mampake’de’) rumah. Waktu yang tepat untuk pembangunan rumah
dimulai tanggal 14 menurut terbitnya bulan. Adapun urutan pelaksanaannya
adalah: Pada pagi hari diundang “sando” dan semua tukang kayu bersama semua
anggotanya berkumpul di lokasi pembangunan rumah.[16]
Di situ disiapkan seekor kerbau atau babi yang akan dikorbankan. Sebelum
pendirian rumah dimulai, “sando” menyembelih kerbau atau babi yang akan
dikorbankan itu sambil mengucapkan doa:[17]
Dolunna la ditobo’
inde terong/bahi, dihannuang pehahana la napomatoto’ ke’de’na inde dasang,
sande’ di alataala. (artinya: Sebelum
kerbau/babi ini disembelih, mudah-mudahan melalui darahnya akan menjadi
kekuatan berdirinya rumah ini, kepastian kuasa doa dipasrahkan kepada
alataala.)
Lalu darah korban itu
digosokkan pada ramuan-ramuan rumah. Setelah itu maka mulailah para tukang
bersama anggotanya mendirikan rumah sesuai dengan urutan pendirian rumah, yang
di dalamnya perlu memperhatikan arah bangunan rumah, yaitu selalu menghadap ke
Timur atau ke Utara. Tidak boleh menghadap ke Barat atau keselatan, sebab jika
rumah menghadap ke Barat atau ke selatan, maka penghuni rumah tersebut akan
selalu ada duka dalam rumah itu, juga seluruh usaha yang dilakukan tidak akan
berhasil.[18]Alasan
mengapa rumah harus selalu menghadap ke Timur atau ke Utara, ialah karena dari
arah Timurlah nene’ Pongkapadang dating, dan dari arah Utara nene’ Torije’ne’
dating.[19]
Demikian juga pangkal dan ujung kayu ramuan, harus mengikuti arah rumah tersebut.
Yaitu apabila rumah menghadap ke Timur, maka ujung kayu mengarah ke Timur dan
pangkalnya ke Barat. Tidak boleh dibalik/ditukar. Demikian juga tiang-tiang
bangunan harus diperhatikan pangkal dan ujungnya, yakni ujung kayu selalu
mengarah ke atas bukan ke bawah.[20]
Apabila dalam pendirian rumah itu ada kayu yang sudah tidak diketahui yang mana
ujungnya dan yang mana pangkalnya, maka kepala tukang menimbang kayu itu persis
di tengah-tengahnya, dan yang lebih berat itulah pangkalnya sedangkan yanglebih
ringan itulah ujungnya. Demikianlah proses pembangunan rumah dilanjutkan terus
sampai rumah jadi. Selama pembangunan rumah itu berlangsung, maka tuan rumah
tersebut secara terus-menerus menyembelih kerbau, babi atau ayam untuk jaminan
para tenaga kerja.
4. Mendai’(Naik
rumah Baru)
Setelah pembangunan
rumah selesai dan sudah siap untuk dihuni, maka dilakukanlah upacara “mendai’”
(artinya: menaiki (rumah)). Upacara naik rumah baru ini dilakukan dengan
mempersembahakn korban yang dipimpin oleh “sando”. Tujuan upacara “mendai’” ini
ialah untuk mensyukuri penyertaan dewa dalam pembangunan rumah, mulai dari
perencanaan sampai selesai. Juga bertujuan untuk memohon pemeliharaan dan
perlindungan dewa selama menghuni rumah tersebut. Jalannya upacara adalah :
Pada jam 06 pagi, “sando”
menyembelih seekor babi di tangga ruangan muka rumah, dengan mengucapkan doa:[21]
Dolunna la
dipendai’ inde dasang, indeeng bahi la ditobo’, ungngolai hahana inde tunuang,
la napokende’ hupatau yahoo, la napomasahke napomahodinding anna napopembea’, sande’
di alataala. (artinya: Sebelum rumah ini
dihuni, babi ini akan disembelih, melalui darahnya akan menjadi saluran berkat
bagi penghuni rumah ini, dan akan nyaman serta akan berkembang biak, kepastian
kuasa doa dipasrahkan kepada alataala.)
Setelah itu maka para
tukang masak memasak daging babi yang telah disembelih itu,bersama dengan
masakan-masakan lainnya. Dan pada jam 10 pagi seluruh anggota masyarakat dating
di rumah baru itu untuk makan bersama. Setelah makan, dilanjutkan dengan
hiburan-hiburan berupa tari-tarian dan pantun-pantun. Tarian-tarian dibawakan
oleh perempuan dan laki-laki, yang isinya mengungkapkan ucapan syukur kepada
dewa yang telah menyertai dalam pendirian rumah, sehingga dapat selesai dengan
baik. Disamping itu ditampilkan juga penyair-penyair yang membacakain
syair-syairnya dalam bentuk pantun, dengan diiringi alat music petik yang
bernama “tandilong” semacam alat music petik tradisional, yang hanya memiliki
dua dawai). Syair-syair pantun yang disampaikan itu merupakan sanjungan terhadap
tuan rumah yang telah mampu membangun rumah dengan mengikuti upacara dan segala
ketentuan korban. Contoh isi syair itu antara lain:[22]
“Tandana nabehe
alataala inde puäng dasang, ya’ nabelaumpake’de’ dasang natunuangngi, nabela
umpapengkähäng tukang. Ahana inäng tomakaka inde puänna dasang, dai aha
mandontong katomakaanna.” (artinya:
terbukti diberkati oleh allataala ini tuan rumah, sehingga dia mampu mendirikan
rumah, dengan mempersembahkan korban,mempekerjakan tukang. Memang tuan rumah
ini kaya tidak ada yangmengatasi kekayaannya.)
Upacara mendai’ ini
dilangsungkan selama tiga hari tiga malam, dan selama tiga hari tiga mala mini,
tuanrumah terus menerus menjamu semua yang hadir dalam acara ini.
C. ANALISIS
DATA
Keadaan alam melatar
belakangi kehidupan manusia, membuat manusia itu harus menghadapi tantangan
baik secara fisik, maupun non fisik. Alam menyediakan segala macam kebutuhan
hidup manusia, tetapi juga terdapat banyak tantangan. Manusia harus berusaha
untuk mempertahankan diri di tengah-tengah tantangan alam itu. Oleh karena itu,
untuk kepentingan hidupnya ia membangun rumah untuk melindungi dirinya dari
gangguan atau bahaya alam seperti matahari, hujan, petir dan bahaya binatang
buas yang mengancam hidup manusia.
Kondisi lingkungan yang
selalu berubah, utamanya iklim dan cuaca, membuat manusia berusaha membuat
rumah sebagai tempat berlindung. Dengan kemajuan akal pikiran manusia dalam
perjalanan hidupnya, baik itu yang diperoleh lewat mimpi maupun pengalaman
hidup, maka manusia selalu berusaha untuk meningkatkan tingkat pemikirannya
pada taraf yang lebih tinggi demi tuntutan zaman di mana manusia berada. Rumah
kemudian dikaitkan dengna kehidupan yang mengandung nilai-nilai religi dan
mistik. Rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat
perlindungan, tetapi juga dihubungkan dengan keselamatan dan keberhasilan
manusia. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan rumah, harus mengikuti
upacara-upacara yang ada, yang didalamnya korban dipersembahkan.
Dalam uraian upacara
pembangunan rumah di atas, ada beberapa hal yang menonjol, yaitu:
1. Dalam
Memulai Setiap Aktifitas Selalu Berpatokan Pada Bulan
Bentuk bulan sangat
berpengaruh bagi masyarakat Saluleang sampai pada saat ini. Oleh karena itu
setiap akan memulai suatu aktifitas, selalu berpatokan pada bentuk bulan
(tanggal sesuai terbitnya bulan). Hal ini disebabkan oleh karena mereka
berhadapan langsung dengan keadaan alam, yaitu hujan dan panas, sehingga mereka
harus bisa menentukan bentuk bulan yang bagaimana saatnya hujan, dan bentuk
bulan yang bagaimana satnya musim panas. Demikian juga karena dalam setiap
perputaran bulan, ada kalanya bulan muda, saat pohon-pohon mengeluarkan tunas
muda, da nada kalanya bulan tua, saat pohon-pohon tidak mengeluarkan tunas
muda. Pada saat pohon tidak mengeluarkan tunas muda inilah waktu yang tepat
untuk penebangan,karena pada saat ini batang pohon kayu tersebut keras dan
tidak mengandung banyak air. Menurut penanggalan sesuai dengan terbitnya bulan
adalah tanggal 6-9,yang biasa disebut dengan “matua bulang” (bulan tua).
2. Darah
Korban Sangat Berperan Dalam Upacara-Upacara
Dalam uraian upacara
pembangunan rumah di atas, yang berperan penting dan mempunyai makna ialah
korban (darah korban persembahan.) ini disebabkan oleh keyakinan masyarakat
sejak dari nenek moyang,yang memandang darah sebagai pusat kehidupan. Oleh
karena itu darah dijadikan patokan dalam persembahan korban.
Makna darisetiap korban
(darah korban) yang dipersembahkan secara langsung termuat dalam setiap doa
yang disampaikan sebelum menyembelih korban tersebut. Misalnya korban untuk
meratakan lokasi pembangunan rumah (hal.16), makna korban di situ adalah
sebagai penebusan atas tanah yang akan diratakan untuk pembangunan rumah,
sekaligus pendamaian antara orang yang akan membangun rumah dengan tanah yang
akan ditempati membangun rumah, agar orang yang akan menempati rumah tersebut
selalu kepberkatan tinggal di situ. Jadi, walaupun orang sudah membeli dari
orang lain tanah itu, tetapi orang yang akan menempati tanah itu harus
melakukan penebusan khusus kepada yang menguasai tanah itu (alataala), dan
harus adapendamaian antara tanah dan orang yang akan menempati tanah itu. Jika
tidak dilakukan penebusan dan pendamaian atas tanah itu, maka orang yang akan
menempati tanah itu tidak akan merasa nyaman dan tidak akan berhasil segala
usaha yang dilakukan.
Makna korban (ayam)
dalam unsur upacara “meehangang” (hal.17) adalah untuk meminta penyertaan dan
keselamatan atas orang yang akan pergi ke hutan untuk menebang kayu. Mereka
menyadari bahwa penyertaan dan keselamatan itu hanya bersumber dari alataala
(to meolaang) selaku penyerta, dan oleh karena itu maka hanya kepadanyalah
memohon penyertaan dan keselamatan. Menurut keyakinan masyarakat
Saluleang,bahwa penyertaan keselamatan dari alataala itu dapat langsung dilihat
dalam darah korban yang disembelih. Apagila darah korban itu
bergelembung-gelembung kecil maka itu pertanda dewa penyerta merestui.
Makna korban dalam
unsur upacara “mampake’de’” (hal.19) adalah untuk meminta dewa memberi kekuatan
terhadap bangunan itu. Darah korban persembahan itu digosokkan pada
ramuan-ramuan bangunan sebagai tanda bahwa kekuatan rumah tersebut telah
dimohonkan kepada alataala melalui persembahan korban.
Makna korban dalam
unsur upacara “mendai’” (hal.20) adalah selain sebagai ungkapan syukur atas
penyertaan alataala selama proses pembangunan berlangsung, juga meminta berkat
dan keselamatan dari alataala untuk penghuni rumah tersebut agar senantiasa
keberkatan tinggal di rumah itu, segala usaha yang dilakukan selalu berhasil
dan akan selalu merasakan kesehatan dan keselamatan selama menghuni rumah itu.
Korban dalam upacara
pembangunan rumah menjadi unsur yang penting yang mempunyai makna:
menebus/mendamaikan, meminta penyertaan, meminta kekuatan dan meminta berkat
serta keselamatan. Selain itu, makna lainnya dari persembahan korban, ialah
bahwa daging dari persembahan korban itu dijadikan jamuan bersama para pekerja
pada hari itu. Oleh karena itu hal ini juga menjadi satu kepentingan dalam
upacara pembangunan rumah, karena korban itu sekaligus dijadikan jamuan bersama
para pekerja bangunan.
3. Penyebutan
Alataala Dalam setiap Mengahiri Doa
Walaupun mereka
melakukan berbagai macam syarat-syarat dalam pembangunan rumah, misalnya
berpatokan pada bulan dan darah hewan, tetapi dalam setiap doa yang disampaikan
selalu diakhiri dengan penyerahan diri kepada “alataala”, selaku dewa
tertinggi. Ini menandakan bahwa dalam setiap aktifitas, yang menjadi penentu
utama ialah “alataala”. Jadi apapun yang dilakukan kalau tidak direstui oleh
alataala maka itu tidak akan berhasil. Dari sini dapat dikatakan bahwa
keyakinan tentang adanya yang maha kuasa dan maha penentu itu sudah tumbuh
dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu kala, sehingga mereka menyadari bahwa
dialah yang menuntun dan menjadi penentusetiap aktifitas yang dilakukan.
Demikianlah uraian data
dan analisis data tentang pembangunan rumah. Pada bab selanjutnya akan
dilanjutkan dengan apa kata Alkitab tentang upacara-upacara/ritus-ritus,
khususnya tentang korban.
BAB III
KESAKSIAN ALKITAB TENTANG KORBAN
PERSEMBAHAN
Sebagaimana saya
katakana dalam bagian terakhir bab II, bahwa dalam bab III ini saya akan
memberikan kesaksian Alkitab tentang upacara, lebih khusus tentang korban
persembahan dalam upacara pembangunan rumah. Tetapi sebelumnya saya jelaskan
terlebih dahulu tentang pengertian upacara dan korban, lalu dilanjutkan dengan
apa kata Alkitab tentang korban.
A. PENGERTIAN
ISTILAH
Kata
“Korban” berasal dari Bahasa Ibrani קרבן
(qorban)[1]
yang berarti “sesuatu yangdibawa dekat.” Dalam terjemahan TB LAI diterjemahkan
“Persembahan.” Anton M.Muliono, mengartikan “korban” sebagai: pemberian untuk
menyatakan kebaktian dan kesetiaan, juga diartikan sebagai persembahan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.[2]
Dari pengertian-pengertian ini, dapat saya katakana bahwa “korban” adalah
sesuatu yang dibawa/dipersembahkan kepada yang diyakini menguasai kehidupan
ini, dengan kata lain suatu pemberian yang disertai dengan rasa hormat. Ini
adalah suatu upaya manusia untuk menyembah dan mendekatkan diri kepada kuasa
tertinggi (Tuhan), dengan jalan mengorbankan sesuatu. Melalui korban, manusia
menghayati hubungannya dengan kuasa tertinggi (Tuhan) dan mengharapkan segala
sesuatu dari padanya.
B. KESAKSIAN
ALKITAB
Ibadah, baik
dalamPerjanjian Lama maupun dalam Perjanjian BAru mencakup seluruh aspek
kehidupan. Namun yang saya akan uraikan lebih lanjut dalam bagian ini
sehubungan dengan topic yang saya angkat dalam skripsi ini, yaitu ibadah dalam
bentuk ritus, khususnya tentang persembahan korban. Dalam membahas tentang hal
ini, maka saya akan mengangkat baik dari Perjanjian lama maupun dari Perjanjian
Baru. Dari Perjanjian Lama, saya akan mengambil dari Imamat 1:1-17, yaitu
tentang peraturan korban yang disampaikan oleh TUHAN kepada Musa dari dalam
kema pertemuan., Alasan saya mengambil bagian Alkitab ini ialah karena hanya di
sini dibahas tentang korban bakaran, mulai dari ternak besar (lembu), ternak
sedang (kambing/domba) dan burung, dan yang menjadi penekanan di sini ialah
pada darah korban. Ini ada hubunganna dengan korban persembahan dalam upacara
pembangunan rumah yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa korban yang
dipersembahkan mulai dari ternak besar (kerbau), ternak sedang (babi) dan
ternak kecil (ayam), dan penekanannya ada pada darah korban. Sedangkan dari
Perjanjian Baru saya mengambil dari kitab Ibrani 10:1-10. Saya mengambil bagian
Alkitab ini karena dalam bagian ini penulis surat Ibrani secara khusus membahas
hubungan antara persembahan dalamPerjanjian Lama dan penggenapannya dalam
Perjanjian Baru melalui pengorbanan Yesus Kristus. Dari kedua bagian Alkitab
ini saya akan tafsir, sehingga akan mendapatkan pemahaman yang jelas tentang
persembahan korban.
1. Perjanjian
Lama
Sebagaimana saya
singgung di atas bahwa bagian Perjanjian Lama yang akan saya tafsir ialah dari
kitab Imamat, karena dalam kitab ini diuraikan mengenai ibadah, khususnya
tentang korban-korban yang dipersembahkan kepada Allah. Jadi yang saya mau
angkat di sini ialah Imamat 1:1-17, yakni tentang aturan-aturan dalam
persembahan korban bakaran.
a. Latar
belakang umum
Kitab Imamat adalah
kitab ke-3 dari kumpulan kitab “Torah” atau kitab “Pentateukh” (lima jilid
kitab). Kitab Imamat ini berisi tentang peraturan-peratuan dan tugas-tugas
keimaman, serta berisi instruksi-instruksi yang menguraikan tentang kehidupan
umat yang sesuai dengan kehendak Tuhan.[3]
Dalam Bahasa Ibrani, judul kitab ini yaitu : ןיּקראּ (wayiqra) yang berarti “lalu Dia
memanggil,” judul ini diambil dari ayat pembuka kitab ini, yaitu “Tuhan
memanggil Musa” (1:1).[4]
Mengenai penulis dan
tanggal penulisan kitab ini, tidak disebutkan dalam isi kitab. Oleh karena itu
ada beberapa kemungkinan tentang siapa penulis dan kapan kitab ini ditulis.
Kemungkinan yang pertama ialah bahwa Musa dianggap sebagai penulis. Hal ini
dihubungkan dengan ungkapan “Tuhan berfirman kepada Musa,” yang secara
berulang-ulang disebutkan dalam naskah kitab ini (1:1; 4:1; 5:14;6:1;6:8 dst).
Dari kemungkinan ini kemudian ditetapkan tanggal penulisan kitab Imamat, yaitu
antara tahun 1400 SM dan 1200 SM.[5]
Dari sini kemudian menghasilkan suatu kumpulan kitab-kitab yang disebut “Torah”
atau “Pentateukh” yang lengkap seperti yang kita kenal sekarang ini.[6]
Dari kedua kemungkinan
ini maka dapat saya Tarik kesimpulan yang merupakan pendapat saya, yaitu bahwa
bisa saja dokumen-dokumen yang ada dalam kitab Imamat berasal dari nabi Musa,
yang dibuktikan dengan ungkapan-ungkapan “Tuhan berfirman kepada Musa…” yang
secara berulang-ulang terdapat dalam kitab ini. Dari dokumen-dokumen ini,
kemungkinan dibukukan oleh sumber P menjadi satu kitab pada sekitar tahun
550-450 SM, sesudah bangsa Israel kembali dari pembuangan di Babylon. Jadi isi
kitab Imamat ini sebagian berasal dari tahun 1400-1200 SM (zaman Musa).
b. Latar
belakang khusus
Dalam Imamat 1:1-17
ini, terlihat dengan jelas keterhubungannya dengan kitab sebelumnya yaitu kitab
Keluaran. Dalam Pasal terakhir dari kitab Keluaran, dijelaskan tentang
pembangunan sampai selesainya kema suci atau kema pertemuan. Setelah
pembangunan ini selesai, Musa dan umat Israel masih tinggal di kaki gunung
Sinai, dan pada saat itulah disampaikan isi kitab ini.[7]
Dalam Imamat 1:1-17 ini Tuhan memanggil Musa dari dalam kema pertemuan itu
untukmenyampaikan kepada umat Israel mengenai aturan-aturan persembahan korban
bakaran.[8]
c. Pembagian
pokok pikiran
1:1-2 Tuhan menyuruh Musa memberitahukan kepada umat Israel
tentang aturan persembahan korban bakaran.
1:3-9 Aturan mempersembahkan korban
bakaran dari lembu
1:10-13 Aturan mempersembahkan korban bakaran
dari kambing atau domba
1:14-17 Aturan mempersembahkan persembahan
korban bakaran dari burung
d. Uraian
tafsiran
(ayat
1-2)
Pada pasal 1:1 kitab
Imamat ini dimulai dengna kata “Tuhan memanggil Musa”. Oleh karena itu judul
Ibrani kitab ini ialah : ןיּקראּ
(wayiqra) artinya “Lalu dia Memanggil.” Hal ini merupakan kebiasaan umat Ibrani
untuk memberikan judul kitab dengan mengambil kalimat pertama dari kitab itu.[9]
TUHAN di dalam ayat ini digambarkan sebagai seorang pribadi yang memanggil Musa
dan berfirman kepada Musa dari dalam kema suci, untuk menyampaikan sesuatu
kepada umatnya. Kema suci adalah lambang kehadiran TUHAN diantara umatnya, juga
sebagai penentu perjalanan bangsa Israel (Kel.40:36,37). Hal yang ingin
disampaikan oleh TUHAN ialah mengenai “persembahan” atau “korban persembahan.”
Istilah yang dipakai di sini ialah קּרבן (qorban), artinya “Sesuatu yang dibawa
dekat, pemberian atau persembahan.” Dalam kitab Imamat ini, mempersembahkan
korban bukanlah sesuatu yang diperintahkan oleh TUHAN, ttapi itu adalah
merupakan kesadaran dari seseorang yang akan mempersembahkan korban.[10]
Hal ini nyata dari ayat 2 “Apabila seseorang diantaramu hendak mempersembahkan
persembahan…” Dari kalimat ini nyata bahwa hal mempersmbahkan sesuatu kepada
TUHAN, bukanlah sesuatu yang diperintahkan, tetapi merupakan kesadaran dari
orang yang hendak mempersembahkan korban. Ini adalah suatu ungkapan iman dari
setiap orangyang menyadari adanya Yang Maha Kuasa. Oleh karena adanya kesadaran
untuk mempersembahkan korban ini, maka TUHAN mengindahkannya.
Upacara korban adalah
satu cara umat Israel untukmenghampiri Allah. Jadi “Persembahan Korban”
mempunyaimakna ibadah,yakni membawa sesuatu kepada TUHAN sambil beribadah
kepada-Nya. Korban yang dibawa ini merupakan tanda penyerahan diri kepada
TUHAN.
Untuk keteraturan
persembahan korban itu, maka selanjutnya TUHAN menentukan hewan-hewan yang
layak dipersembahkan, yaitu mulai dari ternak besar (lembu, sapi) dan ternak
sedang (kambing dan domba) dan juga ternak kecil (burung merpati dan tekukur).
Ini menandakan keadilan TUHAN memberi kesempatan kepada masing-masing orang
sesuai kemampuannya untuk meberikan persembahan korban.[11]
(ayat
3-9)
Dalam bagian ini
dijelaskan dengan teliti tntang korban. Di dalamnya terdapat penjelasan secara
lebih terinci mengenai persembahan korban bakaran. Secara khusus dalam bagian
ini dijelaskan tentang cara mempersembahkan korban bakaran dari lembu. Lembu
adalah binatang yang digolongkan sebagai ternak besar, dan mempunyai kedudukan
yang berharga bagi umat Israel. Bahkan begitu berharganya sehingga dijadikan
lambang sebagai salah satu yang patut disembah (Kej.32:8). Jadi lembu di sini
mempunyai kedudukan penting diantara binatang-binatang lain.
Untuk mempersembahkan
persembahan korban bakaran dari lembu, maka ada ketentuan-ketentuan yang harus
diikuti, yaitu: Korban persembahan itu hgarus jantan dan tidak bercela. Tetapi
bukan berarti betina tidak boleh dipakai dalam korban bakaran yang
dipersembahkan. Ada kalanya betina juga boleh dipakai sebagai korban
persembahan (3:1), tetapi memang yang lebih diutamakan adalah yang jantan.
Namun korban persembahan ini bukan sekedar jantan, perlu juga diperhatikan
kesehatan dan kesempurnaan binatang yang akan dikorbankan itu, yakni “tidak
bercela”, artinya bahwa korban persembahan itu harus sehat dan sempurna. Hal
ini mau menjelaskan bahwa korban yang dipersembahkan kepada TUHAN itu adalah
betul-betul persembahan yang sempurna, yang tulus dan merupakan hasil yang
terbaik.
Orang yang membawa
persembahan korban, dia sendirilah yang menyajikan pada mezba atau pada pintu
kema pertemuan “supaya TUHAN berkenan akan dia” (1:3).[12]
Persembahan itu mewakili orang yang mempersembahkannya, karena dibalik
persembahan itu, selain sebagai ungkapan syukur, ada sesuatu yang ingin dicapai
yakni pengampunan dosa dan pendamaian. Selanjutnya pembawa korban persembahan
itu meletakkan tangannyadi atas kepala korban, sebagai tanda bahwa korban itu
mewakili dirinya sendiri,[13]
atau orang itu bersaksi bahwa lembu itu adalah miliknya sendiri, bahkan korban
yang akan dibakarnya secara utuh dipersembahkan atas namanya sendiri dan dialah
yang akan mendapatkan keuntungan dari persembahan itu.[14]
Sementara meletakkan tangannya di atas kepala korban itu, kemungkinan orang
tersebut mengucapkan permohonan berupa doa yang mengungkapkan tujuan
persembahan itu. Memang hal ini tidak disebutkan dalam teks, tetapi karena
upacara hari raya pendamaian menekankan pengakuan (16:21), maka sangat mungkin
kalau hal ini merupakan bagian dari setiap upacara persembahan korban.[15]
Selanjutnya orang yang membawa persembahan tersebut menyembelih korbannya itu
di hadapan TUHAN, dan imam-imam harus mempersembahkan darah lembu itu dan
menyiramkannya pada sekeliling mezbah yang di depan pintu kema pertemuan. Dalam
segala peraturan mengenai korban, darah sangat ditekankan. Kenapa darah menjadi
penekanan, karena darah dianggap sebagai nyawa dari binatang yang dikorbankan
yang harus dikembalikan kepada pemiliknya yaitu TUHAN. Hanya TUHAN-lah yang
empunya nyawa dan kepada-Nyalah dikembalikan. Menurut pemahaman di zaman dahulu
bahwa daya hidup terkandung di dalam darah. Dengan mempersembahkan darah
binatang kepada TUHAN, maka umat Israel mengakui Allah sebagai sumber hidup dan
satu-satunya yang berkuasa atas hidup. Melalui darah, orang menghubungi sumber
hidup, dan kalau perlu memulihkan hubungannya dengan sumber hidup yaitu Allah
Oleh karena itu orang yang mempersembahkan korban kadang-kadang diperciki darah
sebagai tanda bahwa orang tersebut menerima kembali daya hidup dari
sumbernya,yakni Allah.[16]
Selanjutnya orang yang mempersembahkan korban itu menguliti dan memotong-motong
korban itu sesuai dengan bagian-bagian tertentu, lalu imam meletakkannya di
atas kayu api yang menyala sebagai persembahan yang menyenangkanbagi TUHAN.
Yang dipersembahkan ialah lemaknya,kaki dan betisnya serta kepala da nisi
perutnya. Sedangkan dagingnya adalah bagian dari imam, bahkan kadang kala juga
dimakan secara bersama oleh orang yang mengadakan persembahan korban.
(ayat
10-13)
Pada bagian ini adalah
sama dengan ayat 3-9, perbedaannya hanya pada korban persembahan, yaitu kalau
pada ayat 3-9 merupakan korban persembahan dari ternak besar (lembu atau
sapi),maka dalam ayat 10-13 ini adalah dari ternak yang lebih kecil (domba atau
kambing).Prosesnya sama dari ayat 3-9, dan penekannya juga sama yaitu pada
darah dan lemak korban yang dipersembahkan oleh imam. Namun dalambagian ini
disebutkan tentang arah tempat meletakkan korban bakaran itu, yaitu di sebelah
utara. Penentuan arah ini hanya merupakan pembagian tempat dalam
mempersembahkan korban dari ternak yang lebih besar.[17]
Pengelompokan ini tentu sudah diperhitungkan bahwa semakin besar korban
persembahan yang dipersembahkan, semakin memerlukan tempat yang agak luas
supaya orang yang mempersembahkan korban bebas bergerak.
(ayat
14-17)
Dalam bagian ini
dijelaskan tentang persembahan bagi orang-orang yangkurang mampu, yaitu bisa
mempersembahkan burung, yakni burung tekukur atau burung merpati. Di sini
terlihat dengan jelas bahwa TUHAN itu penuh dengan kebijaksanaan,sehingga
mengenai persembahan korabn juga dapat dilakukan sebagaimana kemampuan
masing-masing orang.
Dari uraian tafsiran di
atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa persembahan korabn itu adalah
kesadaran sendiri dari orang yang mau mempersembahkan korban. Kesadaran itu
mendorong dia untuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan dalam bentuk persembahan
korban. Kemudian TUHAN menetapkan suatu aturan yang harus dilakukan ketika
mempersembahkan korban agar dapat berjalan dengan teratur. Adapun penekanan
pentingnya darah korban adalah karena darah diyakini sebagai nyawa dari korban
yang dipersembahkan. Darah dianggap sebagai kehidupan. Oleh karena itu
denganmenumpahkan darah korban berarti membunuh korban tersebut, dan hanya
TUHAN yang layak menerima darah korban itu karena Dialah yang empunya
nyawa.Orang yang mempersembahkan korban, secar aktif terlibat dalam persembahan
yang dilakukan. Imam hanyalah sebagai pengantara,yang berperan di dalamnya
adalah orang yang mempersembahkan korban. Oleh karena itu dia sendirilah yang
menyembelih dan memotong-motong korban persembahannya. Korban yang
dipersembahkan disesuaikan dengan kemampuan orang yang mempersembahkan korban,
yaitu bisa dari lembu, sapi, domba, kambing bahkan dari burung. Korban yang
dipersembahkan ini dibakar oleh imam di atas api dan menjadi korban bakaran
yang baunya menyenangkan bagi TUHAN. Makna dari persembahan korban ini adalah
bahwa melalui persembahan korban,orang yang mempersembahkan korban itu
mendapatkan pengampunan atas kesalahan dan pendamaian.
2. Perjanjian
Baru
Dari Perjanjian Baru
saya akan mengangkat dan mengkaji dari Ibrani 10:1-10 yang di dalamnya terdapat
penjelasan tentang penggenapan persembahan korban dalam pengorbanan Yesus
Kristus. Sebenarnya Ibrani 10:1-10 ini masih satu kesatuan dengan ayat
selanjutnya yaitu ayat 11-18. Tetapi saya hanya mengambil dari ayat 1-10,
karena dalam bagian ini saya piker sudah termuat inti penyampaiannya tentang
penggenapan persembahan korban dalam diri Yesus Kristus.
a. Latar
belakang
Dalam latar belakang
umum ini sya akan menjelaskan secara umum tentang tema surat, penulis, tahun
penulisan, tempat penulisan dan situasi jemat penerima surat.
b. Tema
surat Ibrani
Tema pokok surat Ibrani
ialah “Agar orang percaya maju kepada perkembangan yang penuh”(6:1).[18]
Dari tema ini tercermin suatu isi yang berupa nasehat dalam rangka menguatkan
iman jemaat penerimanya.
c. Penulis
Sampai saat ini belum
ada kepastian secara jelas tentang siapa penulisnya, karena dalam surat Ibrani
sendiri tidak dicantumkan mengenai penulisnya. Namun ada beberapa pendapat yang
dikembangkan oleh beberapa ahli mengenai penulis. Dalam aliran Alexandria pada
abad kedua sesudah Masehi, terdapat dua pendapat tentang penuis surat Ibrani.
Pendapat yang pertama ialah menerima sepenuhnya Paulus sebagai penulisnya, dan
pendapat ke dua ialah bahwa pokok pikiran surat Ibrani memang berasal dari
Paulus, tetapi penulisnya bukan Paulus.[19]
Di kalangan
gereja-gereja Roma dan gereja-gereja Barat, pada umumnya tidak menerima
pendapat kalau Paulus yangmenulis surat, tetapi mereka juga tidak mengusulkan
siapa yang menulis. Nanti setelah Jerome Hieronymus (347-420 M) menerjemahkan
Alkitab ke dalam Bahasa Latin dan menerima Paulus sebagai penulisnya, barulah
gereja-gereja di Barat menerima Paulus sebagai penulisnya.[20]
Menyadari bahwa tujuan
karya ilmiah ini bukan untuk meneliti secara lebih mendalam tentang surat
Ibrani, maka tidak apalah kalau diterima bahwa Paulus yang menulis surat ini,
dengan alasan bahwa tulisan dalam surat ini mempunyai kesamaan dengan
tulisan-tulisan Paulus yang lain (gal.2:18 dengan Ibrani 8:13; Gal.4:20 dengan
Ibrani 13:19). Dengan demikian apabila diterima bahwa Paulus adalah penulisnya
maka tanggal penulisannya dapat ditentukan yaitu tahun 64-68 M, karena pada
waktu itu terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh Kaisar Romawi terhadap
gereja Kristen.[21]
Dan tempat penulisannya adalah di penjara kota Roma. Mengenai tempat penulisan
ini, secara jelas disebutkan dalam pasal 13:19, bahwa penulis sementara
menanti-nantikan kebebasan untuk kembali kepada jemaatnya. Ini menandakan bahwa
penulis sementara ditahan. Selanjutnya tentang kota Roma sebagai tempat penulisan,
dapat dilihat dalam pasal 13:24b, yakni penulis menyampaikan salam dari
saudara-saudara yang ada di Italia. Ini menandakan penulis berada di Italia.
d. Situasi
jemaat penerima
Sama seperti nama
penulisnya tidak dijelaskan dalam surat Ibrani, maka demikian juga jemaat yang
ditujui surat ini tidak jelas. Namun sesuai judulnya yang ditujukan kepada
orang Ibrani memberikan sedikit titik terang bahwa tujuan surat ini ialah untuk
sekelompok orang-orang Kristen keturunan Yahudi. Mereka ini tetap setia pada tradisi
dan kebuayaan yahudi.[22]Mereka
adalah sekelompok orang Kristen yang sudah lama menjadi Kristen. Mereka
termasuk angkatan umat Kristen kedua (2:3; 10:32). Mereka sekarang sedang
mengalami penganiayaan (13:3). Dan karena terus-menerus mengalami tekanan,
mungkin akan murtad dari kepercayaan mereka kiepada Kristus. Penulis surat ini
berusaha mendorong mereka supaya tetap percaya, dengan kata lain penulis
berusaha untuk menguatkan iman jemaatnya. Untuk itu ia menunjukkan bahwa Yesus
Kristus adalah penyataan Allah yang sempurna. Secara khusus diuraikan
dalamperikot ini (10:1-10), yesus memberikan kepada manusia keselamatan sejati
yang tidak dapat diberikan oleh upacara-upacara persembahan kurban dan
upacara-upacara lainnya di dalam agama Yahudi. Upacara-upacara itu hanya dapat
memberikan gambaran dari keselamatan sejati itu, lain dari itu tidak.
e. Pembagian
pokok pikiran
10:1-4 Persembahan korban dalam hokum Taurat hanya bayangan
saja dari keselamatan, dan tidak bisa menghapus dosa.
10:5-10 Penggenapan persembahan korban melalui pengorbanan Yesus
Kristus.
f. Uraian
tafsiran
(ayat
1-4)
Dalam bagian ini
terdapat semacam penjelasan tntang fungsi hokum Taurat, lebih khusus lagi
tentang fungsi persembahan korban dalam Perjanjian Lama. Dikatakan dalam ayat 1
bahwa “Hukum Taurat hanyalah bayangan dari keselamatan yang akan datang….”
Fungsi Hukum Taurat diandaikan sebagai cermin, yang didalamnya terdapat suatu
bayangan,artinya sebagai pendamping, wakil, atau symbol dari wujud yang
sebenarnya.[23]
Jadi ada wujud yang asli da nada bayangan.
Peraturan persembahan
dari Perjanjian Lama hanyalah bayangan dari keselamatan itu, berarti bahwa
keselamatan itu belum nyata. Namun bukan berarti aturan-aturan dalam Perjanjian
Lama itu tidak penting. Justru dari situ keselamatan itu diperkenalkan,
sehingga orang bisa mengenalnya. Oleh karena itu tidak bisa dianggap tidak
penting.
Persembahan korban
dalam hokum Taurat menyadarkan orang tentang dosanya, membuat orang yang
berdosa menyadari dan bertobat atas dosa-dosanya yang dilakukan sekali dalam
satu tahun.[24]
Karena adanya kesadaran itu maka setiap orang mempersembahkan korban sesuai
dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah. Namun korban yang dipersembahkan itu
tidak mampu untuk membuat orang berdosa bebas dari dosanya, hanya berfungsi
untuk menyadarkanorang dari dosa-dosanya. Dengan mempersembahkan korban maka
orang diingatkan akan dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Ketika seseorang
mempersembahkan korban dan mengingat dosa-dosanya, maka orang tersebut akan
mncari jalan bagaimana agar dosa-dosa itu bisa diampuni. Setiap orang akan
mencari jalan keselamatan untuk pengampunan dosanya. Namun melalui darah
korban, tidak mungkin diharapkan untuk menghapuskan dosa, tetapi tetap
dipersembahkan dalam rangka menantikan datangnya Anak Domba Allah, yang akan
mempersembahkan tubuh-Nya sekali untuk selama-lamanya untuk pendamaian dengan
Allah.
(ayat
5-10)
Dalam bagian ini
dijelaskan tetang tujuan kedatangan Kristus ke dalam dunia ini, yaitu untuk
menyerahkan tubuh-Nya sebagai korban untuk pengampunan dosa. Kebanyakan
penafsir Alkitab memberi penjelasan bahwa inkarnasi Kristus adlaah untuk
menggantikan orang berdosa menerima penghakiman Allah yang adil.[25]
Dia menyerahkan tubuhnya menjadi korban untuk pendamaian antara Allah dengan
Manusia. Ungkapan “korban dan persembahan tidak engkau kehendaki…” mengandung
makna bahwa yang lebih utama harus dilakukan oleh umat Allah ialah melakukan
kehendak Allah, bukan sebaliknya mengutamakan persembahan korban, tetapi
mengabaikan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh Allah. Hal ini jugalah
yang ditentang oleh nabi-nabi dalam Perjanjian Lama, misalnya dalam Amos 4:4-5,
terdapat suatu ucapan keras dari nabi Amos yang menentangsegala bentuk ibadah
serta persembahan korban yang dilakukan oleh orang Israel, karena mereka hanya rajin
beribadah dan mempersembahkan korban tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka
memutarbalikkan keadilan. Oleh karena itu ibadah mereka disebut sebagai ibadah
yang jahat. Yang lebih dikehendaki Allah ialah melakukan kehendaknya. Hal
inilah yang dilakukan oleh Yesus, yaitu mempersembahkan tubuhNya untuk
melakukan kehendak Allah bagi umat manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa apa yang masih merupakan bayangan dalam Perjanjian Lama kini telah nyata
dalam diri Yesus Kristus, melalui pengorbanan-Nya. Dengan pengorbanan Yesus
Kristus maka genaplah seluruh korban yang dilakukan dalam Perjanjian Lama oleh
umat Allah.
3. Kesimpulan
Tafsiran
Dari uraian tafsiran di
atas, baik dari Perjanjian Lama maupun dari Perjanjian Baru dpat disimpulkan
bahwa pada dasarnya kehidupan umat Allah senantiasa berusaha mendekatkan diri
kepada Allah melalui persembahan korban. Persembahan korban adalah suatu
ungkapan iman dari setiap umat yang percaya kepada Allah. Ini adalah suatu
upaya manusia untukmerendahkan diri dihadapan Allah dengan jalan
mempersembahkan sesuatu kepada-Nya.
Korban persembahan yang
dilakukan oleh umat Allah pada zaman Perjanjian lama bukan berarti tidak
mempunyai makna sebagai ungkapan penyembahan, justru dari situ manusia bisa
menyadari akan keberadaannya di hadapan Tuhan. Korban persembahan dalam
Perjanjian Lama kini telah ditarik maknanya dan digenapi oleh Yesus melalui
pengorbanan-Nya. Jadi hal yang masih merupakan bayangan dalam Perjanjian Lama
itu, kini telah menjadi nyata dan telah genap melalui tubuh Yesus Kristus. Jadi
untuk apa labi mempersembahkan korban persembahan, karena semuanya itu telah
digenapi oleh Yesus Kristus.
4. Gagasan
Teologis
Dari Tafsiran di atas,
baik dari Perjanjian Lama (Imamat 1:1-17) maupun dari Perjanjian BAru (Ibrani
10:1-10), ditemukan beberapa gagasan teologis, yaitu:
-
Allah menetapkan aturan korban
persembahan
-
Hal mempersembahkan korban adalah
merupakan kesadaran pribadi dari setiap orang dalam rangka menghayati
hubungannya dengan TUHAN.
-
Makna dari persembahan korban adalah sebagai
ungkapan syukur, juga bermakna pendamaian dan pengampunan dosa.
-
Darah dianggap sebagai nyawa, dank arena
itu darah hanya dikembalikan kepada Allah yang empunya nyawa.
-
Persembahan korban dalam Perjanjian lama
adalah merupakan bayangan dari keselamatan yang akan datang.
-
Melalui Tubuh Kristus yang dikorbankan,
menjadi kegenapan seluruh korban yang dilakukan dalam Perjanjian lama,
Pengorbanan Yesus Kristus itu adalah sekali untuk selama-lamanya.
Demikianlah kesaksian
Alkitab tentang korban dalam Perjanjian dalam dan Perjanjian Baru. Untuk bab
berikutnya (Bab IV) akan dilanjutkan dengan refleksi teologis, yang bertujuan
menghubungkan antara korban dalam upacara pembangunan rumah dengan korban
menurut kesaksian Alkitb, dan makna korban bagi gereja dalam rangka berteologi
kontekstual.
BAB IV
MAKNA KORBAN BAGI
GEREJA TORAJA MAMASA DALAM
BERTEOLOGI
Unsur yang menonjol
dalam upacara pembangunan rumah ialah persembahan korban. Persembahan korban
harus ada dalam upacara pembangunan rumah. Kalau persembahan korban tidak ada,
maka upacara tersebut tidak mempunyai makna apa-apa.
Dari hasil penelitian
yang diuraikan dalam BAB II terungkap makna dari persembahan korban yang
dilakukan, yaitu suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada yang kuasa. Melalui
korban yang dipersembahkan ini,manusia menyadari keterhubungannya dengan yang
kuasa.
Makna dari setiap
korban (darah korban) yang dipersembahkan secara langsung termuat dalam setiap
doa yang disampaikan sebelum menyembelih korban tersebut. Misalnya korban
sebelum meratakan lokasi pembangunan rumah, makna korban di situ adalah sebagai
penebusan atas tanah yang akan diratakan untuk pembangunan rumah, sekaligus
pendamaian antara orang yang akan membangun rumah dengan tanah yang akan
ditempati membangun rumah, agar orang yang akan menempati rumah tersebut selalu
keberkatan tinggal di situ. Jadi walaupun orang sudah membeli dari orang lain
tanah itu, tetapi orang yang akan menempati tanah itu harus melakukan penebusan
khusus kepada yang menguasai tanah itu (alataala), dan harus ada pendamaian
antara tanah dan orang yang akan mnempati tanah itu. Jika tidak dilakukan
penebusan dan pendamaian atas tanah itu, maka ornag yang akan menempati tanah
itu tidak akan merasa nyaman dan tidak akan berhasil segala usaha yang
dilakukan.
Makna korban (ayam)
dalam unsur upacara “meehangang” adalah untuk meminta penyertaan dan
keselamatan atas orang yang akan pergi ke hutan untuk menebang kayu. Mereka
menyadari bahwa penyertaan dan keselamatan itu hanya bersumber dari alataala
(to meolaang) selaku penyerta, dan oleh karena itu maka hanya kepadanyalah
memohon penyertaan dan keselamatan. Menurut keyakinan masyarakat Saluleang,
bahwa penyertaan keselamatan dari alataala itu dapat langsung dilihat dalam
darah korban yang disembelih. Apabila darah korban itu bergelembung-gelembung
kecil maka itu pertanda dewa penyerta merestui rencana yang akan dilakukan
tersebut.
Makna korban dalam
unsur upacara “mampake’de’” adalah untuk meminta dewa memberi kekuatan terhadap
bangunan itu. Darah korban persembahan itu digosokkan pada ramuan-ramuan
bangunan sebagai tanda bahwa kekuatan rumah tersebut telah dimohonkan kepada
alataala melalui persembahan korban.
Makna korban dalam
unsur upacara “mendai’” adalah selain sebagai ungkapan syukur atas penyertaan
alataala selama proses pembangunan berlangsung, juga meminta berkat dan
keselamatan dari alataala untuk penghuni rumah tersebut agar senantiasa
keberkatan tinggal di rumah itu, serta segala usaha yang dilakukan selalu
berhasil dan akan selalu merasakan kesehatan dan keselamatan selama menghuni
rumah itu.
Jadi, korban dalam
upacara pembangunan rumah menjadi unsur yang penting yang mempunyai makna:
menebus/mendamaikan, meminta penyertaan dan keselamatan, meminta kekuatan dan
meminta berkat serta keselamatan.
Setelah menggali makna
yang terkandung dalam korban, maka dilanjutkan dengan apa kata Alkitab tentang
korban. Sesuai kesaksian Alkitab yang diambil dari Imamat 1:1-17 dan Ibrani
10:1-10 terungkap bahwa korban persembahan adalah sesuatu yang dibawa dekat
kepada TUHAN. Apa yang dibawa dekat itu adalah yang terbaik. Hal
mempersembahkan korban adalah merupakan kesadaran dari orang yang mau
mempersembahakan korban syukur, bukanlah suatu kewajiban. Hal ini adalah suatu
ungkapan iman dari setiap orang yang menyadari adanya kekuasaan TUHAN.
Persembahan korban dalam Perjanjian Lama mempunyai makna pendekatan diri atau
menyerahkan diri kepada TUHAN, karena menyadari adanya kesalahan-kesalahan yang
dilanggar. Pendekatan diri ini disimbolkan dalam bentuk penyembelihan korban.
Selanjutnya makna penyerahan diri dalam bentuk persembahan korban ini adalah
merupakan bayangan saja dari keselamatan yang akan datang itu. Persembahan
korban kini telah digenapi dengan persembahan yang dilakukan oleh Tuhan yesus
Kristus. Dia menyerahkan dirinya sebagai pengganti korban-korban yang dilakukan
dalam Perjanjian Lama. Menurut kesaksian surat ibrani bahwa apa yang dilakukan
dalam Perjanjian Lama. Menurut kesaksian surat Ibrani bahwa apa yang dilakukan
dalam Perjanjian Lama itu hanyalah merupakan bayangan dari keselamatan yang
akan datang.
Saat ini jemaat Tuhan
sudah tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk mempersembahkan korban
bakaran, tetapi bukan berarti makna korban persembahan dalam Perjanjian Lama
itu juga dihilangkan sama sekali,. Justru makna korban dalam Perjanjian Lama
itu ditarik dan digenapi dalam pengorbanan Tuhan Yesus sebagai Anak Domba
Allah. Kini persembahan yang dilakukan bukan lagi persembahan korban, tetapi
adalah persembahan tubuh. Pengampunan dosa dan pendamaian tidak bisa didapat
dari mempersembahkan korban, tetapi itu adalah anugerah Tuhan melalui
pengorabanan Tuhan Yesus Kristus.
Maksud skripsi ini
bukan mau mengajak kepada jemaat untuk secara terus-menerus mempraktekkan
upacara-upacara dalam pembangunan rumah, lebih khusus tentang korban-korban
persembahan yang ada di dalamnya, tetapi mau mengambil makna dari persembahan
korban itu. Karena persembahan korban itu mempunyai makna mendidik umat dalam
rangka mempersembahkan diri sebagai persembahan yang benar (Rom. 12:1). Hal ini
dilakukan dalam rangka berteologi kontekstual. Namun dalam menggunakan
unsur-unsur kebudayaan seperti korban untuk berteologi kontekstual, bukan
berarti unsur kebudayaan itu digunakan secara langsung tanpa adanya
keselektifan dari pihak gereja untuk menyeleksi mana yang pantas dan mana yang
tidak pantas, atau dengan kata lain mana yang mengandung unsur positif dan mana
yang mengandung unsur negatif. Dalam hal ini gereja sebaiknya pintar-pintar
dalam menggunakan unsur-unsur tersebut. Dalam pengertian bahwa di samping
gereja menggunakan unsur kebudayaan dalam berteologi, gereja sekaligus
mengkritisi unsur kebudayaan tersebut, artinya jika ada yang keliru maka
diluruskan.
Misalnya tentang
persembahan korban, yang mau dilakukan oleh gereja ialah mengambil makna dari
persembahan korban ini sebagai suatu pengungkapan iman atau suatu ungkapan
syukur, suatu kesadaran akan adanya Kuasa Tertinggi, yang diikuti dengan suatu
upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Kuasa Tertinggi itu, melalui
persembahan korban. Hal semacam ini adalah hal yang tumbuh dalam masyarakat itu
sendiri,bukan didatangkan dari luar. Dengan mengambil makna dari persembahan
korban itu, maka penekanan bukan lagi pada darah korban, tatapi adalah
merupakan ungkapan syukur atau ungkapan iman. Korban yang diberikan bukan
semata-mata untuk mengharapkan sesuatu di balik korban itu, tetapi lebih pada
mensyukuri apa yang telah terjadi. Dengan demikian makna korban itu adalah
betul-betul sebagai penyerahan diri, yang dilambangkan dalam pemberian sesuatu
kepada yang Kuasa.
Sebagaimana saya
katakana dalam pendahuluan bahwa banyak orang ingin menyampaikan sesuatu kepada
orang lain, tetapi tidak terlebih dahulu memperhitungkan bagaimana supaya orang
lain dapat mengerti apa yang akan disampaikan itu. Demikian jugalah yang
terjadi dalam Gereja-gereja sampai saat ini, lebih khusus Gereja Toraja Mamasa,
yang kebanyakan umatnya dulunya memeluk keyakinan Agama Suku. Mereka berupaya
membangun iman jemaat dengan jalan menyampaikan berita Injil, tetapi
kelihatannya pemberitaan itu tidak bisa berakar dalam masyarakat. Salah satu
penyebabnya ialah karena pemberitaan gereja itu terasing dari konteks diamana
dia berada, artinya, Gereja tidak mempergunakan unsur-unsur kebudayaan dalam
rangka menyampaikan berita Injil. Mala sebaliknya gereja tidak mau peduli
terhadap unsur kebudayaan yang ada. Gereja memandang bahwa unsur-unsur
kebudayaan itu bertentangan dengan Injil, bahkan dianggap sebagai praktek
“kekafiran” sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sarana untuk pemberitaan Injil.
Hal ini memang harus disadari, sebagaimana yang dikatakan oleh Soetarman
Soediman Partinadi bahwa “Gereja-gereja di Asia, termasuk juga gereja di
Indonesia belum cukup berakar dalam konteks.”[1]
Artinya, gereja-gereja di Indonesia masih terpola dari teologi tradisional yang
cenderung memandang negatif terhadap kebudayaan-kebudayaan yang ada, sehingga
membuat dia terasing dari tempat dimana dia berada. Hal yang sama juga dialami
gereja-gereja di Afrika, bahwa peranan para penginjil dan para misionaris yang
datang untuk membawa kabar keselamatan di Afrika, sering dirasakan asing sekali
oleh orang-orang Afrika karena kebanyakan diantara penginjil yang datang,
memberitakan Injil tetapi tidak mengindahkan kebudayaan dan latar belakang
keagamaan orang-orang Afrika itu sendiri.[2]
Apabila Gereja itu
terasing dari tempat dimana dia berada, maka tentu tidak akan berfungsi, karena
seperti yang dikatakan oleh Eka Darmaputra, bahwa teologi hanya dapat berfungsi
apabila dia benar-benar kontekstual.[3]
Jadi apabila Gereja atau teologi gereja itu tidak kontekstual, dalam arti bahwa
gereja itu tidak mau menggunakan unsur-unsur yang ada dalam setiap kebudayaan,
maka apa yang disampaikan itu tidak akan dimengerti oleh masyarakat/jemaat
dimana gereja itu berada dan berkarya. Dan oleh karena Jemaat tidak mengerti
dan tidak memahami pemberitaan gereja itu, maka kepercayaan lama itu tetap
dipegang karena dianggap lebih menyentuh kehidupan dan lebih dimengerti dan
difahami. Hanya gereja yang menjadi bagian dari konteks yang dapat berbicara
dari dalam situasi konkrit dan dapat menjawab kebutuhan jemaat di mana dia
berada.
Jadi, agar Gereja dalam
pewartaannya dapat dimengerti oleh jemaatnya, maka hendaknya menggunakan
unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam konteks di mana gereja itu berada. Hal
ini senada dengan apa yang dikatakan Leslie Newbibin:[4]
Supaya Injil
dipahami dan diterima sebagai suatu yang mengkomunikasikan kebenaran tentang
situasi manusia yang nyata, dan supaya dia adalah seperti yang kita katakan
“masuk akal”, maka dia harus dikomunikasikan dari Bahasa orang-orang itu kepada
mereka Injil dialamatkan dan dibungkus dalam simbol-simbol yang mempunyai arti
bagi mereka.
Maksud dari pernyataan
Lesslie ini ialah suatu upaya berteologi kontekstual. Gereja dalam mewartakan
Injil hendaknya berupaya untuk sedapat mungkin menggunakan unsur-unsur
kebudayaan yang ada, dengan kata lain menggunakan Bahasa yang dapat dimengerti
oleh masyarakat yang ada. Bahasa yang dimaksud di sini, bukan hanya terbatas
pada kata-kata, tetapi juga symbol-simbol dan kelakuan-kelakuan dalam suatu
konteks. Injil yang diberitakan itu hendaknya dibungkus dengan simbol-simbol
yang bermakna dalam suatu konteks tertentu.
Memang ada masalah yang
dihadapi dalam usaha seperti ini, yakni adanya ancaman “sinkretisme”. Hal ini
merupakan tantangan yang paling umum dalam rangka mencari titik temu antara
Injil dan Kebudayaan.[5]
Namun tujuan saya dalam skripsi ini ialah bukan bermaksud mau menggabungkan
antara kepercayaan dalam Agama Suku dengan Iman Kristen. Bukan itu tujuan saya,
tetapi yang saya mau lakukan ialah
menggunakan unsur-unsur dalam kebudayaan itu sebagai “wahana” untuk
memberitakan sekaligus mengakarkan Injil dalam konteks tertentu. Oleh karena
itu tidak ada sama sekali unsur sinkretisme di dalamnya.
Dalam menggunakan
unsur-unsur kebudayaan dalam mewartakan Injil, maka Injil yang diwartakan itu
akan mudah dimengerti oleh jemaat penerima dan akan mengakar dalam kehidupan
dan penghayatan mereka, sehingga Injil yesus Kristus sebagai Kabar Baik akan
dihayati dalam setiap konteks.
Dengan demikian, sama
seperti yang dikatakan oleh Coralie F.Joice,[6]
“Kita boleh katakana kepada masyarakat yang masih dipengaruhi keyakinan Agama
Suku: Apa yang kalian cari melalui persembahan korban berdarah, itulah yang
kami beritakan kepada kalian, yaitu yesus Kristus Anak Domba Allah, telah
menjadi korban yang menebus manusia dari segala dosa. Melalui darahnya yang
telah dicurahkan terciptalah pendamaian antara Allah dan Manusia.”
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian dan kesaksian Alkitab, dapat disimpulkan bahwa “korban” adalah
merupakan suatu pengungkapan iman terhadap Kuasa Tertinggi (Tuhan) yang
bermakna untuk penebusan, penguatan dan penyelamatan. Hal itu dilakukan sebagai
upaya untuk mendekatkan diri kepada yang Kuasa. Melalui korban yang
dipersembahakan ini, manusia menyadari keterhubungannya dengan yang kuasa.
Pengungkapan iman melalui korban ini dilakukan juga oleh umat Allah pada masa
lampau dan telah digenapi oleh pengorbanan Yesus Kristus. Oleh karena itu
“persembahan korban itu mempunyai makna penyembahan dan mempunyai landasan
Alkitabiah, sehingga dapat dijadikan sebagai sarana untuk berteologi
kontekstual.
B. SARAN
Olah karena “korban”
dalam pembangunan rumah mempunyai makna spiritual sebagai pengungkapan iman dan
mempunyai landasan Alkitabiah, maka hendaknya gereja memakainya dalam rangka
berteologi kontekstual, dengan jalan menggunakan makna korban itu untuk
memberitakan makna pengorbanan Tuhan Yesus Kristus. Sehingga makna pengorbanan
Yesus Kristus itu dapat dipahami dan dihayati dalam setiap konteks diman Injil
itu diberitakan. Dengan memahami makna korban dan penggenapannya di dalam
pengorbanan Yesus Kristus, maka penekanan dalam upacara pembangunan rumah yang
dulunya ditekankan pada penyembelihan ternak sebagai persembahan korban, kini
ditekankan pada penyerahan diri melalui doa.